Keano pasti akan pulang sebentar lagi.
Itu yang Argi pikirkan ketika melihat Keano keluar dari rumahnya begitu saja. Meski Argi hendak mengejarnya, tapi tubuhnya seolah memberontak, memaksanya untuk duduk di undakan teras. Ganiva langsung menghampiri, bertanya tentang Keano yang tiba-tiba saja berjalan cepat hingga menabraknya.
Argi tidak dapat menjawab. Ia hanya diam, menatap jalan kompleks rumahnya yabg terasa lengang. Berharap tiba-tiba Keano muncul membawa dua es krim vanila yang biasa dibelinya dari warung di dekat rumahnya. Namun, hingga matahari kembali ke peraduannya, batang hidung Keano tidak juga muncul. Argi terpaksa masuk ke dalam.
Beberapa kali Argi berusaha untuk menghubungi ponsel Keano, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Seolah, adiknya itu benar-benar menghindari dirinya. Argi sudah berusaha menghubungi teman-temannya, tapi tidak ada yang menjawab.
"Adek belum pulang juga?"
Argi melirik Ganiva sesaat, sebelum menggeleng. "Keano udah tahu semuanya," bisik Argi. Kepalanya menunduk dalam, menatap kedua tangannya. Nafsu makannya menurun, hingga ia hanya memasakkan makanan khusus untuk Keano—jaga-jaga jika saudara kembarnya itu pulang ke rumah.
Wajah Ganiva tampak memucat begitu mendengar penuturan Argi yang terkesan lirih. Tangannya yang hendak meraih Argi seolah kaku. Kedua netranya menatap sosok sang putra yang duduk tepat di hadapannya.
Lalu, bayangan putra bungsunya kembali merasuki pikiran Ganiva. Senyumnya begitu menenangkan, seolah menunjukkan bahwa ia baik-baik saja selama ini. Meski Ganiva bertanya, Keano selalu menjawab bahwa ia tidak perlu khawatir.
"Kenapa?" Argi bertanya lirih. "Bahkan setelah semua itu ... kenapa Bunda nggak bisa tulus sama Keano? Dia anak Bunda juga 'kan? Kenapa harus dibedain?"
Ganiva terdiam. Ia tidak mampu lagi untuk sekadar melirik ke arah Argi. Sejenak, ia menggigit bibir bawahnya.
"Jawab pertanyaanku, Bunda! Kenapa?!" Nada suara Argi meninggi. Ia bahkan sampai berdiri dari kursinya. Kepalanya mendadak pening karena gerakannya yang tiba-tiba. Lalu, tubuhnya yang hampir limbung justru membuat kursi di belakangnya terjatuh. "Apa karena ada Ayah yang paling perhatian ke Keano? Begitu, Bun?"
Argi terpejam sesaat. Napasnya memburu dan jantungnya mulai berdetak lebih cepat, membuatnya meringis karena rasa nyeri dan sesaknya. Kedua sklera yang tampak memerah itu mulai berkaca-kaca.
"Kakak, jangan—"
"Tapi, sekarang Ayah udah nggak ada, Bunda," potong Argi. Suaranya mengecil di akhir kalimat. Tatapannya mendadak sendu, hingga senyum mirisnya terbit di bibir. "Ayah udah nggak ada. Tapi tetap aja, ya, Bunda kayak nutup mata kalau Keano juga masih butuh orang tuanya. Dan satu-satunya orang tua yang dia punya ... cuma Bunda."
Tubuh Argi melemah, hingga akhirnya ia meluruh, bertumpu pada kedua lututnya. Ganiva sendiri langsung berdiri, menghampiri Argi. Diraihnya tubuh sang putra, tapi ia justru mengenyahkannya.
"Kakak ...."
"Nggak usah ... khawatirin aku." Argi berusaha untuk mengatur napasnya sendiri. Ia menatap Ganiva tajam. "Coba sekarang Bunda pikirin anak Bunda yang satunya. Nggak usah terlalu terpaku sama aku."
Argi berusaha meraih pinggiran meja, lalu berdiri. "Kalau Bunda bisa sayang sama aku, seharusnya Bunda juga bisa sayang sama Keano. Kita sama 'kan?
"Aku sama Keano lahir dari rahim yang sama. Kita berdua sama-sama anak Bunda. Nggak sepantasnya Bunda perlakuin kita beda." Kedua tangan Argi tampak terkepal erat. "Walaupun aku punya kekurangan, aku nggak butuh semua perlakuan berlebihan itu, Bun. Basi kalau alasannya karena aku butuh sesuatu yang lebih."
"Maaf." Ganiva bergumam lirih. Kedua matanya terpejam sesaat, membuat setetes likuid bening mengalir dari sudutnya.
"Aku bahkan nggak bisa nerima ucaoan maaf Bunda semudah itu. Apalagi Keano." Argi tersenyum miring. Tangan Argi terjulur. "Ayo, bangun Bunda. Kita cari Keano sama-sama. Buktiin kalau omongan Bunda kali ini bisa dipercaya."
Ganiva mengangguk pelan. Ia mengusap sudut matanya, sebelum akhirnya berdiri dengan kedua tungkainya.
"Iya ...."
🍁🍁🍁
"Keano?" Arshi sedikit memiringkan kepalanya heran. Tumben-tumbenan laki-laki itu datang ke rumahnya. Ditambah dengan wajahnya yang tampak menyedihkan. "Kamu kenapa? Tumben nggak bilang dulu kalau mau main."
Keano menggeleng pelan. "Aku nggak tahu lagi mau ke mana sebenarnya," balasnya lirih. "Aku boleh di sini sebentar? Sebentar aja."
Arshi menggiring Keano untuk masuk ke dalam rumah, lalu mendudukkannya di sofa tamu. Dibiarkannya pintu terbuka dengan lebar. "Kamu mau minum apa? Aku bikinin, ya."
Keano lagi-lagi menggeleng pelan. Ia tidak menjawab pertanyaan Arshi dengan suara. Bibirnya lebih memilih untuk terkatup rapat.
"Kamu masih pakai seragam. Kamu belum pulang ke rumah?"
"Arshi ..." panggil Keano pelan, tanpa menjawab pertanyaannya sama sekali. "Apa aku nggak pantas ada di dunia ini?"
Arshi tampak terkejut sesaat. Kedua kelopak matanya melebar. "Kamu ... kenapa nanya gitu?" ia balas bertanya.
"Aku nggak tahu." Keano menggigit bibir bawahnya sejenak. "Rasanya, semenjak Ayah nggak ada, aku nggak punya siapa-siapa lagi. Rasanya aku bener-bener sendirian."
"Kata siapa? Kamu punya bunda kamu, kamu juga punya Argi. Kamu punya teman-teman kamu. Kamu juga punya aku," jawab Arshi. "Jangan ngomong sembarangan, Keano. Aku nggak suka."
"Maaf ...."
"Kamu harus pulang. Bunda kamu pasti ngekhawatirin kamu. Apalagi kakak kamu 'kan?"
Untuk kesekian kalinya, Keano menggeleng. "Aku nggak mau pulang. Aku belum siap buat pulang ke rumah. Aku belum siap buat nerima kenyataan kalau ternyata tempat yang aku sebut rumah itu nggak bisa jadi tempat aku buat kembali."
Arshi menghela napas panjang. "Kalau gitu, coba kamu tenangin diri kamu sendiri. Kamu tahu sendiri kalau di tempat itu masih ada orang yang nungguin kamu. Mungkin ... sekarang Argi lagi panik karena kamu nggak pulang-pulang."
"Hm." Keano bergumam pelan. Ia menunduk dalam. "Makasih, ya."
Arshi tersenyum tipis. "Terus, sekarang kamu mau ke mana? Nggak mungkin 'kan aku numpangin kamu di sini."
Keano kembali mengangkat kepalanya. Ia menatap Arshi lekat-lekat. Senyum terbit. Begitu hangat,
namun juga mengandung banyak arti di baliknya.
•to be continued•
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet
Teen FictionSelamat datang di dunia sang kakak. Dunia yang hangat, namun penuh perjuangan setiap harinya. Kuucapkan selamat datang pula di dunia sang adik. Senyumnya cerah, tetapi jangan pernah terkecoh. Ia punya banyak cerita di balik segalanya. Keduanya mem...