Lembar Keduapuluhtujuh

5.1K 599 24
                                    

"Infusnya udah dilepas, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Infusnya udah dilepas, ya. Gelang pasiennya juga udah digunting. Setelah ini, biar saya ambilin kursi roda dulu biar bisa pulang." Perawat Nia, perawat yang bertanggung jawab pada Argi selama ia dirawat, berucap sambil menepuk punggung tangannya yang ditutupi kapas alkohol dan difiksasi dengan plester. 

Argi tersenyum tipis. Ia mengangkat tangan, menatap punggung tangannya sendiri. "Makasih, Sus," ujar Argi tulus. "Makasih juga karena udah ngerawat aku selama aku di sini."

Perawat Nia membalas senyum Argi. "Iya, sama-sama. Setelah ini, kamu harus jaga diri, ya. Jangan sampai begini lagi," titahnya. Ia mengusap lengan Argi dengan lembut sebelum akhirnya membereskan peralatannya. 

"Siap, Sus!" 

"Kalau begitu, saya permisi dulu, ya," pamitnya. 

Argi mengangguk cepat. Kedua kaki yang kini tergantung di sisi bed, diayunkannya. Kedua bola matanya tampak berbinar indah. Meski kemarin sempat ragu untuk pulang, tapi Argi tidak bisa mungkir kalau ia juga merindukan rumahnya.

"Bunda," panggil Argi pada Ganiva yang duduk di sofa. "Sebelum pulang ke rumah beli makanan dulu buat Keano, boleh? Pasti pulang sekolah ini dia kelaparan. Aku 'kan belum bisa masakin dia makanan."

Ganiva diam sejenak. Sampai saat ini, ia belum memberi tahu kalau kondisi Keano sempat menurun kemarin. Tadi pagi juga, sebelum Ganiva beranjak ke rumah sakit, suhu Keano masih lumayan tinggi. 

"Iya, Kak," jawab Ganiva pada akhirnya. 

Kedua sudut bibir Argi terangkat lebar. Ia bangkit dari bed-nya, lalu menghampiri Ganiva dan langsung memeluknya. Dengan manja, ia bergelayut manja pada lengan sang bunda. "Aku kangen banget sama rumah," ucap Argi. 

"Makanya, jangan sering sakit, Kak," bisik Ganiva lirih. Ia mengusap surai kecokelatan milik Argi dengan lembut, lalu menghirup aroma khas tubuhnya yang menenangkan. "Jangan buat Bunda khawatir terus begini."

Kedua kelopak mata Argi terpejam erat. "Iya, Bunda. Maaf, ya."

🍁🍁🍁

"Loh, kok ada mobil Keano, Bun?" Argi bertanya heran ketika ia melihat kendaraan beroda empat itu terparkir di pelataran. Ditatapnya Ganiva yang sedang menyetir. Manik itu menyiratkan ribuan tanda tanya. "Keano nggak bawa mobil? Atau malah nggak sekolah?"

"Adek sakit, Kak. Kemarin pingsan pas pulang sekolah. Sampai pagi ini, suhunya belum juga turun," jelas Ganiva pada akhirnya.

"Sa-kit?" Argi tergagap begitu mendengar penuturan Ganiva. Langsung saja, Argi keluar dari mobil. Ia berderap memasuki rumah. Meski agak sulit ketika harus menaiki tangga, pada akhirnya Argi sampai di depan pintu kamar Keano yang tertutup rapat. Tubuhnya untuk sesaat membeku. Tangan yang hendak mengetuk pintu lantas berhenti di udara.

Tetapi, ketika kembali mengingat ucapan Ganiva yang berkata bahwa Keano sedang sakit di dalam sana, tanpa pikir panjang, Argi langsung membuka pintu kamar. Kedua tungkainya mendekati ranjang, sebelum akhirnya meluruh di sebelahnya.

"Keano ..." panggil Argi pelan. Ia meraih tangan Keano dan menggenggamnya. Tidak peduli dengan hawa panas yang agak mengganggu. 

Merasa sedikit terusik, Keano membuka kelopak matanya yang terasa panas. Senyumnya terulas tipis. "Kakak? Lo udah pulang ternyata," bisik Keano lirih. "Maaf karena gue nggak bisa ikut ngejemput lo."

"Kenapa bisa sampai sakit gini, sih?" tanya Argi khawatir. "Gara-gara kemaren kecemplung kolam ikan, ya? Makanya lo hati-hati—maaf, gue terlalu banyak omong. Lo pasti nggak suka 'kan?

"Nggak usah sampai sebegitunya, Kak. Gue nggak apa-apa," cetus Keano. 

"Tapi, Keano. Lo butuh apa?" Argi kembali bertanya. Ia merapikan selimut yang Keano gunakan. "Bilang ke gue. Biar gue ambilin."

Keano menggeleng pelan. "Gue cuma butuh lo di sini, Kak," jawab Keano pelan. "Gue nyebelin banget ya, jadi adek?"

"Iya, lo nyebelin. Sok-sokan nggak mau dikhawatirin. Sok bisa nanggung semua masalah lo sendiri. Padahal, ada gue di sini. Gue kakak lo, loh. Lo bisa cerita apapun ke gue. Lo nggak perlu sok nggak enak begitu." Argi menggigit bibir bawahnya sejenak. "Bahkan, sebenarnya tanpa lo minta, gue bakal selalu ada buat lo. Karena lo adek gue."

Keano tertawa pelan. "Gue masih nggak suka sama lo karena lo selalu nyeramahin gue."

"Iya. Itu fungsinya gue di sini."

Tawa Keano mereda. Ia kembali terpejam, namun senyum tetap terulas di bibirnya yang tampak pucat. "Kak, jangan pergi, ya."

"Iya, pasti."

•to be continued•

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang