Part 9

523 40 0
                                    

Adelia

Sudah lebih dari tiga hari sejak pertengkaran aku dan Mas Yudha terakhir kali. Yang kutahu, Mas Yudha tidak pulang malam itu. Aku mendapat telpon papa, bertanya apa yang terjadi, ketika melihat kaca di meja riasku sudah hancur berantakan. Untungnya aku bisa menjelaskan pada papa, kalau aku tidak tahu apa yang terjadi pada kaca itu (walaupun sebenarnya aku tahu) juga menyakinkan papa dan mama kalau Mas Yudha tidak melakukan kekerasan fisik kepadaku. Sudah cukup membuat nama Mas Yudha jelek karena kejadian di IGD itu, tidak perlu di tambah lagi. Bagaimanapun, aku masih istrinya saat ini dan tugas istri untuk menjaga nama baik suami. Iya kan? Ah, masih saja, Adelia. Just get over it.

"Gue tahu lo sama suami lo ada masalah, tapi apa perlu di perlihatkan di tempat kerja?" suara Sita mengembalikanku dari lamunan.

"Mana ada di perlihatkan. Orang biasa-biasa aja kok" jawabku. Aku masih melangkahkan kaki menuju lift. Aku melihat Sita menarik napas dalam.

"Siapa yang enggak heran, biasanya datang sama-sama, saling bercanda, kalau ada waktu dikit aja bisa pacaran dimanfaatin terus. Kayak enggak bisa dipisahin. Lah ini, lihat. Sita melirikkan matanya ke arah lift yang ada di sudut sebelah kanan kami berdiri. Terlihat seorang lelaki dengan kemeja biru liris-liris berdiri menunggu lift itu. Lelaki itu membelakangi kami, tetapi aku tahu itu Mas Yudha. Aku mengenal baik punggung lelaki itu. Ia terlihat lelah, sesekali ia memijat bahu dengan tangannya. Atau mendongakkan kepalanya, lalu memiringkan kekiri dan kekanan. Ingin sekali aku membantunya, apapun akan kulakukan untuk meringankan lelah lelaki itu. Sadar, aku merindukannya.

"Semua orang uda menggosipkan lo sama suami lo" kata Sita lagi ketika lelaki itu sudah menghilang di balik pintu lift. Aku tidak membalas lagi perkataan Sita dan langsung melangkah ketika pintu lift terbuka.

"Adelia" panggil Sita.

"Gue baik-baik aja, Sit. Tenang aja" aku memberikan senyum pada Sita. Saat itulah pintu lift terbuka pada lantai 2, tempatku bekerja.

"Oke. Happy night shift !" kata Sita, yang kubalas dengan "you too". Kami saling berbagi lambaian tangan sampai pintu lift kembali tertutup dan membawa Sita ke lantai 7. Aku melangkahkan kaki masuk ruang NICU, tempatku akan menghabiskan waktu bersama bayi-bayi.

**

Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Mataku mulai berat untuk dibuka. Tadi siang aku sulit tidur, dan baru tertidur menjelang sore. Akibatnya, kurang tidur, terlambat bangun, buru-buru, dan lupa membawa kopi. Aku merasa bodoh sekali. Kalau begini, bagaimana bisa tahan mataku untuk terbuka? Sedangkan jatah istirahatku dimulai jam 3, artinya masih ada 2 jam lagi. Aku harus bisa bertahan dalam waktu 2 jam.

Kuputuskan untuk berjalan, memeriksa setiap bayi. Apakah ada yang menangis karena kehausan atau perlu ganti popok. Ternyata tidak ada. Semuanya adem ayem. Aku kembali mengecek, apakah ada obat yang perlu diberikan jam segini, ternyata tidak ada. Sekali lagi, aku mengecek apakah ada perkerjaan yang belum diselesaikan untuk jam segini. Ternyata tidak ada, benar-benar tidak ada pekerjaan.

Pikiranku melayang ketika dulu masih tugas di lantai 6. Jam segini, ketika tidak ada pekerjaan lagi, Mas Yudha pasti turun ke lantai 6. Kami akan mengobrol, atau sekedar bercanda, untuk mengusir kantuk hingga waktuku bergantian untuk istirahat datang dan Mas Yudha akan disana membantuku untuk tidur emas yang hanya sejam. Ia akan mengusap-usap kepalaku, menatap mataku dalam, hingga bayangannya menghilang ketika kumenutup mata.

Tanpa sadar, air mataku menetes. Rasa rinduku benar-benar besar. Tetapi aku merasakan nyeri di dadaku. Aku tahu, kini kami dekat tetapi sangat jauh.

Suara monitor salah satu bayi mengagetkanku, mengembalikanku ke dunia nyata. Ternyata, salah satu bayi mengalami arrest. Aku segera memencet alarm code blue dan memberikan kompresi pada bayi itu dengan dua jari. Ayolah, bayi kecil. Ayo kembali, jangan pergi.

Rekan-rekanku yang lain segera mendatangiku. Kamipun segera melakukan protocol. Karena aku belum pelatihan, aku segera mundur dan menyerahkan kompresi pada perawat NICU lainnya sambil menunggu tim code blue datang.

Waktu berlalu cukup cepat. Tanpa sadar, sudah lebih dari setengah jam kami berusaha untuk mengembalikan di bayi kecil. Namun, tidak ada tanda-tanda bayi itu akan kembali. Tim pun memutuskan untuk berhenti. Ketika dokter mengumumkan jam kematian bayi itu, seperti sebuah palu memukul kepalaku. Sakit dan seketika ruangan terasa berputar. Beberapa memori enam tahun lalu kembali bermain di kepalaku, bersamaan dengan rasa sakit masih terus menyiksaku.

Aku merasakan ada tangan yang memegang bahuku. Baru kusadari, hampir jatuh tidak di tangkap oleh tangan itu. Aku merasakan tangan itu tidak asing, dan hatiku mengatakan aku merindukan si pemilik tangan.

"Bawa istirahat aja dulu, Dok. Mungkin lagi lelah, dari tadi kayaknya uda ngantuk berat" aku mendengar kak Irun, salah satu seniorku di ruang NICU ini. Lalu, kedua tangan itupun mengiringku ke nurse station bagian belakang. Aku duduk di salah satu bangku disana, dan aku merasakan ia duduk di bangku sebelahku. Kami hanya diam. Kedua tangannya melingkar pada bahuku, aku tidak kuat untuk menahan. Di dadanya, aku menangis. Dalam diam, bulir-bulir air mata itu terus berjatuhan, tidak mau berhenti.

Aku tidak tahu berapa lama aku menangis. Tahu-tahu, NICU sudah kembali sepi. Bayi malang itupun sudah di serahkan kepada kedua orang tuanya. Tim code blue sudah menghilang. Aku melirik ke depan, tinggal beberapa perawat NICU yang ada, sisanya sudah balik istirahat sepertinya. Mereka yang tinggal pun sudah meletakkan kepala di atas meja.

Aku menatap ia yang ada disebelahku kini. Ia menatap lurus kedepan. Kutatap garis wajahnya dari samping. Tiba-tiba, tangannya kembali mengangkat, mendorong kepalaku untuk menyandar pada bahunya. Lalu, tangannya mengelus kepalaku.

"Terima kasih, Mas" kataku. Ia menghentikan seluruh aktifitasnya. Sedikit ia menggeser tubuhnya menghadapku. Kini, wajah kami sangat berdekatan. Aku bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku. Kami diam dalam beberapa lama.

"I miss you so badly. I feel hurt too, see you like this." Ia mencium keningku lama. Aku menutup mata, merasakan kecupannya pada keningku. Aku kembali merasakan diriku terlindungi oleh lelaki ini. Aku kembali merasakan diriku aman bersama lelaki ini. Satu rasa yang pernah hilang.

Ketika kecupan itu sudah tidak kurasakan lagi, aku membuka mata. Aku kembali bertatapan matanya. Mata yang selalu ku rindukan, mata yang menatapku dengan penuh kasih sayang. Tanpa sadar, bibirku tertarik, aku memberikan senyum untuk lelaki ini. Senyum tulusku, yang juga sudah lama tidak kuberikan untuknya. Ia tampak terkejut, lalu membalas senyum.

Aku tidak tahu berapa lama kami saling berbagi senyum. Pada menit itu, aku tahu kalau wajah lelaki ini semakin dekat. Sampai hidungnya menyentuh hidungku. Pada detik berikutnya, yang kutahu bibirnya telah menyentuh bibirku. Aku ingin membalas ciuman yang telah lama kurindukan ini. Baru saja, bibirku akan membuka, sekelebat rasa sakit langsung menyerang dadaku. Menyadarkanku tentang berbagai pertengkaran yang belakangan ini kami alami, bagaimana kami saling menyakiti satu sama lain. Dan bagaimana aku membenci diriku sendiri karena membuka diri kembali untuknya.

**



Holding OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang