Bagian 4 : Ragu

153 90 168
                                    

"Ingatlah, kalian adalah orang yang paling kupercaya. Jadi, jangan membuatku kecewa," - Elysen Carsalor
~~~~

Satu minggu setelah ayah menceritakan jati diriku yang sebenarnya, aku sama sekali belum pernah mengunjungi Dai. Dan Darfin-pun belum pernah berkunjung ke tempatku. "Dimana Darf? Dia tidak mengkhawatirkanku!" aku memasang raut wajah masam. Sahabatku satu itu tak menampakkan batang hidungnya.

Kurasa akulah yang harus mengunjungi Darfin dan Dai, bosanku sudah berada di puncak  karena ayah yang pergi berlayar tak kunjung pulang.

Aku bergegas masuk ke dalam rumah, mengambil tas kecil yang terbuat dari kulit kerbau dan mengunci pintu rumahku.

Namun, saat hendak melangkah meninggalkan rumah, aku melihat sosok yang tak asing bagiku. Aku mengangkat alisku lantaran tak percaya.Mengusap-usap mukaku kasar untuk memastikan apa yang kulihat itu benar atau tidak.

"Da-Dai? Itu kau?" ucapku tak percaya, lantaran karena melihat seorang Shiren berjalan menggunakan kaki.

Dai tersenyum miring melihatku yang gelagapan, senyum menjengkelkannya yang membuatku merasa menjadi mahkluk terbodoh. "Kau lupa aku bangsawan Ely," ucapnya santai.

Aku hanya bersender pada tiang rumah, "Ah baiklah, aku lupa itu. Ayo sini masuk! Aku rindu padamu,"

Dai menatap lekat kearahku, samar tapi memang, Dai mengangkat kedua sudut bibirnya. Tercetaklah senyum seorang pangeran Shiren yang dingin.

Aku yang menyadari itu, langsung menyambarnya, "Hei Degen! Kau tersenyum? Ouhh," ucapku menggoda Dai yang langsung mendatarkan wajahnya. Tentu aku dengan senang hati kembali menertawakannya.

🍃🍃🍃

"Jadi, Darfin tidak mengunjungimu?" Dai melontarkan pertanyaannya padaku.

Aku menggeleng kuat, "Tidak Dai, dia menjengkelkan sekali," aku melipat kedua tanganku kesal.

"Dia pernah datang, saat aku mengantarkanmu," sahutnya.

"Benarkah?"

"Ya."

Aku menghela nafasku, memikirkan Dai dan Darfin membuatku pusing. Padahal, aku hendak bercerita pada mereka, tentang jati diri yang baru saja aku dapati dari cerita ayah. Dan si Darfin malah tidak terlihat.

"Ah, Dai. Maukah kau mendengar ceritaku?" aku menatap laki-laki yang tengah memainkan kakinya.

Dai menoleh. "Silahkan," jawabnya singkat.

Aku menyeka dahi, Dai selalu saja berbicara seperti itu, menyebalkan sekali.

"Ah, kurasa tak usah. Nanti kau tidak mau berteman lagi denganku," Dai kini menoleh, memberhentikan seluruh aktifitasnya.

Lelaki itu menatapku lekat-lekat. "Katakan Elysen," ucapnya, seperti memberi titah pada prajuritnya.

"Kau yakin?" tanyaku meyakinkan.

"Katakan."

"Huh baiklah Degen, tapi kau harus dengarkan tanpa memotong. Saat aku usai tenggelam, ayahku banyak menceritakan hal yang tak aku ketahui, mulai dari ibuku disiksa di Bascal, sampai dengan kenyataan kalau aku seorang penyihir dan-" aku tersentak, baru saja aku memintanya tak memotong, tapi sama sekali tak diindahkan.

"Kau penyihir?" tanyanya.

"Kata ayahku," aku menunduk.

Dai semakin menatapku lekat, "Bagaimana kau menggunakan sihir?"

Elysen & The Old StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang