8 | Suara yang tak terdengar

121 23 19
                                    

Atmosfer di sekitar mereka mendadak berubah. Gadis itu terkesiap, berusaha menahan sebening air yang menggenang di pelupuk matanya agar tidak tumpah. Matanya menatap lekat mata hitam milik cowok itu berusaha menemukan sebuah kebohongan di sana, tetapi ia gagal. Yang ia temukan justru tatapan mata penuh kekecewaan.

Tidak ingin terbawa suasana, dengan cepat Indy membuang semua pikiran buruknya.

"Apaan, sih, nggak lucu!" ucap gadis itu dengan nada yang ia usahakan terdengar senormal mungkin. Jika saja ia tidak mengatur nada bicaranya, getar dalam suaranya sudah pasti terdengar jelas di indera pendengaran cowok itu.

Senyum tipis hadir di bibir Devan. "Aku serius, Jasmine," katanya lembut tetapi penuh penekanan. Ia membuang pandangannya ke lain arah. "Aku sadar, seberusaha apapun aku usaha buat kamu senyum pake cara aku, nyatanya justru bikin kamu ilfeel lihat tingkah aku."

Puluhan detik berlalu tanpa suara, Devan tak melanjutkan ucapannya membiarkan gadis itu mencerna satu persatu kalimat yang ia katakan.
Sementara Indy tidak sedikitpun menyangkal ucapan cowok itu. Devan benar, setiap kali ia bertingkah aneh, Indy justru bersikap seolah tidak suka, padahal jauh dari dalam hatinya, gadis itu bahagia karena Devan selalu punya cara agar senyum selalu hadir di bibirnya.

Gadis itu menahan napas agar air yang menggenang di pelupuk mata tidak tumpah, namun, usahanya tetap saja gagal. Sebening air itu mengalir sendirinya. Dadanya sesak, ternyata sebegini menyiksanya jika satu-satunya orang yang ia harapkan tidak pergi justru memilih menjauh.

"Aku tau, kamu pasti malu setiap kali aku bersikap aneh di sekolah." Devan melanjutkan, tetapi kali ini ia memilih membuang wajahnya ke lain arah. Tidak tega jika harus melihat Jasmine-nya meneteskan airmata.

Gadis itu ingin membantah saat kalimat itu dilontarkan, tetapi sesak akibat perasaan bersalah, justru menahannya bersuara. Devan tidak salah, dirinyalah yang salah karena selalu bersikap seolah membenci setiap perlakuan yang cowok itu tunjukkan.

Tatapan yang semula menatap dinding yang dipenuhi bingkai foto, sekarang beralih menatap Indy. "Biarin aku pergi, Ndy." Ucapan yang Devan lontarkan bukanlah sebuah permintaan melainkan sebuah pernyataan yang memang harus gadis itu turuti.

Sesak itu hadir lagi, bahkan kini lebih parah daripada sebelumnya. Ia berusaha menarik napasnya agar sesak itu berkurang dan ia bisa berbicara tanpa ada gumpalan pahit yang tertahan di tenggorokannya.

Ia menatap mata Devan lekat-lekat, dari sorot matanya terlihat sebuah harapan besar. "Van, salah gue minta lo tetap disamping gue?"

Rasa bersalah langsung menyerang cowok itu, ia menggenggam kedua tangan Indy. "Indyra Jasmine ... aku sayang kamu. Tapi maaf, aku nggak bisa."

Kali ini Indy tidak bisa menahan airmatanya yang kian deras. "Kenapa?" serak dari nada bicaranya bahkan tidak bisa ia tahan lagi.

"Aku nggak bisa ... aku nggak akan bisa jauh dari kamu." Setelah mengatakan itu, senyum jahil hadir di wajah cowok itu. "Prank!"

Kepala yang semula menunduk kini terangkat menatap cowok itu bingung. Harusnya ia sadar bahwa cowok ini adalah seorang konten kreator yang bisa saja melakukan prank kapanpun ia mau.

Ia melihat Devan tersenyum senang. Cowok itu mengusap airmatanya kemudian menarik Indy ke dalam pelukan sembari mengucapkan kata maaf karena membuat gadis itu menangis. Tetapi sikap Indy masih sama, ia masih terdiam menatap kosong ke depan meski sudah mengetahui dirinya menjadi korban kejahilan Devan.

Tanpa pernah Devan tahu, gadis itu justru semakin takut kehilangan saat ia mengucapkan kalimat kekecewaan itu meski dalam bentuk candaan.

"Jangan pergi dari hidup gue, Van ... gue mohon," ucap gadis itu dalam hati. Banyak kalimat-kalimat permohonan yang ia utarakan meski tanpa jawaban. Kalimat permohonan yang justru lebih tepat seperti sebuah paksaan untuk tetap tinggal.

All About JasmineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang