Bagian 20 : Herxidor

40 8 22
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak ❤️

~~~Aku bangun lebih awal ketika Gloria dan Hoke masih memejamkan mata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~~~
Aku bangun lebih awal ketika Gloria dan Hoke masih memejamkan mata. Kakiku yang sudah diberi obat oleh Gloria sudah tidak terasa begitu sakit. "Ah, daunnya sangat membantu!" gumamku.

Beberapa saat setelah itu, Gloria terjaga. Diikuti Hoke beberapa saat kemudian. Keduanya menatap ke arahku yang sedang berdiri di depan mereka. "Kau sudah bangun?" tanya Gloria sambil mengusap dahinya pelan.

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tipis menimpali.

Aku dan keduanya langsung mengemas barang-barang kami. Hoke dan Gloria tanpak sudah siap lebih cepat, karena barang mereka terbilang sedikit dari pada barangku.

"Kau sudah selesai, Ely? Ayo kita pergi," ujar Gloria.

Aku menoleh, mengangguk pelan mengiyakan. Kami berjalan menuruni hutan bukit. Di perjalanan? Hoke dan Gloria banyak bertanya tentang misiku.

Keduanya tampak kaget saat mendengar keadaan sebenarnya yang terjadi di Ewqobia. Keduanya juga sempat terperanjat saat mengetahui aku adalah anak dari seorang penyihir legendaris yang mereka kira sudah mati bertahun-tahun lalu.

Dan tanpa terasa, kami sudah tiba di persimpangan yang kami maksud. Kami menghentikan langkah sejenak lantaran untuk saling berpamitan.

"Kurasa kita harus berpisah, jaga diri kalian!" ucapku sambil tersenyum simpul.

Gloria dan Hoke membalas dengan senyum. Gloria tanpak enggan berpisah, hanya saja Hoke segera mengingatkannya tentang perjalan mereka.

Aku melambaikan tangan ke arah mereka, mengambil jalan berbelok ke kiri menuju Kerajaan Demon.

"Baiklah, saatnya bergegas, aku sudah kehilangan banyak waktu!" sergahku.

Setelah Gloria dan Hoke tak lagi nampak, aku segera berlari masuk ke dalam hutan perbatasan yang dulunya pernah kulewati bersama Dai dan Darfin.

Udara di sekitar terasa lebih lembab dan basah. Untung saja jubahku yang tebal bisa sedikit melindungi tubuhku dari dinginnya udara. "Aku hampir saja lupa jika hutan ini begitu dingin!" keluhku sambil meniup-niup telapak tangan.

Merasa sedikit lelah, kupelankan laju lariku. Mengambil persediaan air dan meneguknya sedikit.

Hanya saja, seketika wadah air dari bambu yang kupegang terlempar jauh tanpa sebab. Aku reflek meraih tongkat sihir di saku dan memperhatikan sekitar.

Tidak ada siapapun kecuali aku seorang. Tapi tetap saja, terpentalnya air minumku pasti pekerjaan seseorang.

"Keluarlah!" jeritku.

Tak ada respon setelahnya. Aku mencoba menenangkan diri, perlahan melangkah seperti tak ada yang terjadi.

Hanya saja, beberapa langkah kakiku berpijak, diriku terpental sesaat layaknya ada seseorang yang mendorongku kuat.

Elysen & The Old StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang