Part 4

536 32 0
                                    

Adelia

Kepalaku kembali terasa berat. Rasanya aku ingin sekali saja mengistirahatkannya, sebentar saja. Jam sudah menunjukkan pukul 4 pagi dan pekerjaanku baru saja selesai. Tanggung ingin istirahat, sebentar lagi sudah banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.

Aku melipat kedua tanganku diatas meja, dan mengistirahatkan kepalaku di atasnya. 'Sebentar aja, sebentar aja', gumamku. Baru saja mataku akan tertutup, suara pintu lift terbuka membuatku kembali terjaga. Aku mendengar suara langkah kaki mendekat ke nurse station. Aku melihat sosok lelaki itu, tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumnya.

"Uda, gapapa. Istirahat aja" katanya sambil meletakkan kembali kepalaku diatas kepalaku.

"Pagi banget bang datengnya." kataku. Lelaki itu duduk di kursi sebelahku.

"Iya. Semalam nanya yang lain, katanya kamu dinas malam. Saya ingin ketemu kamu. Kalau nyampe seperti biasa, yang ada kamu sibuk atau keburu pulang." lelaki itu sibuk dengan layar komputer di depannya. Ia sama sekali tidak melihat ke arahku.

"Ada apa bang?" tanyaku. Sesungguhnya aku tidak terlalu terkejut ia ingin menemuiku. Hanya saja..

"Kamu enggak apa-apa? Apa kata Bu Suci? Yang soal kemarin itu, kamu dapat masalah?" kini lelaki itu menatap mataku. Aku melihat rasa lelah juga khawatir pada mata dibalik kaca matanya. Tatapannya tajam ke arahku.

"Abang tau gimana Bu Suci itu lebih dari saya kan?" jawabku tersenyum. Aku tidak bisa memungkirin kalau hatiku tersentuh pada perhatiannya. Aku bisa merasakan perhatiannya padaku.

"Tapi enggak dihukum kan? Kayak disuruh bersihin toilet, atau " aku menggeleng sambil tertawa. Lelaki itupun ikut tertawa.

"Abang enggak kena masalah sama Bu Suci? Secara kan, Bu Suci atasan abang langsung" tanyaku. Lelaki itu menghentikan tangannya yang dari tadi sibuk dengan mouse, kini pandangnnya kembali ke arahku sejenak, lalu kembali ke layar komputer.

"Saya sudah biasa kena masalah sama Bu Suci, enggak usah khawatir. Dia bisa marah, tetapi enggak akan bisa menggantikan saya. Bisa pusing dia mencari manager seperti saya" aku bisa melihat senyumnya dari samping.

"Seperti abang? Kenapa abang?" tanyaku lagi. Aku mengerutkan kening.

"Iya. Manager teknisi yang masih mau turun ke lapangan, menjadi ahli teknisi serba bisa. Udah gitu, ganteng lagi" lelaki itu tersenyum lebar, menampilkan gigi-giginya yang tersusun rapi. Kami berdua berbagi tawa lagi.

Aku memperhatikan lelaki di hadapanku ini. Jika aku belum memiliki suami, aku mungkin tertarik padanya. Ia memiliki semua kriteria lelaki idaman yang pernah aku buat saat duduk di bangku SMA. Tubuhnya yang atletis, warna kulitnya yang cukup putih untuk ukuran laki-laki, garis wajahnya yang tegas walaupun memiliki perawakan seperti keturunan chinesee, sikap perhatiannya, dan selera humornya.

Namanya Ryan. Ia manajer pelayanan umum. Ia membawahi divisi teknisi, divisi keamanan, dan apa lagi ya, lupa. Pokoknya yang tidak berhubungan dengan pelayanan medis, administrasi, maupun keuangan. Bang Ryan, ia lebih memilih di panggil abang dari pada bapak karena usianya masih muda, dikenal sebagai orang yang ramah pada siapa saja. Benar, ia satu-satunya manajer yang sering berkeliaran di rumah sakit. Ia selalu memastikan semuanya baik-baik saja.

Pikiranku kembali pada kejadian kemarin, masalah yang ditimbulkan oleh seorang pasien yang membuat aku di panggil oleh direktur. Saat itu, pasien marah-marah padaku karena perawat lama datang ketika ada bel dan enggan untuk memotongkan buah. Aku memberi dalih karena banyak tugas kami yang lebih penting untuk dikerjakan, sedangkan pasien tersebut memiliki keluarga yang menungguinya. Saat kejadian itu, aku hampir saja meluapkan marahku pada pasien itu. Namun, Bang Ryan, yang saat itu kebetulan lewat, membantuku. Ia sempat berdebat dengan pasien tersebut.

Holding OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang