Adelia
Kembali ke apartemen, aku tidak lagi melihat tanda-tanda adanya Mas Yudha. Lelaki itu benar-benar pergi. Dengan langkah gontai, aku memasuki kamar. Kakiku tidak kuat lagi menahan tubuhku, segera tubuhku ambruk ke lantai. Dengan sisa tenaga, aku menyeret tubuhku ke tempat tidur. Aku butuh istirahat.
Tubuhku memang sudah sangat lelah, tapi sepertinya mataku enggan untuk tertutup. Pikiranku pun enggan untuk berhenti bekerja. Semua perhatianku kini tertuju pada kenangan beberapa jam lalu, saat Mas Yudha masih ada dikamar ini. Saat kami berpikir bahwa masalah itu sudah selesai, dan siap untuk membangun kembali apa yang hancur. Tapi semuanya pupus sudah.
Tanganku meraba pada satu-satunya peninggalan Mas Yudha yang ada padaku saat ini, yaitu cincin pernikahan darinya yang masih tersemat pada jari manis kananku. Aku memperhatikan benda yang sering kali kulepas saat sedang bekerja itu. Ini salah satu untungnya memiliki pasangan yang satu lingkungan pekerjaan dengan kita, paham kalau hal sekecil ini tidak menjadi bahan pertengkaran. Mas Yudha paham kalau cincin tidak boleh digunakan selama bekerja. Terkadang aku merasa kasihan ketika beberapa rekan sesama perawat yang harus bertengkar dengan suaminya karena ketahuan melepas cincin saat bekerja. Aku tidak tahu sebelumnya kalau hal sekecil itu berarti cukup besar bagi pasangan.
Cincin ini juga mengingatkanku pada pembicaraanku dengan Kak Elly beberapa hari lalu. Saat itu, pertama kalinya aku makan siang bersama dengan Kak Elly, yang selanjutnya membuat kami semakin akrab, selain karena sama-sama pulang ke Depok.
"Are you Married?" Tanya Kak Elly mengangetkanku. Aku baru saja akan memasukkan satu suapan nasi goreng spesial ini ke mulutku tapi terhenti karena pertanyaan itu. Pandangannya ke arah sesuatu di jari manisku yang menghadap padanya.
"Iya kak" jawabku sambil mengikuti arah pandangannya ke jariku.
"Kenapa sedih?" tanyanya lagi. Aku terperanjat, terkejut dengan pertanyaannya.
"Enggak kok kak." aku tersenyum. Lalu melanjutkan suapan yang sempat terhenti tadi.
"I know it. Kamu sedih. Lagi ada masalah?" tanyanya lagi. Aku menatap Kak Elly, sepertinya ia tidak menyerah. Tapi rasanya bukan hal yang tepat untuk berbicara tentang masalah rumah tanggaku dengannya.
"Beneran kak. Cuman capek aja kak makanya keliatan sedih" kataku lagi. Aku kembali tersenyum, berusaha meyakinkannya.
"Don't lie to me. Sudah berapa lama kita sama-sama, tapi kamu enggak pernah cerita tentang suamimu bahkan enggak cerita kalau sudah menikah. Kakak aja cerita. Kenapa?" aku terdiam, berusaha berpikir jawaban apa yang bisa kuberikan. Aku melirik kiri dan kanan, mencari sesuatu yang bisa mengalihkan perhatiannya dari topik itu.
"Jangan coba-coba untuk mengelak lagi, mencari alasan, Adelia" Sial, aku ketahuan berusaha untuk menghindarinya. Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa cocok untuk menceritakan hal ini pada Kak Elly.
"Tell me, Adelia. Mungkin dimulai dari pertanyaan ini kali ya. Who's his name? What is he doing?" aku dan Kak Elly tertawa.
"Well. Yudha is his name. He is a doctor" jawabku. Aku kembali memberikan perhatian pada piringku yang masih penuh dengan nasi goreng. Ah, padahal tadinya aku begitu lapar dan ingin menghabiskan isi piring sampai ludes. Tapi semua selera itu telah hilang entah kemana.
"Oke. Satu lagi kesamaan kita yang kuketahui. Di rumah sakit yang sama? Spesialis?" tanya Kak Elly lagi. Sama denganku, ia hanya memainkan sendok pada nasi gorengnya. Mungkin ia juga telah kehilangan selera makan juga.

KAMU SEDANG MEMBACA
Holding On
RomantizmBenarkah cinta cukup untuk mengalahkan ego dan menyelesaikan masalah diantara 2 manusia? Apakah mungkin mempertahankan pernikahan dengan saling curiga dan tipisnya kepercayaan antara suami dan istri? Akankah penyesalan akan datang ketika cinta membu...