Bagian 8 : Noic

87 60 105
                                    

Jangan lupa vote dan comen ya:)

Seusai melahap makanan yang dikirim oleh Ratu Grehana, aku mendudukkan diriku di pojokan gua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seusai melahap makanan yang dikirim oleh Ratu Grehana, aku mendudukkan diriku di pojokan gua. Membuka kotak berbentuk persegi panjang yang diberikan oleh Gwill.

Dan tampaklah sebuah tongkat sihir berwarna gelap. Dengan pegangannya berbentuk lingkaran. "Ini menakjubkan!"pujiku.

Setelah puas memandangi tongkat sihir baruku, aku membuka buku pemberiam Gwill. Kubaca halaman demi halaman.

Aku takjub sekali, ternyata ibuku menuliskan hal yang sangat luar biasa di dalam buku itu. Halaman kedua kudapati mantra-mantra dasar dalam dunia sihir.

Halaman selanjutnya ada cara memanggil roh serta ritualnya. "I-ini hebat. Aku harus mempelajari dari yang termudah,"

dengan gesit aku meraih jubah penyihirku yang tergantung di dinding gua.

Kemudian berlari menuju mulut gua dan dengan sigap menembus air terjun yang menjadi pembatas gua.

Byur....

"Aduh basah semua!" ucapku.

Air terjun berhasil mengguyurku lagi.

Aku segera membuka buku besarku, kubalik halaman demi halaman, dan alhasil, kutemukan tulisan tentang sihir air dasar.

"Bisakah ini untuk mengeringkan tubuh?" aku mengangkat sebelah alisku. Tanpa berpikir panjang, aku mencoba mengikuti instruksi yang ada di buku itu.

Dengan posisi badan yang lurus, aku mengayunkan tongkatku perlahan. Dengan fokusku kuarahkan pasa jubahku yang basar.

"Wateorala sigma!"

***

Aku kaget melihat keadaan jubahku. Sekarang, aku sangat kering! Jubahku tak basah lagi. "A-aku berhasil!"

Aku melompat-lompat kegirangan. Mantra pertamaku berhasil. Aku mencoba mengingat-ingat mantra yang baru saja aku pelajari. Karena aku tahu, suatu saat mana mungkin aku membawa buku ini kemana-mana.

"Ya! Saatnya latihan!"

Aku menghafal mantra-mantra dasar yang dituliskan oleh ibu. Sesekali mencoba mempraktekan mantra-mantra tersebut.

Hingga baru aku sadari, Dai sudah lama melihatiku berlatih. Ia dengan santai duduk di atas batu besar yang berada di depan pintu masuk gua.

"Sejak kapan kau di sana, Dai?" tanyaku sambil melipat kedua tanganku.

Dai dengan entengnya mengangkat bahu. "Sejak tadi. Buku apa itu?" tanyanya.

"Ini peninggalan Ibu. Gwill yang memberikan," aku memerlihatkan buku besar pada Dai.

Kini laki-laki itu membuka halaman buku yang kuberikan, "Pelajarilah, kita akan berangkat dua hari lagi. Kau bisa gunakan waktu untuk latihan," ucapnya sambil terus membaca buku.

Elysen & The Old StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang