Part 19

1.1K 61 1
                                    


Yudha

Aku tidak menyangka hari ini benar-benar datang. Hari dimana aku akan berpisah secara legal dengan Adelia. Rasanya aku tidak ingin terbangun. Sebulan belakangan ini, magnet tempat tidurku lebih kuat menarik tubuhku agar tidak meninggalkannya. Ah, tempat tidur saja tidak ingin aku pergi. Bagaimana istriku ingin agar kami berpisah?

"Mas, wake up" aku merasakan tubuhku di guncang. Samar-samar aku mendengar suara wanita yang membangunkanku. Aku berharap itu Adelia. Semakin lama suara itu semakin kuat. Kusadari itu bukan Adelia, tapi suara Dinda.

"Mas!" kali ini aku merasakan sebuah pukulan yang tidak berprikemanusiaan mendarat di punggungku. Seketika itu juga mataku terbuka. Benar, aku melihat sosok Dinda disana.

"Sakit tahu" kataku sambil membalik posisiku yang kini berhadapan dengan Dinda. Adik perempuanku ini sudah tampak rapi dengan kemejanya berwarna biru dongker. Wajahnyapun sudah dipoles rapi dengan make up.

"Gimana sih Mas. Kami semua udah siap-siap, Mas masih tidur ternyata" katanya dengan nada marah. Lagian kenapa semua orang bersemangat dengan hari ini? Hari ini akan menjadi hari yang menyedihkan bagiku, dan mereka bersemangat untuk itu?

"Mas !" Dinda menarik tanganku agar aku bangkit dari tempat tidurku. Dengan malaspun aku mengikuti kemauannya. Dinda terus menarikku dan menyeretku sampai ke kamar mandi.

"Mas bangun gak? Atau mau aku mandiin?" ia mengacak pinggangnya. Seperti ibu yang sedang memarahi anaknya karena tidak mau mandi dan enggan berangkat ke sekolah.

"Oke, iya,fine. Ini Mas mandi terus siap-siap. Oke?" Kini giliranku yang mendorongnya untuk keluar dari kamar mandi. Even she is my sister, she is not allowed to see me when I am naked. We are grown up, adult now.

"Mas" Dinda menahan pintu ketika aku akan menutupnya. Ia menatapku.

"Mas, semangat. Mas tahu, kami semua ada disana. Kami akan mendukung Mas. Apapun yang terjadi, Mas jangan merasa sendiri. Ada kami semua yang sayang sama Mas. Oke?" katanya lagi. Aku menatap Dinda lama, lalu tersenyum. Ku acak-acak rambutnya yang sudah rapi, tapi ia hanya diam tersenyum. Ia pun mundur, membiarkan aku menutup pintu. Aku harus mandi dan bersiap-siap untuk menjalani hari yang berat.

Aku merasakan air pancuran membasahi tubuhku dari kepala hingga ke kaki. Selama air itu terus mengalir, selama itu memori tentang malam perayaan anniversary pernikahan kami berputar dalam benakku. Aku masih tidak percaya bagaimana Adelia tidak terkesan dengan apapun yang sudah kupersiapkan hari itu? Aku sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari. Semua yang kupunya ku korbankan, uang, waktu, segalanya. Sengaja aku mematikan ponselku agar tidak ada yang menghubungi, bahkan dari rumah sakit. Dan bagaimana yang bisa ia pikirkan hanya tentang perceraian? Apa rasa cintanya untukku benar-benar tidak ada? Apa cintanya benar sudah mati? Hal itu yang terus berputar dalam benarkku.

Belum tuntas aku mengancingkan kemejaku ketika aku mendengar ponselku berbunyi. Aku melirik nama yang tertera di panggilan masuk itu. Bang Erick. Ah, sudah sebulan lebih ia berada di Kuala Lumpur. Tiga bulan lalu ia akhirnya percaya kalau istrinya menderita kanker rahim dan memilih untuk melakukan operasi disana. Dan sebulan lalu ia kembali lagi kesana karena kondisi sang istri memburuk. Selama itu itu pula aku semakin sibuk menggantikan dirinya di rumah sakit. Aku sedikit bersyukur karena dengan pekerjaan yang double mengalihkan perhatianku dari rasa sakit hatiku.

"Iya bang?" kataku ketika menjawab panggilannya. Aku menghidupkan speaker sehingga aku bisa sambil menyelesaikan apa yang sedang kukerjakan.

Holding OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang