Adelia
"Adelia" aku mendengar suara Mama dari balik pintu kamarku. Kamar di apartemenku. Ya, mama ikut membantuku untuk kembali sementara ke Depok. Aku akan menghabiskan waktu selama tiga bulan terakhir di kota ini untuk pelatihan, sekaligus untuk menghindari Mas Yudha. Aku butuh menetralkan hatiku.
"Masuk aja ma, enggak di kunci" kataku. Mama muncul dibalik pintu dan mendekatiku yang sedang tiduran di tempat tidur.
"Besokkan mama balik ke Medan. Malam ini mama mau tidur sama anak mama." Kata mama sambil memelukku. Aku membalas memeluk mama. Lama kami dalam posisi itu, sambil mama membelai rambutku. Aku baru merasakan betapa aku merindukan belaian mama. Terakhir kali? Mungkin saat aku SMA? Atau SMP? Aku tidak ingat.
"Adelia. Walaupun papa marah sama kamu, kamu tahu kan kalau papa juga menyayangi kamu sama seperti mama?" aku mengangguk dengan perkataan mama yang tiba-tiba itu. Mama belum melepaskan pelukannya, dan belum menghentikan belaiannya pada rambutku.
"Papa sama Mama mungkin sedih kalau kamu bercerai dengan Yudha. Tapi, kamu enggak perlu khawatir soal itu ya sayang. Karena bagi papa sama mama, lebih sedih lagi kalau kamu bertahan hanya karena takut kecewain orang-orang sekitar kamu. Papa sama mama enggak pernah rela anak kami satu-satunya ini di sakitin oleh orang lain. Oke? Papa sama mama akan bela kamu habis-habisan, sayang" kini aku semakin merekatkan pelukanku. Aku tidak ingin menangis, tetapi tanpa terasa air mataku sudah keluar dengan deras. Ah, betapa cengengnya aku ini.
"Mama tahu kamu sedih. Mama tahu rasanya sedih bercerai. Menangis boleh, tapi jangan menyerah pada hidup kamu. Oke?" Kini aku melonggarkan pelukanku pada mama, menangkat kepalaku untuk menatapnya.
"Mama, pernah cerai?" tanyaku. Sesungguhnya aku kaget dengan pernyataan mama tadi, bagaimana aku tidak pernah tahu?
"Mama, sama papa dulu pernah bercerai. Masalahnya adalah mama dan papa enggak punya waktu satu sama lain walaupun sudah menjadi suami-istri. Pertengkaran selalu jadi agenda harian. Sama seperti kamu saat ini, mama sama papa dulu cerai sebelum ada kamu, belum ada anak. Tapi, kami rujuk lagi setelah dua tahun, sadar kalau kami tidak bisa move on" Kata mama lagi. Mama tampak menerawang, seorang ia sedang menyaksikan masa lalunya.
"Tapi, dulu papa kamu tidak pernah memanfaatkan ketiadaan mama dengan wanita lain. Kamu tahu apa yang orang-orang katakan tentang papa kamu? Man of steel, manusia besi. Lempeng. Papa kamu selalu kaku, bahkan tidak pernah mencoba untuk bercanda dengan wanita lain. Malah dalam waktu dua tahun setelah kami bercerai itu, mama yang sempat pacaran sama orang lain. Papa kamu? Enggak sayang. Itulah kenapa mama mau di ajak rujuk sama papa dan ketika kamu lahir, mama akhirnya mau untuk berhenti kerja hanya untuk kamu. Buah hati papa dan mama" mama membelai pipiku. Aku baru mengetahui tentang hal ini. Aku tidak menyangka kalau mama dan papa pernah mengalami apa yang sedang aku rasakan. Pantas saja jika papa dan mama mengerti sakit yang kurasakan, terutama papa. Sakit melihat pasangannya bermain dengan orang lain saat kita tidak ada.
"Mama sama papa tahu bagaimana patah hatinya kamu saat ini. Kamu jangan merasa sendiri. Banyak yang sayang kamu, Adelia. Oke?" kata mama lagi. Aku mengangguk mendengar kata-kata mama. Untuk pertama kalinya, aku merasakan bahwa sakit hati ini ada yang mengerti
**
Yudha
Aku sudah cukup gerah dengan banyaknya pertanyaan tentang keberadaan Adelia. Terlebih dari keluargaku. Bagaimana Adelia tidak ada ketika mertuanya meninggal? Itu kata-kata mereka. Dan yang membuatku semakin panas ialah Adelia yang tidak bisa dihubungi. Sejak ia meninggalkan rumah ini sampai detik ini tidak bisa juga dihubungi.
Sudah empat hari terhitung sejak ia pergi dan tidak ada kabar lagi. Ponselnya tidak diangkat. Orang-orang di rumahnya juga tidak ada. Papi dan Mami kabarnya sedang keluar kota, tidak tahu kemana kata Bi Murni. Kenapa mereka kompak untuk tidak memberitahu dimana istriku? Apa karena perceraian itu? Tapi, bukannya Adelia sudah kembali bukan? Lalu, kenapa? Aku benar-benar frustasi.
Satu-satunya tempat yang belum aku datangi untuk mencari Adelia adalah rumah sakit. Walaupun aku sudah mencoba menghubungi teman-temannya di rumah sakit, ada yang mengatakan tidak tahu, Adelia tidak dinas, atau sama sekali tidak mengangkat teleponku. Aku harus melihatnya sendiri apakah Adelia ada di rumah sakit.
"Dokter Yudha udah masuk? Sudah mau visit pasien dok?" tanya Dokter Lia, ia merupakan salah satu dari dokter anak di rumah sakit ini.
"Enggak dok. Saya masih ambil cuti. Ini mau ketemu orang aja sebentar" aku berusaha ramah, walaupun aku sedikit gondok karena langkahku harus terhenti untuk menjawab pertanyaannya.
"Oiya dok. Saya turut berduka ya. Ini pasti berat untuk dokter. Apalagi istri tidak ada disamping dokter Yudha" katanya lagi. Aku menatap dokter yang hampir paruh baya ini. Bagaimana ia tahu Adelia sedang tidak bersamaku? Aku melirik perawat yang berada disampingnya berusaha untuk mengirim kode pada Dokter Lia. Ia lalu sadar, seperti baru saja mengatakan hal yang tidak seharusnya ia katakan.
Menyadari kalau mereka tidak mungkin membantu, aku segera pamit dan segera melesatkan diri ke lift, menuju lantai 2. Tapi hasilnya nihil. Tidak ada satupun orang yang mau mengatakan kemana Adelia. Hasil yang sama ketika aku ke lantai 6, ruangan lama Adelia, dan lantai 7, tempat Sita bertugas. Sita bahkan menolak untuk berbicara denganku. Aku benar-benar frustasi mencari wanita itu. Dengan kepala yang berdenyut, aku mulai menyerah dan turun ke lantai basement, berencana untuk pulang.
Harapanku kembali muncul ketika melihat sosok lelaki itu sedang berjalan menuju parkiran motor. Satu orang yang belum ku temui secara langsung untuk bertanya tentang Adelia. Sahabat Adelia, yang sebenarnya sangat ku benci. Tapi, tidak ada jalan lain. Ia harapan terakhirku.
"Adil" lelaki itu menoleh ketika mendengar teriakanku. Ia tidak tampak terkejut, mungkin ia sudah tahu kalau aku akan menemuinya.
"Adil, saya ingin bertanya..."
"Soal dimana Adelia?" katanya memotong perkataanku. Nah, kan. Ia tahu apa yang akan ku katakan
"Kenapa dokter bertanya sama saya? Bukannya dokter suaminya?" katanya lagi. Mendengar kata-katanya, rasanya aku ingin memukulnya saat itu juga. Kalau aku tahu, mana mungkin aku bertanya padanya, gumamku.
"Saya tidak ada waktu untuk bermain teka-teki lagi, Adil. Tidak ada orang yang mau memberitahu saya dimana istri saya. Tolong, kali ini saja" kataku lagi. Lelaki ini menatapku dengan tatapan tidak percaya. Ia menghembuskan napasnya dengan berat.
"Karena anda suaminya, maka sebenarnya anda seharusnya tahu dimana istri anda" katanya lagi. Ia menatapku tajam.
"Maksudnya?" aku tidak mengerti maksudnya. Bagaimana aku bisa tahu kalau tidak ada yang memberitahu?
"Kalau anda memang suaminya, yang memahami Adelia, mengerti ia. Anda pasti tahu sekarang dimana dia" kata Adil lagi. Aku masih tidak mengerti apa yang dimaksud lelaki ini.
"Bagaimana saya bisa tahu kalau tidak ada yang mengatakannya? Bagaimana saya bisa tahu kalau Adelia sendiri tidak mengatakannya?" kataku dengan nada sedikit emosi. Mungkin karena sudah cukup lelah.
"Adelia juga tidak cerita apapun dengan saya. Tapi saya tahu dimana dia" katanya lagi. Ia membalikkan badannya dan meninggalkanku sendiri. Meninggalkanku dengan segala kebingungan.
Akupun melangkahkan kaki ke mobil. Dengan perlahan aku mengemudikan mobilku keluar dari rumah sakit. Berjalan mengitari jalanan kota Medan, sambil mencari jawaban kemana istriku pergi, dimana ia sekarang.
Kalau dipikir-pikir, Adil benar. Adelia bukan tipe orang yang suka curhat. Tentu saja aku tahu itu. Adil benar, kalau aku benar memahami Adelia, pasti aku tahu dimana ia. Adil saja bisa, bagaimana aku yang suaminya tidak bisa tahu ia dimana. Aku terus berpikir. Hingga secercah ide muncul di kepalaku. Benar juga, Adelia pasti kesana. Aku segera menancap gas, menuju rumah.
**
![](https://img.wattpad.com/cover/193567032-288-k728861.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Holding On
عاطفيةBenarkah cinta cukup untuk mengalahkan ego dan menyelesaikan masalah diantara 2 manusia? Apakah mungkin mempertahankan pernikahan dengan saling curiga dan tipisnya kepercayaan antara suami dan istri? Akankah penyesalan akan datang ketika cinta membu...