7 | Kata maaf dan kata pisah

145 29 43
                                    

Dalam satu kesalahan ada hal-hal yang tidak bisa dimaafkan hanya dengan sekedar kata, melainkan harus ada perlakuan yang menunjukan rasa bersalah yang besar juga sebuah penyesalan teramat dalam.

Sore ini Indyra memilih berangkat sendirian menuju rumah sang pacar dengan menaiki ojek online yang sebelumnya ia pesan. Tadi, Zia sempat menghubungi Indy dan mengajak gadis itu untuk pergi bersama, tetapi ia menolak dengan alasan harus mengajar les privat.

Hari sudah hampi gelap saat gadis itu ingin berangkat menuju rumah Devan, burung-burungpun sudah berterbangan untuk kembali pulang membawa makanan yang mereka cari seharian untuk anak yang kelaparan.

Dari kejauhan, Indy memerhatikan setiap nomor rumah yang ia lewati demi menemukan rumah yang Zia sebutkan tadi. Setelah menemukan rumah nomor delapan, gadis itu meminta driver ojek online tersebut berhenti di depannya.

"Makasih, Pak," kata Indy pada driver ojol yang ia tumpangi setelah membayar dengan sejumlah uang.

Gadis berbalut jumpsuit jeans itu berdiri menghadap rumah yang sebagian besar halamannya hanya ada rumput dan pohon rindang dengan meja dan kursi yang terlihat nyaman.

Awalnya gadis itu ragu masuk ke dalam karena takut salah rumah, karena ini pertama kalinya ia datang kerumah Devan setelah lima bulan mereka menjalin hubungan. Tetapi saat melihat Zia dan Danu keluar dari sana barulah ia yakin.

Dengan langkah cepat, ia masuk ke halaman rumah dan menghampiri Zia.

"Hai Jasmine!" seru Zia heboh saat melihat gadis itu mendekat.

Indy menarik dua sudut bibirnya membentuk senyum. "Indy, Kak," katanya. Bukan suatu masalah sebenarnya jika ada yang memanggilkan dengan sebutan 'Jasmine', tetapi entah kenapa ia justru lebih nyaman dipanggil dengan nama 'Indy'.

Zia menepuk dahinya pelan kemudian tertawa geli. "Ah iya, Zia lupa kalo yang boleh manggil Jasmine itu cuma si Devan gesrek!"

Melihat dua gadis itu yang semakin asyik mengobrol, Danu berdehem setelah melihat jam tangannya. "Masih mau ngobrol, gue pulang duluan, ya," kata cowok itu kemudian melangkah menuju motor yang sebelumnya ia parkirkan.

"Eh-eh tungguin Zia!" ia melirik Indy sebentar sebelum berlari mengejar Danu. "Masuk aja, Devannya ada di kamar, kok. Kalo tidur siram aja pake air yang banyak."

Kalimat terakhir kakak kelasnya itu berhasil membuat Indy tertawa pelan. Ia jadi teringat dengan cerita Devan waktu itu, katanya Zia itu musuh paling nyata cowok itu. Bukan musuh dalam artian sesungguhnya, kata 'musuh' Devan gunakan karena mereka selalu bertengkar hampir setiap hari. Ia juga sempat bercerita bahwa Danu memiliki perasaan berbeda.

Mengingat kalimat itu, senyum Indy menipis. Jika benar tidak ada persahabatan yang tidak memiliki rasa cinta, tidak menutup kemungkinan jika Devan juga memiliki perasaan lebih kepada sahabat perempuannya.

Indy mengalihkan pandangan menatap pintu kayu berwarna coklat di depannya. Ia menarik napas terlebih dahulu sebelum mengetuk benda itu tiga kali. Tak lama kemudian, pintu itu terbuka menampilkan seorang wanita paruh baya yang tersenyum ramah.

"Kamu cari siapa?" tanya wanita itu karena merasa tidak mengenal wanita di depannya.

"Cari Devan, Tante."

Liana terdiam sebentar memerhatikan wajah gadis itu cukup lama. Gadis itu tersenyum, saat itulah ia baru teringat dengan foto yang sempat Devan tunjukan kemarin saat ia menanyakan tentang pacar anaknya. Mata teduh yang menipis ketika bibirnya tersenyum itu sama persis dengan foto-foto yang anaknya tunjukan.

"Kamu pacarnya Devan? Nama kamu Jasmine, kan?"tanya Liana dengan ekspresi senang yang wanita paruh baya itu tunjukkan.

Gadis itu mengerutkan alis, bagaimana wanita paruh baya ini bisa tahu sementara mereka belum pernah bertemu?

All About JasmineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang