Bagian 2 : "Tolong aku!"

317 192 193
                                    

Aku berlayar pulang menuju pulau dimana desaku berada. Dan kembali menatapi hadiah dari Dai. Sebuah cincin.

"Cincinya cantik, kalau dijual mahal nggak ya?" Aku tertawa sendiri mendengar perkataanku yang kunilai sangat konyol.

Aku memakaikan cincin pemberian Dai, pas sekali di jariku. Dan tentunya, itu sangat cantik.

Mataku tak luput memandangi setiap inci bagian cincin itu.

"Ah, Miss Carsalor, kau terlihat sangat cantik!" gumamku sendiri.

Aku mengarungi lautan biru yang indah, kurasa beberapa menit lagi aku akan tiba di Moafa. Sambil menikmati pemandangan yang indah, tiba-tiba ekor mataku menangkap kejanggalan pada langit.

Burung-burung berterbangan ke arah Moafa, kulihat pula ikan-ikan kecil bersembunyi di balik karang. Dan anehnya, bulu kudukku seketika meremang.

Angin berhembus begitu kencang. Lautan yang semula tenang kini mulai berombak.

"Ada apa ini?" tanyaku heran.

Aku berupaya mengambil terompet lautanku untuk memanggil Dai. Namun naas, ketika hendak meniupnya, ombak besar datang menghempas kapal layarku.

"Tolong!" pekikku mulai panik.

Ombak berganti ombak bergantian menghantamku. "Ayolah kapal, kau harus bertahan! Jangan terbalik apalagi tenggelam!" aku berdo'a dalam hati. Mencoba terus berusaha memanggil Dai. Namun, seketika tubuhku mati rasa,
pandanganku seketika tertuju pada sosok api hitam yang melayang di atas layar kapalku.

"A-apa itu?" aku bergedik ngeri. Menyadari sesuatu yang seharusnya tak aku saksikan. Aku teringat cerita ayah, itu penyihir hitam, penjaga penjara Bascal. Ayah pernah menceritakannya padaku. Apabila bersalah, mereka akan datang menjemput.

"Pe-penyihir?" cicitku.

Seketika angin berhembus tambah kencang, api hitam yang kulihat tadi kini perlahan berubah menjadi sosok besar dan tinggi yang mengerikan.

Aku mencoba menahan rasa takutku. Kulihat, ternyata seorang penyihir wanita. Wajahnya tak bersahabat. Aku semakin yakin itu penyihir dari Bascal. Ia menyeringai ke arahku.

"Cih! Berani sekali kau menatapku seperti itu anak bodoh!" penyihir itu menggeretakku. Kakiku tak bisa bergerak. Dan baru kusadari, kapalku berhenti!

                                🧙🏻‍♀️🧙🏻‍♀️🧙🏻‍♀️

"Si-siapa kau?" tanyaku gemetaran.

"Aku Zilzana! Dan kau?" penyihir itu terbang melesat ke arahku yang duduk tersungkur di pinggi kapal.

"Kau Elysen. Kau mirip sekali dengan ibumu yang bodoh itu!" lanjutnya.

"Ka-kau, kenal ibuku?" penyihir itu terkekeh mendengar pernyataanku. Ia melebarkan pupilnya.

"Tentu saja, Elysen, ibumu adalah manusia paling menentang Tuhan, Dia memang pantas mati!"

Aku tersentak mendengar ocehan penyihir itu.Diriku mengumpat dalam hati. Tak terima ibuku dicaci.

"Kau tak usah memasang wajah masam seperti itu, Ely! Kau akan ikut denganku," ucapnya sambil mengayunkan tangan, dan muncullah sebuah tongkat panjang dari tangannya. Kuyakini kalau itu tongkat sihirnya.

Aku berdiri dan memberanikan diriku melawan. Kulihat ia melafalkan mantra. Dan mengayunkan tongkat sial itu ke arahku. Aku melompat menghindar. Ia tertawa, membuat ombak-ombak besar kembali menerjang kapalku.

"Kau berani sekali anak kecil, tapi aku tak mau bermain-main!"

"Aku tak akan ikut denganmu penyihir jelek!" teriakku asal. Dan Zil tampak memerah, ia menatapku lekat.

Elysen & The Old StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang