16 | Kalimat menghangatkan dada

108 11 2
                                    

Tadi saat menyadari Indy menangis ketika ia menertawakan dandanan gadis itu, Devan ingin sekali mengejar menuju kelas. Namun, ketika ia melewati ruan guru, ia bertemu dengan Bu Kokom yang memintanya untuk masuk ke kelas.

Tetapi, meskipun begitu, Devan tidak akan menyerah. Sejak ia duduk pada bangkunya, ia terus menghubungi nomor Indy sampai sang pacar benar-benar mengangkat telepon tersebut.

Ia sadar, banyak hal yang memang diluar dari dugaan. Devan benar-benar tidak bermaksud menyakiti hati Indy hingga meneteskan airmata, semua benar-benar diluar kendalinya.

Matanya ia pejamkan agar menemukan ide untuk meminta maaf sesegera mungkin. Saat ia membuka mata, orang pertama yang ia lihat di pandangannya adalah Zia. Seketika cowok itu teringat dengan jurus andalan Zia.

"Aduh, aduh!" serunya sembali memegang kepalanya seolah merasakan pusing yang luuar biasa.

Bu kokom yang sedang menjelaskan pelajaran kini menatap cowok itu bingung, begitupun dengan seisi kelas yang keheranan.

"Aduh, Bu ...," katanya dramatis.

"Kenapa kamu?" tanya Bu Kokom.

Devan memejamkan matanya dengan tangan memegang kepala seolah menahan sakit yang tidak bisa lagi ditahan. "Sakit Bu ... sakit," ucapnya diiringi dengan ringisan.

Panik terlihat jelas pada ekspresi Bu Kokom, dengan cepat ia mendatangi siswa itu.

Di sebelahnya, Davin menarik napas panjang sebelum dikeluarkan dengan kasar. "Nggak lucu becandaan lo," katanya berbisik kemudian menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.

Bu Kokom ingin memegang dahi Devan, tetapi cowok itu menghalangi.

"Sakit, Bu, kepala saya," katanya lagi.

Guru prakarya tersebut melirik ke arah Davin. "Davin, bawa kakak kamu ke UKS," pinta Bu Kokom karena percaya dengan tipu muslihat abang kembarnya.

Davin berdecak kemudian berdiri. "Ayo!" katanya.

Cowok itu tidak ikut berdiri, tetapi mengangkat tangannya, memberi isyarat bahwa tubuhnya perlu ditarik sebelum berdiri. "Lebay banget, sih, lo! ngerepotin gue aja."

"Davin!" bentak Bu Kokom.

"Iya, Bu, maaf."

Davin memutar bola matanya malas sebelum menarik tangan itu dan meletakkannya pada bahunya. Dengan pelan, ia menarik tubuh sang abang yang sengaja dilemaskan.

"Pelan, pelan."

Suara Bu Kokom masih terdengar meskipun ia sudah keluar beberapa langkah dari kelas itu.

"Lo berdiri tegak, atau gue lepas lo!" ancam Davin.

Seketika tubuh Devan menegak kemudian merapikan seragam yang sedikit berantakan. Akhirnya, rencananya berhasil. Ternyata, memang seampuh itu jurus yang biasa sahabat perempuannya gunakan.

Sementara Davin berdecak malas. "Biar apa lo pura-pura pusing?"

"Mau ketemu Indy gue ...," jawab Devan santai.

"Dasar bucin!" seru Davin sebelum berbalik dan kembali menuju kelasnya.

"Nggak bucin, nggak hidup!" kata Devan setelah melihat adik kembarnya berjalan menjauh.

Setelah mengucapkan kalimat itu, Devan melangkah dengan mata yang mengedar ke sekelilingnya. Takut-takut kalau guru melihat dirinya yang berjalan menuju kelas sebelas. Bisa-bisa dihukum keliling lapangan seperti waktu itu, atau minimal, bersihin kamar mandi cowok.

Jika ia benar-benar dihukum, bisa-bisa ia tidak jadi menemui Princess Jasmine kesayangannya.

Namun, saat pandangannya mengarah ke lapangan, ia justru melihat beberapa murid mengangkat tubuh seseorang menuju UKS. Merasa kenal dengan orang yang mereka angkat, Devan berlari mengejar orang-orang itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

All About JasmineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang