Lembar Keduapuluhlima

5.2K 575 40
                                    

"Kenapa, Kak?" Ganiva bertanya heran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kenapa, Kak?" Ganiva bertanya heran. Ketika ia memasuki ruang rawat, ia langsung mendapati Argi tampak tidak seriang biasanya. Ditambah lagi, senyum laki-laki itu hanya sekadar formalitas. Tangannya meraih tangan Argi yang dingin, lalu mengusapnya perlahan.

"Bunda." Argi berbisik lirih. Ada rasa sakit yang tidak dapat didefinisikan setiap kali mengingat percakapan terakhirnya dengan Keano. "Apa aku belum cukup baik buat jadi seorang kakak?"

"Tanpa kamu sadari, kamu udah sangat baik, Kak," jawab Ganiva. "Ada apa? Ada masalah sama Adek?"

Argi menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Perlahan, kepalanya menunduk, bersamaan dengan luruhnya cairan bening yang awalnya hanya melapisi kedua manik cokelat jernihnya. Tangan Argi terkepal. Sebuah bongkahan batu besar seolah menimpa dadanya, membuat Argi merasakan sesak yang begitu hebat, hingga untuk menarik napas saja rasanya begitu sulit.

"Mungkin aku emang nggak pantas ... buat jadi seorang kakak," lanjut Argi. Ia tidak ingin menatap Ganiva, bahkan ketika sang bunda memaksanya.

"Ada apa, Kak?" Ganiva bertanya khawatir. Ia mengusap surai kecokelatan Argi yang mulai menutupi keningnya. "Kamu abis teleponan sama Adek 'kan? Kenapa akhirnya begini?"

"Bunda." Argi tidak ingin menjawab pertanyaan Ganiva sedikit pun. "Apa lebih baik sejak dulu aku nggak pernah dipertahankan?"

🍁🍁🍁

"Udah berantemnya?" Laki-laki bernama lengkap Regi Akbar Arsenio, yang kini masih berbaring di brankar dua, bertanya. Masih asyik bermain ponsel, tapi sesekali melirik Keano. "Sering banget, ya, obrolan diakhiri sama berantem."

"Esensi saudara kembar," balas Keano ogah-ogahan. Ia melempar ponsel yang layarnya sudah menggelap secara serampangan. Dengan cepat, ia membetulkan posisi tubuhnya, hingga kini berada di posisi semi fowler. "Besok juga baikan."

Gia menghela napas lelah. Selalu. Setiap kali ia mendapati kedua manusia yang lahir di tanggal yang sama itu bertikai, Keano selalu berkata bahwa keesokan harinya mereka akan berbaikan.

Kedua netra Gia menyipit. Ditatapnya Keano dengan intens. "Masa?" Ia bertanya.

"Whatever it is, Gi, siklus hidup gue dan kakak gue emang gitu-gitu aja." Keano terpejam. Dibiarkannya kedua lengannya berada di atas dada, mengikuti ritmenya yang konstan. "Gue masih ngobrol biasa. Gue masih suka main bareng juga. Terus, masalahnya di mana?"

"Lo tadi bilang kalau lo nggak mau dikhawatirin kakak lo. Sementara, lo tahu kalau itu udah jadi naluri kakak lo buat ngekhawatirin lo, bukan?" lanjut Gia.

Keano menghela napas lelah. Meski Gia lebih dekat dengan dirinya, tapi laki-laki itu lebih berpihak pada Argi. Apalagi kalau sedang seperti ini, wejangan-wejangan Gia selalu terucap dengan mudah dari bibirnya. Menyebalkan, tapi kadang harus Keano akui, Gia ada benarnya juga.

"Lo pernah nggak sih, kepikiran kalau suatu hari nanti lo jadi anak tunggal?" Gia bertanya.

"Pernah," balas Keano singkat. "Gue membayangkan ketika pada akhirnya Kak Argi nggak bisa bertahan lagi. Dan gue berpikir—" Keano menggigit bibir bawahnya sejenak. "—lupakan. Nggak sepantasnya gue ngomongin hal ini."

"Lo mikir apa, wahai Tuan yang kadang nggak punya hati?" Gia memaksa. Ia sampai bangkit dari brankar, lalu menghampiri Keano. Kedua lengannya terlipat di depan dada.

Keano berdecih pelan. Ia mengangkat tangannya, lalu mendorong tubuh Gia. "Kalaupun gue bicarain hal ini, lo nggak akan ngerti. Lo pasti bakal ngebelain kakak gue. Terus lo bakal bilang kalau nggak seharusnya gue berpikir kayak gitu."

Keano bangkit. Ia melepaskan nasal kanul yang awalnya terpasang di hidung, lalu mematikan aliran oksigen. "Mendingan sekarang gue ke kelas. Nggak enak lama-lama," ujar Keano. Diliriknya Gia sejenak, sebelum akhirnya kedua tungkai Keano berjalan ke luar UKS, meninggalkan Gia yang masih terpekur di tempatnya.

🍁🍁🍁

Pada akhirnya, Argi terlelap. Setelah mengeluarkan segala perasaan yang selama ini ditahannya, ia mengeluh sesaknya meningkat. Ganiva langsung memanggil perawat yang sedang berdinas, lalu membiarkan Argi diberikan terapi oksigen, sebelum putranya itu mengeluhkan kantuknya yang lumayan berat.

Netra Ganiva memperhatikan wajah Argi yang tampak tenang. Terbayang ketika dulu ia harus melihat sang putra berjuang. Hingga pada akhirnya, ia berhasil berada di titik ini, suatu hal yang menurut Ganiva membanggakan.

Lantas, senyum Ganiva terulas tipis. "Kak, kamu udah berusaha yang terbaik selama ini." Ganiva bermonolog. Diusapnya surai Argi dengan lembut.

"Apa yang Keano bilang ... tolong jangan didengar, Kak," lanjut Ganiva. "Apapun itu, kamu adalah yang terbaik."

🍁🍁🍁

"Loh, sepatu gue beneran ngambang," gumam Keano ketika melihat sepatunya berada di kolam, di antara ikan-ikan yang tampak tertarik untuk memakannya. Kedua kelopak mata Kenao mengerjap cepat.

"I told ya," balas Kian yang dipaksa Keano untuk ikut ke kolam ikan belakang sekolahnya. "Dah, ya. Masalah gue sama lo selesai. Gue mau ke kelas."

Keano tidak menjawab. Jangankan begitu. Menyimak ucapan Kian saja tidak. Atensinya masih berada pada sepatu sebelah kirinya yang tampak mengenaskan.

"Dasar Kian!" seru Keano kesal. Kaki kanannya menghentak, sebelum ia berjongkok. Tangannya terjulur, berusaha meraih sepatunya. "Sial. Mana anak itu nggak mau bantu."

Keano menggeram kesal. Keano mencondongkan tubuhnya lebih ke depan, sebelum akhirnya ia kehilangan keseimbangan dan jatuh ke arah kolam.

Kali ini, bukan hanya sepatunya yang menjadi santapan ikan, tapi juga dirinya.

•to be continued•

Trivia

Awalnya, aku berniat menjadikan Keano sebagai kakak dan Argi sebagai adik. Awalnya pula, aku nggak berniat menjadikan mereka kembar. Semua berjalan begitu saja.

•••

A/n

Nggak mood banget gaes :( tugas numpuk

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang