"Kamar satu, kamar satu, kamar satu," gumam Keano. Kedua kakinya melangkah menyusuri lorong rumah sakit yang ramai oleh pengunjung, berhubung saat ini hampir mendekati jam besuk. Aroma disinfektan terhirup santer di indra penciumannya. Baru saja, Keano melewati ruang radiologi-yang cukup sepi, berhubung saat ini sudah pukul setengah lima sore.
Ruang rawat Argi berada di Gedung B. Cukup jauh dari lobi utama rumah sakit. Keano harus melewati lorong panjang yang menghubungkan antara Gedung A dan Gedung B, termasuk melewati kantin yang sangat tidak manusiawi-berhubung aroma di sana mampu mengalahkan aroma apapun hingga membuat Keano kelaparan setengah mati.
Beruntungnya, hari ini ponsel Keano tidak jadi disita. Alasannya adalah karena Keano memberitahu bahwa ia menelepon Argi. Lantas, Bu Neni terdistraksi karena yang dihubungi adalah murid kesayangannya, dan malah bertanya lebih lanjut mengenai kondisi laki-laki tersebut.
Udara kencang berembus, menyapu permukaan kulit Keano, membuat ia perlahan mengernyit. Telapak tangannya saling mengusap, menghasilkan panas sesaat. Awan hitam yang menggantung di langit tak luput dari perhatian Keano. Perkiraan cuaca, hujan lebat disertai petir akan turun lagi malam ini.
"Petir, ya ...." Keano bergumam pelan. Ia jadi ingat, Argi paling tidak suka dengan gejala alam berbentuk kilatan cahaya tersebut. Biasanya, kakaknya itu akan menghampiri Keano di kamar, lalu izin untuk tidur di sebelahnya. Meski pada akhirnya, kedua matanya tidak dapat terpejam karena gemuruh yang terus bersahut-sahutan, dan berakhir dengan keduanya bermain permainan papan.
Keano mengulum senyum tipis. Ia mempercepat langkahnya saat lagi-lagi ponselnya bergetar. Itu pasti panggilan dari Argi. Bahkan, tanpa mengeceknya pun Keano tahu. Siapa lagi yang akan menghubunginya dengan ganas selain saudara kembar itu?
🍁🍁🍁
"Kok, lama?!" Baru saja Keano menginjakkan kaki di ruang rawat Argi, kakaknya itu langsung berseru. Suaranya tetap terdengar keras, rasanya kontradiktif dengan posisinya yang berbaring di atas ranjang rumah sakit dengan jarum infus di tangan kanannya dan nasal kanul di hidung.
"Macet," balas Keano. Ia menghampiri Argi, lalu duduk di sebelahnya. Bukan di bangku, tapi di atas ranjang. Dipaksanya Argi agar sedikit bergeser. "Lo tahu 'kan kalau udah jam pulang kantor, macetnya luar biasa parah? Nah, paham dong, kenapa gue lama."
Argi mendengkus. Tubuhnya terasa begitu lemah hingga untuk mendorong Keano saja tidak mampu. Pada akhirnya, Argi pasrah setengah dari kasurnya digunakan oleh sang adik.
"Bunda mana?"
"Lagi ke kantornya sebentar." Argi bergumam pelan. "Terus, lo udah makan?"
Keano diam. Kedua matanya menatap tetesan infus yang menetes perlahan. Lalu, helaan napas lesunya terdengar begitu keras.
"Mana bisa makan?" jawabnya.
"Karena nggak ada gue, ya?" Argi tertawa pelan. Ia mengusap pundak Keano perlahan. "Gue tahu, kok. Karena nggak ada gue, lo jadi nggak semangat buat beraktivitas. Tapi, jangan sampai nggak makan, dong."
"Bukan itu." Keano berdecak pelan. Kedua lengannya terlipat di depan dada. "Nggak ada yang masakin gue, tahu!" seru Keano kesal.
"Maaf, ya." Argi tersenyum lembut. Ia memosisikan tubuhnya agar bisa menatap Keano. Tangan kanannya yang ditusuk jarum infus terangkat, lalu dengan perlahan, ia menepuk pipi Keano. "Karena gue di sini, gue jadi nggak bisa masakin lo. Lo jadi nggak bisa makan. Terus, lo kelaparan. Gue takutnya, lo malah marah-marah. Soalnya, lo galak kalau lagi lapar."
"Kenapa harus minta maaf, sih? Lo nggak salah apa-apa 'kan?" Keano membalas. Ia bangkit, lalu berjalan memutari bed. Dihampirinya tiang infus yang berada di sebelah kanan bed. "Gue nggak masalah, Kak. Gue juga bisa masak sendiri, kok."
"Ya, tapi ...." Argi menggigit bibir bawahnya sejenak.
"Duh, ini kenapa nggak netes lagi?" Keano mengalihkan pembicaraan. Ditatapnya bagian drip chamber. "Coba lihat, deh, di selangnya ada darah atau enggak."
"Ah, ada," jawab Argi. "Wah, lo jago, ya? Kayaknya, lo cocok nih, kerja di rumah sakit. Oh, emang itu 'kan cita-cita lo?"
"Apa?" Keano balas bertanya. Ia menekan tombol interkom yang ada di dekat bed. "Gue sering merhatiin kalau lo dirawat. Kalau lo ngangkat tangan lo, darah lo bisa naik. Lo 'kan bandel, nih. Begajulan lagi, banyak bergerak. Gue pernah nanya ke perawat yang lagi dinas, kalau keseringan, nanti jadi ada penyumbatan, terus harus diganti. "
Argi menunjukkan cengirannya. Ia bertepuk tangan perlahan. "Hebat!" seru Argi heboh. Decakan kagumnya terdengar. Sepertinya, memang benar kalau kepintaran kedua orang tuanya sebagian besar diturunkan kepada Keano. Ditambah lagi dengan keingintahuannya yang tinggi. "Bangga gue punya adek kayak lo."
Keano menaikkan sebelah sudut bibirnya. "Wah, iya, lo harus bangga sama gue," jawabnya. Ia melirik ke arah pintu yang terbuka, diikuti oleh seorang perawat yang masuk ke dalam. "Sus, mohon maaf, ini infusnya nggak jalan. Gara-gara kakak satu ini bandel banget."
"Hih, Kean!"
Tertawa pelan, Keano menepuk pundak Argi perlahan. Ia mengambil tas yang sebelumnya diletakkan di atas kursi. "Gue pulang dulu, ya. Bilang ke Bunda kalau gue ke sini. Sus, titip kakak saya, ya. Dia bandel soalnya."
"Loh, cepet banget. Temenin gue dulu, dong."
"Nggak, ah. Di sini banyak penunggunya." Keano mengerlingkan sebelah matanya, lalu berjalan cepat ke luar kamar. Meninggalkan Argi yang hidungnya sudah kembang kempis, kesal karena ucapan sang adik.
•to be continued•
A/n
Detik-detik pengumuman SNMPTN.
Iya ga si? Hahahaha
Semoga kamu dapat kabar terbaik, yah.
Btw, kalau takut bukanya, bisa langsung hubungi aku. Biar aku bukain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet
Teen FictionSelamat datang di dunia sang kakak. Dunia yang hangat, namun penuh perjuangan setiap harinya. Kuucapkan selamat datang pula di dunia sang adik. Senyumnya cerah, tetapi jangan pernah terkecoh. Ia punya banyak cerita di balik segalanya. Keduanya mem...