6. Buliran Air Cinta

150 65 5
                                    

Pukul 14:47.

Aku dan Vira masih setia duduk di café ini, sedangkan kak Zaki terpaksa ppergi terlebih dahulu karena ia akan menemui adiknya.

Sunyi, tanpa percakapan antara aku dan Vira. Telinga ini hanya mendengarkan alunan musik Negara Barat yang memang sengaja dinyalakan oleh seorang yang berada dibalik meja barista café ini.

Aku sibuk dengan laptop dihadapanku dan Vira sibuk dengan ponsel ditangannya.
Jemariku mulai lelah, karena sedaritadi menari–menari diatas keyboard laptop.

Kuhentikan tariannya, kugunakan tuk mengambil secangkir cappuccino yang berada disebelah kanan laptop. Kuminum cappuccino ini dengan berlahan dan dengan tiga tegukan yang menghangatkan tenggorokan ini.

Pandanganku memperhatikan bagian outdoor café ini.

Tiba–tiba ada yang menjanggal pandanganku, seorang pria yang terlihat tak asing sedang menatapku, tapi saat aku menatapnya dia malah memalingkan wajahnya dari arahku. Seakan dia menyembunyikan dirinya dariku.

Seorang pria yang memiliki tubuh ideal. Wajahnya terlihat dari samping, wajah yang tampan dengan hidung yang mancung, bibir tipis, berkulit putih.

Dan dia mengenakan kaos hitam dilapisi baju berwarna biru tanpa dikancingkan, celana jeans, dan sepatu warna putih yang memberikan penampilan yang begitu terlihat style.

Seketika detak jantung ini berkejaran, dalam benak hatiku berkata
“Oh ya Allah apa benar itu Akbar?”

Semakin kuperhatikan pria itu, semakin yakin hati ini bahwa dia adalah Akbar. Dia tahu bahwa aku memeperhatikannya, dia pergi meninggalkan café ini.

Ahh rasanya ingin kuhampiri sebelum dia luput dari pandanganku. Tapi aku masih sadar diri, aku bukan perempuan segegabah itu untuk menghampiri seseorang yang tak kukenal.

Apa benar itu Akbar?

Sekian lama ia pergi akan kah mungkin ia kembali lagi?

Atau memang aku yang salah melihat orang?

Apa memang bisa jadi orang itu memang mirip dengan Akbar?

Masih banyak pertanyaanku yang bermunculan pada diri ini dengan sendirinya.

“Chi, pulang yuk?!”
Serentak pertanyaan itu hanyut dalam suara ajakan Vira.

💎💎💎

Seorang wanita sedang duduk santai diatas sofa yang berada diruang keluarga dengan membaca majalah diatas pangkuannya.

Kumelangkah mendekatinya, kududuk disamping wanita itu dan kusandarkan kepalaku dibahunya.

Kutanyakan sesuatu pada wanita itu “Mama, masih inget laki–laki yang namanya Akbar?”

“Akbar? Hmm… entahlah?”
Jawabnya dengan membelai rambutku dengan pandangan yang masih membaca majalah.

“Laki-laki yang waktu Suchi SMP. . . ”

“Owh, iya mama inget Pak Akbarudin guru matematika yang nyuruh kamu buat ikut olympade kan?!”
Ucap wanita itu yang memutuskan perkataanku

Huft..
Sudah kuduga Mama gak inget tentang Akbar. Padahal waktu SMP, pertama orang yang kucurhati ya Mama.

“Aduuh, Ma bukan itu”

“Loh, trus siapa?” Tanya wanita itu

“Akbar yang pernah Suchi sukai, Ma”

“Owh.. itu iya kalo itu Mama inget, yang nembak kamu trus kamu tolak eh dianya malah bersyukur kan?!”

Alhamdulillah Mama masih ingat.

Beberapa menit kemudian, kucurahkan semua kejadian di café itu pada Wanita itu, saat aku melihat sosok pria, pria yang aku sangka bahwa itu adalah Akbar.

Dan respon wanita itulah yang kutunggu yaitu mendo’akan, karena dengan do’a seorang Ibu Insya Allah pasti terkabulkan.

Sebenarnya mama sering melarangku berharap lebih pada Akbar yang takku ketahui keberadaannya, lagipula belum tentu  hatinya masih menyimpan perasaan yang sama seperti tiga tahun yang lalu atau tidak.

Tapi mama tetap mendo’akan apa yang di inginkan anaknya. Aku meminta wanita itu untuk mendo’akanku.

“Bila memang Akbar masih menyimpan perasaan cinta untukku, maka simpanlah pula rasa cinta ini untuknya”.

Walau sebenarnya hati ini merindukannya, tapi aku tak mau meminta bertemu dengannya hingga nanti pada waktunya Allah telah menyiapkan waktu yang tepat karena aku tak mau anugrah yang telah Allah berikan berupa mata dan hati ini digunakan bukan pada waktunya.

💎💎💎

Malam yang sunyi. Di jendela kamar kumenatap langit gelap tanpa bintang yang menghiasi, tak lama kemudian air hujan turun dari langit kosong itu.

Bulir–bulir air menetes dan menempel di jendela kaca bagian atas berlahan–lahan buliran itu jatuh kebagian kaca bawah, otakku menyaring kejadian gravitasi alamini.

Kemudian kuambil kamera DSLR yang berada diatas meja penuh dengan lembaran–lembaran moment berupa foto. Kuatur ISO, shutter speed, frekuensi pada kamera ini, kumulai menjepret bulir–bulir air tersebut.

Kuimport foto peristiwa itu dalam laptop. Kubuka akun Instagram., kuupload foto itu dan kuberi caption

“Janganlah perasaan ini seperti buliran air yang menetes.

Saat ia dengan bangganya berada di posisi atas, tiba-tiba ia terjatuh hingga posisi terbawah karena buliran air lain yang menempati posisinya.

Begitupula dengan perasaan, saat persaan hati ini bahagia pada satu orang jagalah persaan itu abaikan orang lain yang berusaha menjatuhkan hatimu”.

~ Continued ~

•••

Jangan lupa ya tinggalkan jejak kalian di comment atau pun vote

Terimakasih ☺

•••

Follow Instagram : @pnalfiya

CINTA & IMPIAN SUCI (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang