Part 11

577 35 0
                                    

Adelia

"Bye, Get some rest !" kataku sambil melambaikan tangan pada Sita. Kami baru saja sampai dirumahnya.

"You too. Be careful" jawabnya sambil membalas lambaiannya. Akupun menjalankan mobilku, meninggalkan rumahnya. Bagaimana aku bisa istirahat sampai dirumah, pikiranku tidak mau berhenti sejak tadi malam. Aku terus aja memikirkan mana yang lebih baik, stay or divorce. Walaupun aku sudah mengambil langkah untuk menceraikan Mas Yudha, sekelebat alasan untuk tetap stay with him membuatku ragu. Aku seperti siap untuk melangkah, tetapi rasanya kakiku berat untuk diajak bekerja sama.

Sebuah pesan dari Pak Rudi, pengacara papa, bahwa surat gugatan cerai sudah sampai pada Mas Yudha kemarin membuatku tersadar kalau aku sudah sejauh ini. Aku sudah mengambil keputusan, dan ini harus aku menjalaninya. Tidak mungkin untuk mundur, pikirku.

Ponselku berbunyi, aku melirik pada benda itu. Nama yang tertera disana membuat jantungku berdebar cepat. Bukan Mas Yudha, tetapi Dinda. Aku membiarkan benda itu bunyi hingga mati dengan sendirinya. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus katakan. Kemungkinan besar keluarganya sudah mengetahuinya, ya kan? Aku kini merasa malu untuk berbicara dengan keluarganya. Apa yang harus kukatakan jika mereka bertanya?

Suara ponselku terus berbunyi beberapa kali. Aku tidak juga menjawab panggilan itu, masih dari nomor yang sama. Sekelebat rasa takut kini menyelimutiku. Mungkin aku telah menyakiti hati keluarga Mas Yudha? Iya, mungkin Mas Yudha sudah menyakitiku. Tetapi keluarganya? Aku masih mengingat ketika pertama kali Mas Yudha membawaku ke keluarga itu. Aku merasakan hangatnya sambutan mereka, bahkan aku cukup akrab dengan Dinda, Mama, maupun Mba Riri. Semuanya. Terlahir tanpa saudara, membuatku merasa lengkap dengan mereka. Kini, aku harus meninggalkan mereka. Ya, meninggalkan mereka.

Suara ponselku kini tidak lagi berbunyi. Tetapi sebuah pesan masuk. Dari Dinda. Ingin kuabaikan, tapi aku penasaran. Akhirnya aku meminggirkan mobilku dan memarkirkannya di bahu jalan. Ku raih ponsel itu dan membuka pesan. Isinya kini membuat tanganku dingin, mungkin aku siap untuk berhenti bernapas.

Adelia, tolong. Sepertinya terjadi sesuatu sama papa. Enggak ada yang ngerti, Mas Yudha enggak bisa dihubungi. Adelia mau kesini kan?

Setelah beberapa kali membaca pesan itu, aku segera menenangkan diriku. Aku mengambil jalan menuju rumah orang tua Mas Yudha, sambil mencoba menghubungi Mas Yudha. Benar kata Dinda, lelaki itu tidak mengangkat teleponnya. Akhirnya ku putuskan untuk menelpon dokter lain yang kukenal, yaitu papa. Papa mengatakan ia akan segera kesana bersama salah satu dokter yang mungkin bisa membantu.

Aku sampai dirumah orang tua Mas Yudha dan melihat rumah itu terlihat sepi. Dinda langsung menyambutku dan menarikku ke kamar orang tuanya ketika membukakan pintu untukku. Aku melihat papi, bapak mertuaku, sedang memegang baskom besar berisi darah. Dari ekspresi wajahnya sepertinya ia siap untuk muntah lagi. Lelaki itu terlihat pucat, lelah, matanya pun tidak kuat terbuka lagi. Ia bersandar pada tepi tempat tidur. Sedangkan seprai dan selimutnya sudah terdapat banyak bercak darah.

"Sejak kapan papi begini, Mi?" tanyaku pada Mami. Dinda sudah tidak ada disana karena aku memintanya mengambil set alkes Mas Yudha yang pasti ada di kamarnya.

"Tadi pagi, Adelia. Papi mengeluh sakit perutnya. Terus istirahat disini. Pas mami kesini, papi sudah muntah keluar darah" aku melihat ekspresi Mami juga sudah kalut.

"Sebelumnya papi enggak ada keluhan lainnya, Mi? Atau ada jatuh? Terbentur? Atau makan sesuatu?" tanyaku lagi, sambil meraba nadi ditangan papi. Aku merasakan nadi itu cepat tetapi lemah. Tangan papi juga terasa dingin. Mami hanya menggeleng lemah.

Holding OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang