"Adek ...."
Keano menoleh ke belakang, mencari sumber suara. Latar tempat yang awalnya adalah kamarnya, berubah menjadi ruang makan. Ia sedang duduk di salah satu bangku, dengan sereal cokelat di atas meja makan.
"Ayah?" Keano bergumam. Ia memundurkan bangkunya, kemudian berdiri. Kedua tungkainya melangkah menuju asal suara. Tangannya terkepal. Ada kerinduan yang membuat dadanya sesak, hingga akhirnya kakinya bergerak lebih cepat. "Ayah di mana?"
Ketika Keano berjalan menuju ruang keluarga, ia mengerjap. Itu bukan ruang keluarga yang Keano kenal saat ini. Beberapa perabotan tampak seperti saat ia masih kecil dahulu. Bahkan, foto kelulusan SMP yang seharusnya terpajang di atas bufet, tidak tampak di sana.
"Ayah?" Keano kembali memanggil ayahnya. Tangannya mengusap bagian kaca lemari piala yang agak berdebu. Hingga kemudian, Keano menangkap sang ayah sedang berdiri di dekat jendela, sedang tersenyum ke arahnya.
Kedua sudut bibir Keano terangkat. Kedua manik cokelatnya berbinar, hingga membuatnya tampak berkaca-kaca. Langkahnya cepat, menghampiri ayah dan langsung memeluknya erat.
Rasanya, sudah sangat lama sejak terakhir kali Keano melihat ayah. Sejak kejadian nahas sore hari itu, Ganiva tidak pernah memperbolehkan Keano untuk melihat ayah, bahkan untuk terakhir kalinya. Argi yang berada di lokasi kejadian pun lebih memilih untuk menutup mulutnya rapat-rapat.
"Akhir-akhir ini berat, ya?" Ayah bertanya. Tangannya mengusap puncak kepala Keano dengan lembut.
Keano mengangguk pelan. Meski tanpa suara, gerakannya yang lemah seolah menyiratkan segalanya. Keano melepaskan pelukannya. Ditatapnya wajah yang sangat dirindukannya itu.
"Aku mau ikut Ayah," pinta Keano. Binar di matanya menunjukkan permohonan. Meski begitu, ayah tetap menggeleng, masih dengan senyumnya yang biasa, yang lantas membuat kekecewaan tergambar jelas di air wajah Keano.
"Kenapa?"
"Kalau udah waktunya, Adek boleh ikut, kok," balas ayah. Diacaknya rambut Keano yang sudah acak-acakan dari sananya. "Adek harus kuat, ya. Katanya, mau terus ngejaga kakaknya. Masa, mau nyerah sekarang?"
Keano menunduk dalam. Pada akhirnya, ia mundur selangkah dan meluruh. Keberadaan ayah tidak dapat lagi dirasakannya. Hanya tersisa aroma khasnya yang masih melekat kuat di ingatan.
"Maaf, Yah ...." Keano terisak. Ia menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya. "Aku cuma ... sakit. Aku butuh Ayah."
🍁🍁🍁
"Keano ...?"
Bukan suara ayah yang pertama kali Keano dengar ketika ia membuka matanya, tapi justru suara Argi. Ia melirik, menatap sang kakak yang duduk di sebelahnya. Lalu, helaan napasnya terdengar begitu lirih. Hanya mimpi, tapi cukup membuat kerinduan Keano terhadap sosok sang ayah kembali memuncak.
"Lo udah baikan? Masih ada yang sakit? Atau lo butuh sesuatu?" Argi bertanya. Ia mengambil segelas air di atas meja belajar. "Mau minum? Lo harus minum karena suhu tubuh lo tinggi dari tadi. Takutnya, nanti lo kekurangan caira─maaf." Argi berdeham pelan.
"Iya, mau," ucap Keano pelan. Ia berusaha mendudukkan tubuhnya, sebelum akhirnya bersandar pada sandaran tempat tidur. Meski kepalanya masih terasa agak pening, namun saat ini semuanya lebih baik dibanding tadi siang.
Argi tersenyum lembut. Ia memberikan gelas air tersebut ke tangan Keano. "Gue tadi nemuin lo di lantai." Ia kembali buka suara. "Maaf ya, gue nggak malah nggak ada di dekat lo."
"Lo sekolah, Kak," balas Keano setelah meneguk airnya hingga tandas. "Gue nggak bisa nyalahin lo sama sekali. Nyatanya, ada hal penting yang harus lo lakuin selain ngurusin adek lo ini 'kan?"
Menunduk, Argi berusaha memutuskan kontak mata dengan Keano. "Iya, sih. Tapi─"
"Nggak, nggak apa." Keano memotong ucapan Argi. "Lagian, gue udah baik-baik aja, kok, sekarang."
Keano menyunggingkan senyum tipis, yang langsung membuat Argi tertular. Masih banyak yang harus keduanya bicarakan, namun baik Argi maupun Keano sama-sama lebih memilih untuk diam. Bersikap seperti biasa menjadi salah satu caranya.
"Oh, lo mau makan?" Argi bertanya, berusaha mencairkan suasana yang mulai membeku karena keheningan di antara keduanya. "Gue buatin mashed potato buat lo. Tadinya mau gorengin bawang lagi, cuma─tangan lo kenapa?"
Keano berusaha menyembunyikan tangan kanannya di bawah selimut, namun Argi lebih cepat. Ia langsung meraih tangan Keano, lalu memperhatikannya dengan saksama. Netranya menajam begitu menyadari ada garis melintang di sana.
"Lo begitu lagi?" tanya Argi frustrasi. Selalu, setiap kali Keano melakukan hal bodoh tersebut, Argi merasa bahwa dirinya gagal menjadi seorang kakak. "Bukannya udah pernah gue bilang ke lo buat berhenti?"
Keano menunduk dan menarik kembali tangannya. Nada suara Argi membuat ia merasa bersalah. Lagi-lagi, Keano mengingkari janjinya.
"Keano, gue udah sering bilang 'kan? Kalau ada apa-apa, ngomong ke gue. Nggak usah dilampiasin pakai cara begitu. Gue kakak lo. Lo boleh cerita apapun masalah lo ke gue."
"Maaf."
Argi menggeleng pelan. "Bukan. Bukan lo yang seharusnya minta maaf." Ia berucap cepat. "Gue emang bukan kakak yang baik. Bahkan, ngejaga lo aja gue nggak bisa."
"Gue iri sama lo, Kak." Keano berujar. "Bunda selalu merhatiin lo. Lo selalu jadi prioritas. Kalau gue ngomong gitu ... apa yang bakal lo lakuin?"
Argi terdiam. Rasanya lebih menyakitkan ketika mendengar hal tersebut secara langsung dari Keano, bukan hanya sekadar ucapannya ketika tidur. Pada akhirnya, senyum miring Argi terbit.
"Apa kalau gue mati ... semuanya bakal jadi lebih baik?"
•to be continued•
A/n
Ini nggak ada yang mau nemenin aku nugas ceritanya?
Nggak kerasa udah chapter 31, berarti sebentar lagi kita harus berpisah yey. Karena niatku nggak panjang banget sebenarnya wkwkwk masalahnya juga nggak kompleks. Jadi, yah ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet
Teen FictionSelamat datang di dunia sang kakak. Dunia yang hangat, namun penuh perjuangan setiap harinya. Kuucapkan selamat datang pula di dunia sang adik. Senyumnya cerah, tetapi jangan pernah terkecoh. Ia punya banyak cerita di balik segalanya. Keduanya mem...