"Aku sakit."
Ganiva menghela napas panjang. Ia menyentuh kening sang putra dengan punggung tangannya, lalu menggeleng pelan. Raut wajahnya tampak lelah setelah semalaman ia tidak pulang ke rumah.
"Di tangan Bunda, suhu tubuh kamu normal."
Laki-laki berusia sepuluh tahun itu mengerucutkan bibirnya. Lalu, tatapan matanya mengarah pada termometer yang diletakkan di atas nakas. "Kenapa nggak pakai termometer?" tanyanya.
"Nggak usah pakai termometer, Bunda juga udah tahu kalau kamu nggak sakit."
"Tapi, dada aku sesak."
Ganiva lagi-lagi hanya mampu menghela napas panjang. Secara semu, ia mengusap dadanya. "Mau alasan apa lagi? Kamu nggak mau sekolah?"
"Kalau aku bilang aku mau sama Bunda dulu, gimana?" Manik cokelatnya tampak sendu. "Semalaman ini Bunda udah nemenin Kakak di rumah sakit. Apa nggak mau sekali ini aja Bunda sama aku?"
"Kakak kamu lagi sakit. Bunda nggak mungkin ninggalin 'kan?"
"Iya. Tapi, akhirnya Bunda malah lupa kalau Bunda masih punya satu anak lagi."
"Terus, mau kamu gimana?"
"Tolong, untuk sekali ini aja, perlakuin aku sama kayak Bunda memperlakukan Kakak."
•To be continued•
A/n
Sebenarnya, aku nggak tahu kenapa malah bikin ini. Pengin aja gitu bikin yang nyinggung mental health juga :((
Btw, enjoy!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet
Teen FictionSelamat datang di dunia sang kakak. Dunia yang hangat, namun penuh perjuangan setiap harinya. Kuucapkan selamat datang pula di dunia sang adik. Senyumnya cerah, tetapi jangan pernah terkecoh. Ia punya banyak cerita di balik segalanya. Keduanya mem...