Adelia
Ini sudah tiga hari mas Yudha tidak pulang, tidak juga menghubungiku. Aku menatap layar ponselku yang kosong. Aku baru saja selesai handover dengan dinas siang, dan baru menyadari kalau aku belum makan sejak kemarin. Di loker, aku menatap dua tempat makan yang belum juga ku sentuh. Tadinya aku ingin memberikan salah satunya pada mas Yudha, yang ku tahu ia jaga malam. Tapi kejadian tadi pagi benar-benar meremukkan hatiku.
Pertama kalinya aku melihat mas Yudha dengan wanita lain. Aku mendengar suara mas Yudha dan wanita itu tertawa di balik tirai bed di IGD yang paling ujung. Aku tahu, pagi itu sudah sangat sepi, tidak ada lagi pasien. Beberapa perawat juga sedang mengistirahatkan diri di bangku, tidur dengan posisi duduk. Aku mencoba untuk menahan diri, berkata kalau itu bukan mas Yudha. Tapi terkejut ketika lelaki yang keluar di balik tirai itu adalah mas Yudha. Aku menarik diri di balik tirai bed sebelahnya, menutup diri dengan tirai. Setelah yakin ia telah pergi, aku mendengar suara tirai di geser. Aku melihat wanita itu sedang mengaitkan beberapa kancing kemejanya. Jantung berdetak jauh lebih kencang. Apa yang mereka lakukan?
Aku mengenal wanita itu, salah satu dokter muda yang masuk bersamaan dengan mas Yudha di rumah sakit ini. Aku tahu, banyak yang mengagumi dokter itu. Tidak seperti Adil yang blak-blakan mengatakan wanita itu cantik dan cocok dijadikan pacar, mas Yudha selalu mengelak ketika aku bertanya. Berbagai kemungkinan muncul di pikiranku. Terasa perih dalam dadaku. Mungkinkah ini alasannya mas Yudha tidak lagi sabar padaku, selalu berakhir pertengkaran diantara kami. Terlebih saat ini, ia meminta space? Apa karena ini? Aku tidak sanggup untuk membayangkannya. Tanpa terasa, kepalaku terasa berdenyut kembali.
Getaran panjang dari ponselku menandakan kalau ada panggilan masuk membuyarkan lamunanku. Aku melihat, ternyata papa yang menelpon.
"Iya pa?" kataku setelah menekan tombol hijau.
"Kamu sudah siap jam dinas? Sudah makan siang? Mau makan bareng papa?" aku mengerutkan dahi. Tumben papa bertanya.
"Iya pa, ini Adelia baru selesai. Bentar lagi pulang. Papa belum makan?" tanyaku balik.
"Belum, papa mau makan sama kamu. Bagaimana Adelia?" aku kembali di buat heran. Ada apa lagi ini? Apa ada kesalahan lagi yang kubuat?
"Baiklah pa. Papa kasi tahu aja Adelia dimana, nanti Adelia kesana" kataku. Aku rasa tidak ada salahnya makan bersama papa, daripada sendirian.
Aku segera meninggalkan rumah sakit setelah beres-beres, menuju rumah makan yang dikatakan papa. Aku sedikit bersyukur karena kini aku bekerja di ruang NICU karena di ruangan ini memiliki baju khusus yang tidak boleh dibawa keluar rumah sakit. Jadi, aku selalu memakai baju bebas ketika berangkat kerja.
"Pesan apa?" tanya papa tepat ketika aku sampai. Diatas meja papa sudah ada teh manis hangat. Kebiasaan papa, kemanapun ia makan, minumnya tetap teh manis hangat.
"Nasi goreng spesialnya satu, sama lemon tea ya mba" sama sepertiku, yang tidak bisa lepas dengan nasi goreng dimanapun. Setelah mendengar pesanan papa, pelayan itu pun pergi.
"Adelia." aku melihat ke arah papa yang duduk didepanku. Ia terlihat gelisah.
"Ada apa, papa? Ada masalah? Bilang aja sama Adelia" kataku pelan. Sesungguhnya ini pertama kalinya aku melihat papa gelisah. Sebesar apa masalah yang di tanggung papa kali ini? Papa terlihat menarik napasnya panjang.
"Adelia, kamu tahukan kalau papa sayang sama kamu" kata papa. Aku langsung diam dengan kata-kata papa. Ini terlalu mendadak, aku tidak tahu kemana arah pembicaraan papa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Holding On
RomanceBenarkah cinta cukup untuk mengalahkan ego dan menyelesaikan masalah diantara 2 manusia? Apakah mungkin mempertahankan pernikahan dengan saling curiga dan tipisnya kepercayaan antara suami dan istri? Akankah penyesalan akan datang ketika cinta membu...