Semua yang Argi lihat ketika ia membuka matanya, berbeda dengan apa yang diingatnya terakhir kali. Perlahan, bola matanya bergerak, menyusuri ruangan yang sangat dikenalnya, berhubung ia sudah beberapa kali masuk ke sana. Berbagai macam alat berada di dekatnya. Bukan hanya satu, dua, atau tiga. Lalu, pandangan sayunya terhenti pada sosok Keano yang ada di sebelahnya.
"Kakak!" Jeritan Keano yang tertahan terdengar. Senyumnya tampak lebar, hingga membuat kerutan di sudut matanya terlihat. "Akhirnya lo bangun juga."
Argi mengerang pelan, merasakan rasa tidak nyaman pada dadanya. Kepalanya pening. Entah sudah berapa lama ia tidak membuka matanya, yang pasti semua itu berefek pada tubuhnya.
"Gue dikasih kesempatan buat masuk sebentar, nggak nyangka lo bangun. Gue senang, deh," ucap Keano. "Gue kabarin Bunda dulu, ya."
Perlahan, Keano memutar tubuh, hendak berjalan ke luar ruangan. Padahal, Argi tampak berusaha menahannya. Namun, Keano menggeleng pelan. Tersenyum dan berkata bahwa ia akan kembali lagi.
Pada akhirnya, Argi hanya pasrah. Tubuhnya yang terlampau lemah tidak bisa dikondisikan untuk protes karena Keano meninggalkannya begitu saja. Lagipula, Keano pasti tidak akan meninggalkannya.
🍁🍁🍁
"Iya, Bunda. Kakak udah sadar." Keano berdiri di lebih dekat pada pagar, lalu mengintip ke bawah. Memperhatikan beberapa orang yang sedang duduk di taman rumah sakit. "Iya. Iya. Mungkin sekarang lagi diperiksa sebentar. Aku juga langsung ngasih tahu Bunda begitu Kakak bangun."
Senyum Keano tidak memudar sedikit pun. Meski wajahnya tampak lelah karena semalaman berada di sini untuk menjaga sang kakak—karena kebetulan hari ini adalah Hari Sabtu dan dengan senang hati ia tinggal.
"Iya, Bunda. Iya. Aku nggak lupa makan, kok." Keano mengganggukkan kepalanya perlahan. Kalau diliat dari jauh, gestur yang Keano tunjukkan memang terlihat aneh—berhubung Keano hanya berada sendiri di sana, benar-benar sendiri.
"Bunda juga jangan lupa makan, ya. Babay, Bunda." Keano mengulum bibir sejenak. Ia membalik tubuhnya, lalu bersandar pada pagar. Desahannya terdengar.
Kedua kelopak mata Keano memejam sesaat. Untuk kesekian kalinya, ia melihat sang kakak berhasil melalui semuanya. Lagi-lagi Keano mampu melihat manik cokelat yang tampak bersinar itu.
"Kak, berapa kali lo bebas dari maut gitu, sih?" Keano bergurau pelan, berbicara pada sang bayu yang sedari tadi berembus lembut. Meski terdengar gila, namun harus Keano akui, kakaknya itu hebat juga.
Ada banyak anak berusia kurang dari satu tahun harus kehilangan nyawanya karena penyakit yang sama. Bahkan, banyak dari mereka hanya bertahan selama beberapa minggu kehidupannya. Tetapi, Argi yang beberapa minggu lagi akan menyentuh usia tujuh belas, dan ia masih terus melanjutkan hidupnya. Melewati segala macam vonis yang mengancam. Membuat Keano untuk sejenak terkesima ketika melihatnya kembali membuka matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet
Teen FictionSelamat datang di dunia sang kakak. Dunia yang hangat, namun penuh perjuangan setiap harinya. Kuucapkan selamat datang pula di dunia sang adik. Senyumnya cerah, tetapi jangan pernah terkecoh. Ia punya banyak cerita di balik segalanya. Keduanya mem...