Adelia
Sudah lebih dari tiga minggu sejak aku mengikuti pelatihan. Selama itu juga aku selalu mematikan nada dering ponselku. Setiap kali melihatnya, pasti setidaknya ada lima miscall dari Mas Yudha. Aku belum siap untuk mengangkat telpon darinya, berbicara dengannya. Sesungguhnya aku baru sadar kalau aku sudah absen dari pengajian untuk papi dan pergi tanpa kabar. Aku benar-benar istri yang buruk, bukan?
"Temenin gue bentar ya? Mau kasih ini bentar" kak Elly mengagetkanku. Kak Elly merupakan salah satu perawat yang juga ikut pelatihan sepertiku.
Kak Elly akan menjadi perawat NICU disalah satu rumah sakit swasta di Depok. Ia menjadi temanku selama pelatihan beberapa hari ini. Ini juga karena ia memintaku untuk sama-sama pulang ke Depok. Ia membenci bermacet ria sendiri, katanya. Kami sama-sama memilih untuk tidak mencari tempat tinggal dekat rumah sakit tempat kami pelatihan dan pulang ke Depok. Kalau Kak Elly bertahan karena suami dan anaknya, kalau aku? Entahlah.
Aku lebih betah untuk tinggal di kota ini daripada di Jakarta. Walaupun Depok tidak se metropolitan Jakarta, tidak seindah Bandung, atau tidak seasri Bogor, aku tetap lebih suka tinggal di kota ini. Depok memiliki kenangan dan tempat sendiri di hatiku. Bagiku, ini kota ini sangat homey untukku.
"Apa itu kak?" tanyaku sambil menunjuk tas kecil di tangannya. Kak Elly kembali menjalankan mobilnya ketika lampu sudah hijau. Kami baru saja selesai pelatihan dan akan pulang.
"Ini, makan untuk suami kakak. Katanya malam ini ada operasi jadi enggak pulang" kata kak Elly. Ya, suaminya ialah dokter bedah orthopedic di rumah sakit yang sama dengannya bekerja. Mirip denganku? Tidak juga. Aku dan Mas Yudha akan bercerai, ingat?
"Yuk. Enggak mau nunggu disini kan? Ayo sekalian kakak tunjukin tempat kami kerja bagaimana" katanya lagi. 'Kami'? Kata yang sudah lama tidak merujuk aku dan Mas Yudha. Ah, apa-apaan ini Adelia. Enyahkan dulu pikiranmu dari Mas Yudha.
Aku mengikuti langkah Kak Elly masuk ke gedung rumah sakit itu. Bangunannya sederhana, katanya rumah sakit ini sudah lama dibangun, sejak zaman Orde Lama. Kak Elly pun menjelaskan sekilas tentang rumah sakit ini denganku, sambil sesekali ia menyapa beberapa perawat dan pegawai lainnya yang mengenalnya.
Kami sampai di lantai 8, tempat ruangan istirahat dokter. Ternyata dr. Daniel, suami kak Elly, tidak ada. Kak Elly pun menitipkan tas bekal itu di salah satu meja pada salah satu rekan sesama dokter. Dari percakapan mereka, aku tahu kak Elly sangat akrab dengan dokter itu. Aku teringat kalau aku tidak dekat dengan satupun teman Mas Yudha. Satu-satunya yang kukenal baik hanya Mas Ezra. Sedangkan satupun dokter di rumah sakit tempat kami bekerja, tidak ada yang kukenal sebagai teman baik Mas Yudha.
"Yuk" kata kak Elly mengembalikanku dari lamunan. Kami kembali melangkah ke dalam lift.
Tiba-tiba lift terbuka pada lantai 7 dan terlihat seorang laki-laki tinggi, putih, dan berkaca mata disana. Ia tampak terkejut, tetapi bukan kepadaku,melainkan pada Kak Elly.
"Eh, sudah sampai? Enggak ngabarin sayang" kata lelaki itu sambil berjalan memasuki lift. Apakah ini yang namanya dokter Daniel?
"Iya, tadi uda ngirim pesan ke kamu. Makanannya di meja ya? Tadi aku titip di sama dokter Lastri" kata Kak Elly sambil menatap lelaki itu. Mereka saling bertatap. Jujur, aku merasa canggung sebagai obat nyamuk di lift ini. Ada sedikit menyesal kenapa ikut turun jika tahu akan seperti ini.
"Oiya, sayang. Ini Adelia, yang aku certain" kata Kak Elly lagi. Kini keduanya menatapku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Suami kak Elly itupun ikut mengangguk dan tersenyum. Suara lift sampai di lantai 2 pun mengalihkan perhatian kami semua dariku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Holding On
RomantizmBenarkah cinta cukup untuk mengalahkan ego dan menyelesaikan masalah diantara 2 manusia? Apakah mungkin mempertahankan pernikahan dengan saling curiga dan tipisnya kepercayaan antara suami dan istri? Akankah penyesalan akan datang ketika cinta membu...