"Seminggu lagi kita ulang tahun. Lo mau kado apa?" Keano bertanya. Sampai-sampai, ia yang awalnya sedang berbaring di atas karpet, mendudukkan tubuhnya, menatap Argi yang duduk di sofa kecil. "Untung, lo udah boleh pulang ke rumah. Atau enggak, kita ngerayain ulang tahun kita di rumah sakit lagi."
Argi mengangkat kaki kanannya hingga berada di atas lengan sofa. Bola matanya melirik Keano yang menatapnya dengan penuh binar di kedua iris cokelatnya. "Gue nggak butuh kado, kok." Argi membalas.
"Heee?" Keano mengerucutkan bibirnya sejenak. Tangannya menepuk lengan Argi yang menjuntai ke lantai. "Padahal, gue udah nyiapin kado terbaik buat lo. Nanya tadi formalitas doang gitu. Siapa tahu, lo ternyata mau kado yang lainnya."
"Apa?" Argi bertanya penasaran. Yah, lumayan juga dapat kado, walau ia tidak mengharapkannya sama sekali.
"Doa!" jawab Keano semangat. "Karena kado terbaik adalah doa."
Kedua bola mata Argi berotasi. Tahu jawabannya begitu, ia tidak usah bertanya. "Seharusnya, lo doa setiap abis salat. Bukan cuma pas kita ulang tahun," gerutu Argi kesal. Masa iya, berdoa hanya setahun sekali? Iya, kalau tahun depan masih diberi umur. Kalau tidak? Habis kesempatan untuk berdoa begitu saja.
Keano tertawa hingga pundaknya bergetar. Tawanya terdengar begitu puas. Padahal, tidak ada yang lucu. Pada akhirnya, Argi hanya menatap Keano aneh. Ia tidak ingin berpikir macam-macam tentang sang adik. Kesurupan misalnya.
"Kak, lo diam mulu seharian ini," ujar Keano begitu ia berhasil menghentikan tawanya. "Senyum dong, Kak. Lo udah jelek, malah makin jelek kalau cemberut gitu."
"Ingat, kita identik." Argi mengangkat sudut bibirnya tipis. "Gue jelek, lo juga jelek."
"Haha! Benar juga." Keano merangkak, lebih mendekat ke arah Argi. "Bro, tell me. Lo kenapa?" Tangan Keano memegang pundak Argi, yang langsung laki-laki itu enyahkan.
"Gue nggak kenapa-napa," jawab Argi cepat. "Kenapa, sih? Gue diam dikit, lo tanyain. Padahal, seharusnya lo senang 'kan kalau gue diam? Gue jadi nggak bikin lo kesal. Eh, malah lo yang berisik."
"Heh, bukan gitu, Kak." Keano berdeham pelan. "Gue nggak masalah lo ngomong terus. Itu ciri khas lo. Bawel, nggak jelas, dan nyebelin."
Argi menelengkan kepalanya. "Nggak usah ngatain, bisa 'kan?" tanyanya sinis.
"Oh, sangat tidak bisa," jawab Keano. Ia menepuk lengan Argi pelan. "Kita mau ulang tahun. Kalau gue ada salah, jangan malah diam begini, Kak. Bilang. Gue nggak mau kita malah diam-diaman pas hari H nanti. Nggak seru. Entar, nggak ada yang ngucapin pas jam dua belas malam."
"Kayak dua tahun lalu?" Argi menaikkan sebelah alisnya. "Ngucapin jam dua belas lewat satu menit, di tanggal lima. Cuma gara-gara lo ngambek ke gue."
"Pas itu lo mecahin stetoskop gue!" seru Keano, membalas ucapan Argi. "Itu dari Ayah. Malah lo rusakin. Mahal tahu, ngebenerinnya."
Argi terkikik geli. Ia mengusap puncak kepala Keano dengan lembut. "'Kan, gue udah minta maaf," ucap Argi. "Atau lo masih marah? Mau gue beliin la—eh, nggak. Gue beliin kalau lo berhasil masuk FK, gimana?"
"Kak, susah."
"Susah, tapi lo pintar. Dan lo usaha terus. Makanya gue yakin lo bisa masuk."
Keano kembali mendudukkan tubuhnya. Ia bersandar pada sisi sofa dengan kaki yang diluruskan. Helaan napasnya terdengar begitu lesu.
"Kak, lo tahu, kita nggak pernah tahu ke depannya bakal gimana." Keano tiba-tiba berujar, keluar dari pembahasan sebelumnya. "Gue nggak tahu apa kita bisa hidup sampai nanti lulus SMA, atau bahkan besok masih bisa buka mata atau enggak. Semuanya abu-abu ya, Kak. Gue jadi ngerasa impian itu nggak berguna. Nyatanya, mati lebih menyeramkan."
Argi menegakkan tubuhnya, lalu menatap Keano yang masih bersandar pada sisi sofa. Merasa diperhatikan, Keano menoleh, balas menatap Argi.
"Lo kedengeran pesimis," cetus Argi. "Kean, emang masa depan nggak bisa diprediksi. Tapi, nggak ada salahnya 'kan, punya impian? Cuma ... ya, gitu. Impian bisa jadi salah satu hal yang ngebuat lo terus berusaha, terus bertahan hidup. Gitu. Jadi, kalau dibilang impian itu nggak berguna, ya nggak juga."
"Terus, impian lo apa?" tanya Keano penasaran. Selama ini, kalau ditanya cita-cita, kakaknya itu lebih memilih untuk mengedikkan bahu, lalu kabur. Ia akan kembali kalau sekiranya orang yang bertanya sudah melupakan pertanyaan tersebut. "Selama ini, lo nggak pernah bilang apa impian lo."
"Gue?" Argi tersenyum penuh arti. "Impian gue itu sederhana, Keano. Gue cuma pengin lihat lo sukses. Gue pengin lihat lo ngeraih cita-cita lo. Gue pengin ngelihat lo bahagia. Suatu hari nanti, gue pengin ngelihat lo akhirnya nggak jomlo lagi. Intinya, gue pengin lihat lo sama Bunda bahagia."
Keano meringis pelan. "Itu nggak sederhana sama sekali, Kak."
Argi bangkit, lalu duduk di sebelah Keano. Senyumnya tidak juga pudar. Pandangannya yang teduh menatap Keano tepat di manik matanya. "Itu sederhana," balas Argi. "Yang nggak sederhana itu, kalau gue pengin gue sembuh. Itu baru sulit."
"Hah." Keano menghela napas panjang. "Andai di sini udah ada transplantasi jantung, gue bakal ngedaftarin diri gue sebagai pendonor. Kita kembar. Gue yakin, jantung gue cocok buat lo."
"Kalaupun ada, gue nggak mau kalau itu dari lo."
Kedua alis Keano tertaut. "Kenapa?"
"Sederhana." Argi menunduk. "Karena gue nggak mau hidup tanpa lo."
•To be continued•
A/n
Aku nggak bisa bikin yang manis-manis, padahal dikit lagi selesai.
Tadinya, aku mau buat mereka lulus SMA, tapi kok masih jauh wkwkwk
Btw, lihat deadlineku
Bagaimana aku tyda gila deadline segitu mepet semua :')
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet
Ficção AdolescenteSelamat datang di dunia sang kakak. Dunia yang hangat, namun penuh perjuangan setiap harinya. Kuucapkan selamat datang pula di dunia sang adik. Senyumnya cerah, tetapi jangan pernah terkecoh. Ia punya banyak cerita di balik segalanya. Keduanya mem...