Yudha
Suara alarm membangunkanku dari tidur panjangku. Aku melihat jam pada dinding didepanku. Sudah saatnya aku bangun, dan bersiap-siap untuk berangkat ke bandara jika tidak ingin ketinggalan pesawat. Sambil mengumpulkan kembali nyawa saat duduk di pinggir tempat tidur, aku melirik koper ukuran kecil yang ada di pojok kamar. Aku masih tidak percaya kalau aku akan pergi seperti ini.
Handuk di dekat pintu kamar mandi dengan kasar aku menariknya. Dibawah pancuran, aku kembali mengulang serentetan kejadian kemarin malam. Mulai dari panggilan untuk pasien pertamaku, sampai aku yang memberanikan diri untuk mencium istriku kembali. Aku berpikir, ia telah kembali membuka hatinya untukku. Kembali membuka lembaran baru untuk kisah pernikahan ini. Dan aku akan menceritakan tentang keberangkatanku hari ini, bahkan mungkin memintanya untuk mengambil cuti dan ikut denganku. Tapi, aku merasakan ia masih menahan dirinya untukku, tidak memberikan ciumanku ruang dihatinya, hingga ia bangkit meninggalkanku tepat ketika aku menarik bibirku darinya. Aku sadar ia belum memaafkanku.
Aku menguatkan hatiku, ini hanya sementara. Aku dan Adelia hanya butuh ruang untuk sama-sama intropeksi diri. Kami baru saja saling menyakiti, harus ada waktu menyembuhkannya. Ia akan kembali padaku. Ia akan kembali.
"Mas Yudha, ini apa?" suara Dinda mengagetkanku. Tanpa ketokan, ia langsung masuk saja ke kamarku. Untung saja aku sudah berpakaian lengkap. Kalau tidak, bisa lain lagi ceritanya. Pasti ia akan berteriak yang artinya akan menghebohkan satu rumah.
Aku melihat Dinda mengacungkan sebuah map yang asing bagiku. Tidak ingat kalau aku akan menerima surat. Dari siapa? Untuk apa? Apa ada hubungannya dengan seminar yang akan kuhadiri?
Aku mengambil map yang di tangan adikku itu. Jantungku berdebat kencang ketika membaca pengirim surat tersebut. Dengan kasar langsung ku buka map itu. Adelia benar-benar akan niatnya. Kini surat gugatan cerai itu ada di tanganku. Dadaku bergemuruh, merasakan nyeri dan sesak yang amat berat.
"Kalian, akan bercerai?" suara Dinda pelan, tapi cukup membuat nyeri di dadaku bertambah.
"Enggak, enggak akan" jawabku. Aku berbalik. Meraih koper, dan menggiring koper itu keluar kamar.
"Mas tetap akan pergi dengan hubungan kalian seperti ini?" tanyanya lagi. Aku tidak memperdulikan kata-kata Dinda. Yang butuhkan saat ini ialah ketenangan. Aku tidak ingin adikku menjadi sasaran emosi yang siap meledak ini.
"Mas !" panggil Dinda, tahu bahwa ia diabaikan oleh abangnya ini. Langkahku belum mau berhenti. Aku terus berjalan meninggalkannya.
"Mas !" sekali lagi aku mendengar ia memanggilku dengan nada yang lebih tinggi. Aku masih terus berjalan.
"Mas ! Berhenti gak!" kali ini Dinda berteriak. Aku menyerah. Langkahku terhenti. Aku berbalik menatap Dinda.
"Iya, Mas pergi. Just a little escape. Mas sama Adelia cuman butuh sedikit waktu. Mas enggak akan bercerai. Oke, Dinda?" kataku lagi. Tanpa mendengar jawabannya, aku langsung berbalik lagi meninggalkannya.
"Mas tahu, dibandingkan Mas Yudhi dan Mba Riri, Dinda menyayangi kalian lebih. Mas lebih baik pegang kata-kata Mas, you are not letting her go" kata-kata Dinda membuatku kembali diam.
"You have my word, sister" aku memberikannya senyum, dan kembali berbalik menuju pintu keluar. Setelah pamit sama papi dan mami, aku berangkat dengan taksi menuju bandara. Aku menolak di antar oleh mereka dengan alasan aku butuh waktu sendiri. Tentu saja mereka memberikannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Holding On
RomanceBenarkah cinta cukup untuk mengalahkan ego dan menyelesaikan masalah diantara 2 manusia? Apakah mungkin mempertahankan pernikahan dengan saling curiga dan tipisnya kepercayaan antara suami dan istri? Akankah penyesalan akan datang ketika cinta membu...