Adelia
Kepalaku terasa berdenyut kencang. Detak jantungku berdetak tak karuan. Pikiranku sudah kalut, penuh. Ingin marah, tetapi tidak tahu pada siapa. Dalam beberapa menit kedepan, aku kembali harus mampu berpikir rasional tanpa emosi. Aku harus siap untuk menghadapi direktur rumah sakit ini. Ini semua karena satu pasien itu. Ia penyebabnya. Sempurna sekali, belum genap setengah tahun aku bekerja, masalah kali ini langsung berurusan dengan direktur.
"Adelia." kepalaku yang tadinya menunduk, menggangkat ke arah datangnya suara. Bu Deli, selaku kepala keperawatan itu memanggilku. Mengisyaratkan untuk mengikutinya ke ruangan Bu Suci, si direktur.
"Kamu tahu kesalahan kamu, Adelia?" tanya Bu Suci tanpa basa basi. Atau itu bentuk basa-basinya beliau? Wanita itu menatapku tajam dari balik kaca matanya.
"Saya rasa itu bukan kesalahan saya, Bu" jawabku berusaha tenang. Aku berusaha menatap wanita yang usianya sudah lewat paruh baya itu. Wajahnya sudah merah, menahan marah. Dari balik kaca matanya ia menatapku tajam, mungkin bersiap melempariku apa saja yang bisa ia gunakan.
"Bukan kesalahan kamu? Percaya diri sekali kamu. Kamu sadar kamu ditempatkan di ruangan apa? Semua pasien kamu di ruangan itu pasien VIP dan Super VIP. Mereka bayar mahal untuk mendapat pelayanan di rumah sakit kita" matanya melebar. Aku merasa denyut kepalaku semakin kuat.
"Benar bu. Tetapi kami perawat, bukan pembantu. Saya rasa tidak pantas untuk melakukan hal-hal tersebut. Memotongkan buah? Kan ada keluarganya bu. Memandikan beliau? Pertama ada keluarganya. Kedua ia bukan pasien yang tirah baring, berjalan sampai ke Nurse Station aja masih kuat. Beliau juga tidak ada indikasi yang kuat untuk tidak bisa ke kamar mandi sendiri." jawabku masih berusaha tenang. Walaupun emosiku sudah tersulut sejak tadi.
"Menjawab saja kamu ya. Saya tahu kamu lulusan dari universitas terkemuka. Jangan merasa paling hebat kamu ya." katanya sambil berdiri dari dari tempat duduknya. Menatapku murka. Dalam hati, aku terus menasehati diri untuk tetap tenang.
"Saya tidak merasa hebat bu. Saya hanya menyampaikan yang sebenarnya." jawabku.
"Sok pintar kamu. Mentang-mentang suami kamu dokter. Kamu pikir kamu siapa, hah" kata Bu Suci. Ia membanting gelas yang sedari tadi ia pegang ke meja, menimbulkan suara pecahan dan beling-beling berserakan di lantai. Kali ini aku sungguh tidak bisa berpikir apa-apa lagi.
"Keluar kamu, sebelum gelas yang ini saya lempar ke kamu." tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera berbalik badan, keluar meninggalkan ruangan itu dengan emosi yang siap meledak kapan saja. Aku merasakan mataku berkaca-kaca, bersiap menangis. Dengan sekuat mungkin aku menahan agar air mata tidak jatuh.
Langkahku percepat, berbelok ke arah belakang gedung. Aku menaiki tangga hingga ke atap gedung rumah sakit. Bagiku, ini tempat paling sunyi dan tidak akan ada orang yang menemukan aku disini. Aku menarik napas panjang. Tak tertahankan lagi, tangisku pecah. Air mataku keluar bagai keran bocor tanpa bisa ku tahan. Aku memegang dadaku yang terasa sakit. Rasanya aku siap untuk mati daripada merasakan sakit yang seperti ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/193567032-288-k728861.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Holding On
RomansaBenarkah cinta cukup untuk mengalahkan ego dan menyelesaikan masalah diantara 2 manusia? Apakah mungkin mempertahankan pernikahan dengan saling curiga dan tipisnya kepercayaan antara suami dan istri? Akankah penyesalan akan datang ketika cinta membu...