Lembar Keduapuluh

6.1K 536 40
                                    

Hari ini adalah hari Senin, wajar kalau Keano sudah lesu sejak pagi tadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari ini adalah hari Senin, wajar kalau Keano sudah lesu sejak pagi tadi. Padahal, tidak pernah ia merasa tidak bersemangat seperti ini. Entah karena waktu istirahatnya yang harus digunakan untuk menjaga Argi di rumah sakit, atau karena ... hari ini adalah hari Senin, hari yang dianggap paling tidak menyenangkan untuk sebagian besar orang.

Biasanya, ketika upacara Keano masih dapat mengobrol dengan Argi. Atau lebih tepatnya memperhatikan kakaknya itu. Kadang, lebih memilih untuk menjahili teman sekelasnya. Tapi, hari ini sepi.

Bukan karena tidak ada Argi, tapi karena kelas mereka menjadi sasaran guru BK, hingga barisan paling ujung itu menjadi pusat perhatian.

Cuaca panas pagi hari ini membuat wajah Keano yang memerah karena kepanasan tampak semakin kusam. Pada akhirnya, setelah barisan dibubarkan, ia memilih untuk pergi ke toilet. Mengademkan diri sambil bermain air, mungkin hal itu dapat meredam hawa panas yang menyiksa diri.

"Kakak lo itu nggak masuk lagi?"

Keano menoleh dan mendapati Kian sedang berdiri di sebelahnya sambil mencuci tangan. Entah sejak kapan, laki-laki itu sering mengganggu sang kakak. Keano tidak mengerti awalnya. Argi juga tidak menceritakan apapun mengenai hal tersebut.

"Wah, lo bisa bedain gue sama kakak gue? Hebat!" seru Keano. Senyum mengembang lebar dan tangannya saling menepuk. Hanya sesaat, karena kemudian bibirnya terkulum. "Emang kenapa kalau kakak gue nggak masuk?"

"Kasian."

Di indra pendengaran Keano, nada yang Kian pakai seperti sedang mengejek. Makanya itu, ia langsung berhenti bermain air di wastafel. Helaan napasnya memberat, membuat hawa di sekitarnya berubah drastis.

"Gue bertanya-tanya, kenapa dia nggak mati sejak dulu, ya?"

"Ya, gue juga bertanya-tanya kenapa Tuhan membiarkan lo tetap hidup sampai sekarang." Keano membalas. Masih berusaha tenang, padahal kedua tangannya sudah terkepal. "Jadi anak hobi banget nyari masalah. Kasian orang tua lo mati-matian kerja buat lo. By the way, nama kita mirip. Mungkin, lo lebih cocok jadi kembaran gue daripada Kak Argi—yah, biasanya anak kembar namanya sama 'kan? Tapi, mending gue saudaraan sama Kak Argi daripada sama lo. Lo anak bermasalah, sih."

Wajah Kian tampak merah padam. Cuping hidungnya kembang kempis. Dadanya naik turun dengan cepat. Kalau di mata Keano, Kian sudah mirip dengan orang yang mengalami hiperventilasi.

"Gue udah pernah ngucapin kalimat mainstream ini ke lo belum, sih?" Keano tersenyum miring. "Lo boleh ngatain gue sepuasnya. Tapi, kalau lo ngatain kakak gue ... yah, gue nggak bisa ngapa-ngapain lo juga, sih. Gue nggak mau nyari masalah sama lo dan gue juga punya masalah di sistem pernapasan. Jadi ... mohon minggir, gue mau ke kelas."

Belum sempat Keano beranjak dari tempatnya, Kian menahan lengannya. "Gue baru tahu kalau ternyata lo sama kakak lo sama-sama lemah. Dan ... penyakit di sistem pernapasan? Tuberculosis?" ejeknya. Ia tersenyum miring.

"Bukan TB juga, anjir." Keano bergumam pelan. "Yah, intinya, jangan cari masalah sama gue atau kakak gue, oke? Karena kata lo, kita berdua sama-sama lemah. Lo nggak mau 'kan kalau gue kenapa-napa?"

Kedua jari telunjuk Keano saling ditempelkan. Sebisa mungkin, ia membuat wajah paling imut yang dimilikinya. Kalau Argi yang melihat, mungkin ia akan melemparnya dengan ember—beserta dengan isinya.

"Kian, gue nggak ngerti kenapa lo nyari masalah begini. Cuma gara-gara nilai Biologi dikurangin? Aduh, lo sangat amat kekanakan sampai membuat gue ngelus dada." Keano tersenyum miring, kemudian kepalanya menggeleng perlahan dengan decakan keluar dari bibirnya. Secepat mungkin, ia melambaikan tangannya dan melewati Kian begitu saja. Ditinggalkannya laki-laki yang sebentar lagi mungkin akan melayangkan tonjokannya ke wajah rupawan Keano.

Untung, Keano masih ingat untuk tidak cari-cari masalah. Ia sudah kelas dua belas sekarang. Tidak lucu kalau tiba-tiba dihukum atau memiliki catatan merah di raportnya.

Tapi, yah ... Keano yakin, namanya sudah ditulis dengan tebal di ingatan Kian.

Aih, bodo amat lah!

🍁🍁🍁

"Enggak, enggak. Tapi, Keano nggak kenapa-napa 'kan?"

"Dia terlalu banyak bacot sampai gue kesal sendiri dengarnya, apalagi Kian."

Argi tertawa. Begitu puasnya hingga pundaknya bergetar. Ia tahu, salah satu sifat Keano yang banyak omong itu pasti mampu membuat lawannya merasa kesal sendiri. Tapi, Argi tetap khawatir, karena akan menghasilkan dua akhir yang berbeda—Keano berhasil bebas, atau dirinya akan habis oleh kepalan tangan Kian.

Makanya itu, ketika Gia tiba-tiba melaporkan kalau Keano dan Kian terlibat adu mulut, Argi langsung menyuruh laki-laki itu untuk terus memperhatikan. Setidaknya, mencegah agar Keano terbebas dari masalah. Walau sebenarnya, Argi tahu kalau adiknya itu bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.

"Udah puas? Astaga! Gue berasa jadi stalker menjijikkan yang pengin tahu segala detail tentang adek lo," ucap Gia kesal.

"Emang benar lo mata-mata terbaik gue, Gi!" puji Argi.

"Ini tahun ketiga lo bicara begitu." Helaan napas terdengar begitu lesu dari seberang sana. Wajar, anak kembar yang satu ini memang agak menyusahkan. "Awas kalau lo nggak nraktir gue mie ayam, gue nggak akan mau jagain adek lo lagi."

Argi terkekeh geli. "Mie ayam doang? Mau berapa mangkok? Lima? Sepuluh? Lima belas? Silakan. Bebas, Gi!"

"Gue tahu, yang banyak duit mah beda."

Argi dapat mendengar nada sindiran di kalimat Gia, namun ia tidak peduli sama sekali. Hal yang Argi pedulikan hanya kondisi Keano, dan sekarang ia bisa merasa tenang.

"Iya, alhamdulillah," gumam Argi. "Yaudah, Gi. Gue tutup, ya. Makasih banget, loh! Kalau ada apa-apa, jangan lupa hubungin gue lagi ke nomor 0822-9373-7362."

"Bodo amat, Ar."

Panggilan diputuskan secara sepihak, menyisakan senyuman tipis di bibir Argi. Perlahan, ia meletakkan ponselnya di sebelah tubuh. Kedua tangan Argi terlipat di atas dada dengan mata menerawang ke arah langit-langit.

"Udah, Argi. Sekarang lo bisa tenang," gumam Argi pada dirinya sendiri. "Bahkan lo seharusnya tahu kalau adek lo bisa nyelesaiin semuanya sendiri—"

Suara pintu yang terbuka lantas memotong gumaman Argi. Ia menoleh, menangkap sosok Ganiva yang perlahan memasuki ruang rawat. Kedua manik sendunya itu tampak menatap Argi lekat-lekat. Senyum yang mampu membuat Argi merasa kuat itu terlihat.

Lembut dan penuh arti.

•to be continued•

•to be continued•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang