4 | Dia Vania

198 47 66
                                    

Devan dan sang pacar baru saja memasuki pintu sebuah mall di kota Jakarta. Langkah mereka terlihat terburu-buru entah karena ingin cepat sampai ke tempat tujuan atau ingin cepat-cepat mengisi perutnya yang lapar akibat lupa mengisi perut ketika berada di kantin bersama Indy tadi.

Tapi enggak apa-apa, yang penting Indy ada disampingnya.

Sejak keluar dari parkiran tadi, gadis itu terus saja menunduk karena Devan tak melepaskan genggaman tangan mereka. Bukan hanya karena tangan Indy yang tidak terbiasa digenggam, tetapi ketenaran Devanlah yang membuatnya merasa malu.

Banyak anak remaja yang menatapnya tidak suka, bahkan ia sempat melihat orang tersebut berbisik ke teman di sebelahnya seolah berkata, 'jadi itu pacarnya Devan?'

"Kenapa nunduk mulu? Enggak ada uang di bawah." Devan terkekeh saat menyadari Indy menunduk sejak tadi.

Gadis itu mendongak. "Gue malu, Van, jalan sama cowok yang punya banyak fans," katanya jujur. Ia menatap Devan serius dengan pandangan sendu.

Devan tertawa. "Malu kenapa, sih? Elo, 'kan, enggak lagi pake baju renang ke mall," katanya tanpa beban.

"Bukan itu!" seru Indy yang membuat tawa Devan berhenti. "Gue Minder, Dev, sama penggemar lo yang cantik-cantik, yang dari tadi lihat gue enggak suka."

Sekilas, senyum tercetak di bibir cowok itu. Ia melepaskan genggaman tangannya yang membuat Indy merasa sedikit lega, tetapi beberapa detik kemudian Devan justru merangkul bahu gadis itu.

Matanya melebar dengan usaha melapaskan rangkulan itu di bahunya. "Devan ...." Ia menatap cowok itu dengan wajah memelas.

"Jasmine ... mereka Cuma iri sama lo yang berhasil naklukin hati gue," balasnya santai tanpa menoleh.

Sementara Indy menghela napas kemudian memandang ke lain arah. "Lo ganteng ...."

"Emang dari lahir!" potong Devan sebelum Indy melanjutkan ucapan.

"Lo punya banyak penggemar. Itu artinya lo bisa dapetin cewek cantik manapun yang elo suka." Indy menjeda sebentar sebelum menatap wajah Devan lagi. "Lo kenapa mau, sih, sama gue?"

Mendengar itu, Devan berfikir cukup lama dengan mata yang mengarah ke atas. "Iya juga, ya, kenapa gue mau sama lo yang kurus, kulitnya pucet, kalo gue bisa dapetin yang lebih cantik." Dengan gerakan cepat ia menatap Indy, "lo ada saran nggak siapa yang harus gue deketin di sekolah?"

Dengan tatapan datar, Indy berusaha menahan kekesalannya. Ia tau itu hanya candaan, itu sudah resiko mengobrol dengan manusia sejenis Devan.

"Becanda!" seru Devan sembari mengeratkan rangkulannya dan mempercepat langkah saat melihat pintu lift terbuka.

Beginilah seorang Devan Wisnu Ginata, lebih memilih menjawab pertanyaan serius Indy dengan candaan daripada membuat gadis itu merasa dirinya lebih rendah dari orang lain.

Banyak hal yang Devan kagumi dari Indy selain karena kepintarannya. Seperti yang banyak orang katakan, tidak semua hal harus kita ungkapkan dengan ucapan, karena tindakan lebih sering membuat terkesan.

Tempat pertama yang mereka kunjungi ketika pintu lift terbuka adalah salah satu restoran terdekat.

Setelah masuk duduk di salah satu meja kosong, satu orang pelayan datang dengan memberikan menu makanan. Devan langsung mengambil menu tersebut, setelah beberapa detik keningnya mengerut kemudian menatap pelayan wanita itu.

"Mbak, ini kenapa menu makanan yang biasa saya pesan enggak ada, ya?"

Mendengar pertanyaan tersebut, sang pelayan menjawab, "maaf, Mas, menu apa, ya?"

All About JasmineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang