Lembar Keempatpuluhempat

3.7K 438 47
                                    

Bahkan, hingga seminggu sebelum ujian akhir semester ganjil dilaksanakan, Argi belum juga bertatap muka dengan Keano

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bahkan, hingga seminggu sebelum ujian akhir semester ganjil dilaksanakan, Argi belum juga bertatap muka dengan Keano. Adiknya itu tidak pernah pulang ke rumah. Di sekolah, ia selalu menghindar. Kalau Argi datangi di kelasnya, Keano sudah lebih dahulu menghilang.

Argi sempat berbicara dengan Gia, orang yang dianggap paling dekat dengan Keano di kelas. Tapi, laki-laki yang kini usianya sudah menginjak delapan belas tahun itu hanya diam. Tanpa jawaban, Gia meninggalkan Argi begitu saja.

"Makanya kalau olahraga tuh, hati-hati. Gimana, sih?" Suara omelan itu terdengar tepat setelah pintu UKS terbuka.

"Ya, gue nggak tahu kalau tali sepatu gue belum keiket."

Argi yang awalnya berbaring di atas brankar, langsung menoleh ke arah pintu. Barusan ia seperti mendengar suara Keano. Dan benar saja, tak lama sosoknya muncul, dipapah oleh dua orang temannya, dengan kaki kiri yang agak diseret.

"Keano, kenapa?"

Keano berhenti bergerak, memaksa Gia dan Resta—dua orang yang memapahnya—untuk ikut berhenti. Kedua kelopak matanya melebar. Beberapa hari ini berusaha untuk menghindari Argi, bahkan sampai menginap di rumah Gia, namun malah bertemu di sini.

"Kaki gue udah nggak apa-apa," cetus Keano. "Balik ke lapangan, yuk."

"Heh! Nggak apa-apa dari—"

"Keano, kaki lo kenapa?" Argi bangkit, meski berhenti bergerak untuk sesaat karena nyeri di dadanya. Berusaha untuk tidak mengacuhkan rasa sakitnya, Argi mendekati Keano. "Lo jatuh, ya? Kok, bisa?"

"Nggak usah peduliin gue," balas Keano cepat.

Argi mundur selangkah, memberikan jalan bagi Gia dan Resta untuk membawa Keano ke brankar dua. Kemudian, ia hanya berdiri di tempatnya. Memperhatikan Keano yang dibantu untuk duduk di atas brankar.

"Gue panggilin guru dulu, ya," ucap Gia. Ia langsung menarik lengan Resta, mengajaknya untuk ke luar UKS. Ditinggalkannya Keano di sana, hanya berdua dengan sang kakak.

"Sial," gumam Keano. Inginnya ia pergi dari sana, tapi kakinya sedang tidak memungkinkan untuk digunakan. Yah, bisa saja Keano bisa saja menggunakan sebelah kakinya, hanya saja rasanya lebih sulit, karena belum tentu ke depan ada pegangan yang bisa diraihnya.

"Tangan lo gimana? Lo masih fisioterapi 'kan?"

Keano memperhatikan tangannya. Bekasnya masih ada samar, tapi rasa sakitnya sudah hilang sepenuhnya. "Udah enggak," jawabnya singkat.

Keheningan kembali merayap hingga suara helaan napas Argi begitu terdengar. Ia menghampiri Keano, lalu memperhatikan keadaan kakinya. "Lo selama ini ke mana?" tanya Argi. Tangannya menyentuh bagian pergelangan kaki kiri Keano. Diusapnya anggota tubuh sang adik dengan lembut. "Sakit?"

"Nggak." Keano membalas singkat. Ia membuang pandangannya, enggan menatap wajah yang serupa dengannya itu. "Lo ... gimana? Kenapa bisa di sini?"

Argi tampak terkejut sesaat. Ia kira, Keano tidak akan peduli padanya. Bahkan, Argi sempat berpikir bahwa ia tidak akan bisa meraih adiknya itu. Senyum Argi lantas terulas tipis.

"Gue kangen sama lo," ujar Argi cepat.

Keano merotasikan kedua bola mata bermanik cokelatnya. Ia melirik Argi, sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Lo kenapa, sih?"

"Gue mau lo pulang." Argi membalas.

"Gue nggak mau."

"Keano, Bunda khawatir sama lo."

Keano lantas berdecih. Setelah sempat dikecewakan, mana bisa ia percaya? Beberapa kali Ganiva mengiriminya pesan dan meneleponnya, tapi Keano menganggapnya sebagai angin lalu.

"Bohong." Keano mengigit bibir bawahnya sejenak. "Gue nggak bisa percaya lagi."

"Kalaupun lo nggak percaya sama Bunda, lo bisa percaya sama gue 'kan?" Argi duduk di sebelah Keano. Kepalanya tertunduk. Senyum tampak terulas di bibirnya. "Lo harus pulang, Keano. Gue butuh lo."

"Gue udah bilang, gue nggak mau!" Keano membalas keras. Kedua tangannya terkepal erat, berusaha menahan diri agar tidak berlaku kasar pada sang kakak. "Anggaplah gue kekanakan. Apa salah kalau gue minta perhatian yang tulus dari Bunda? Apa nggak boleh gue dapat apa yang lo dapat selama ini? Apa susahnya?"

Argi tidak bisa menjawab sama sekali. Ia lebih memilih untuk diam. Biarlah Keano terus berteriak padanya, Argi tidak peduli lagi. Hal itu lebih baik daripada laki-laki itu terus diam.

"Gue cuma berharap dapat kasih sayang yang tulus. Apa itu salah?" Suara Keano terdengar bergetar. Ia berusaha untuk mengeluarkan segala perasaannya, meski hal itu terus membuat Keano merasa sakit. "Bunda nggak tahu lagi gimana ngehadapin gue 'kan? Yaudah, gue pergi. Sekarang, Bunda cuma harus ngurusin lo. Lo sendiri boleh anggap gue udah mati atau apa. Gue nggak peduli lagi."

"Gue nggak bakal gitu." Argi tetap kekeh. Wajahnya tampak melunak. Ia mengusap lengan Keano perlahan. "Lo saudara kembar gue. Mana bisa gue begitu? Lo juga masih ada janji ke gue buat ngajarin Biologi. Apalagi, minggu depan UAS."

"Kakak ...."

"Mana yang jatuh tadi?!" Sebuah suara terdengar, lebih keras hingga membuat Keano berhenti berbicara. Keduanya menoleh ke arah pintu. Bu Rina, petugas UKS, tampak berjalan tergesa bersama dengan Gia dan Resta. "Kamu jatuh? Kok, bisa? Nggak hati-hati, ya?"

Keano meringis ketika tiba-tiba Bu Rina menekan lebam yang ada di kakinya. "Regi, tolong minta es batu ke kantin, terus kompres," titah Bu Reni. Ia menatap Argi. "Terus, kamu siapa, sih? Keano, ya?"

"Saya Argi, Bu." Argi meralat.

"Ya, siapapun kamu. Tolong ambil bantal di lemari penyimpanan. Ambil tiga gitu, terus taruh di bawah kakinya." Bu Reni melanjutkan.

"Iya—"

Keano menggeleng pelan. "Jangan lo. Biar Resta aja. Lo istirahat aja sana."

Argi tidak serta merta mengikuti ucapan Keano. Ia langsung berjalan ke lemari penyimpanan dan membukanya. Diambilnya tiga buah bantal dan dipeluknya. Argi menutup pintu lemari dengan kakinya.

"Kak, udah gue bilang—"

"Cuma begini doang, gue nggak masalah," potong Argi. Ia mengangkat kaki Keano, lalu meletakkan tumpukan bantal di bawah sana. "Bagi gue, kondisi lo lebih penting daripada gue, Kean."

Keano lagi-lagi merotasikan kedua bola matanya. "Terserah lo, deh," gumamnya.

Argi menghela napas panjang. Rasanya agak menyakitkan ketika perhatiannya tidak dianggap. Meski begitu, senyum Argi tetap terulas. Yah, adiknya memang begitu, dan Argi sudah paham betul.

Setidaknya, keduanya sudah saling berbicara.

•to be continued•

A/n

Tadinya mau kubuat lambat, alias Argi sama Keano belum saling ketemu, tapi baru inget udah sampe chapter 40an, dan minggu depan aku kuliah dengan banyak matkul tambahan.

Maapkan aku kalau kelamaan dan kepanjangan

Btw, aku demam, Guys. Nggak ngerti kenapa. Tiba tiba aja.

Keep in touch with me: rishapphire (doakan hapeku cepat balik, anjir)

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang