"Total semuanya jadi 534.600, ya."
Keano membelalakkan kedua kelopak matanya. Ditatapnya layar mungil yang menunjukkan total belanjanya hari ini. Padahal, dikira paling banyak hanya menghabiskan tiga ratus ribu rupiah.
Banyak juga, batinnya bersuara. Ia mengeluarkan sebuah kartu berwarna merah, lalu langsung menyerahkannya ke pramuniaga tersebut. Mungkin, lain kali ia tidak akan mau jika Ganiva menyuruhnya untuk belanja sendiri seperti ini.
"Silakan PINnya."
Seraya menghela napas panjang, ia memasukkan enam angka yang merupakan kata sandi numerik untuk autentikasi ATM-nya. Agak tidak rela, walau setelah ini, Ganiva pasti mengganti total pengeluarannya. Kalau beruntung, akan ada tambahan beberapa ribu untuk Keano.
"Terima kasih telah berbelanja."
Keano menerima setruk dan kartu ATM-nya kembali. Lagi-lagi menghela napas lelah, Keano mendorong troli yang berisi belanjaannya. Ternyata, berbelanja sendiri cukup melelahkan. Ditambah lagi, sudah akhir bulan. Banyak orang berbelanja bulanan. Antrean menjadi panjang hingga mengular.
Tiba-tiba, ponsel yang ada di saku seragam Keano bergetar panjang tanda ada panggilan masuk. Ia langsung mengambilnya dan membaca nama yang tertera di layar. Ternyata, itu adalah panggilan dari sang kakak. Segera, Keano menjawabnya.
"Halo, Kak? Kenapa? Bahan-bahannya udah gue beliin—"
"Masih lama?"
Suara Argi yang terdengar lirih, membuat Keano berhenti berjalan. "Kak? Lo kenapa?" tanya Keano khawatir. Tangan yang memegang troli mengepal keras. "Lo ... nggak apa-apa 'kan?"
"Gue nggak apa-apa," balas Argi."Bisa cepat pulang?"
Keano mengangguk, meski tahu kalau Argi tidak akan bisa melihatnya. "Iya, ini udah mau jalan pulang, kok," ucap Keano. Kedua tungkainya kembali melangkah cepat. "Sebentar, ya, Kak."
Tidak ada jawaban lagi. Panggilan pun diputuskan begitu saja. Padahal, Argi selalu berkata, jika salah satu dari mengalami sesuatu—yang mungkin saja darurat, jangan pernah memutuskan panggilan.
"Ah, sial." Keano mengumpat pelan. Ia kembali menyimpan ponsel di saku seragamnya. Tidak peduli lagi dengan keramaian pusat perbelanjaan, Keano makin mempercepat langkahnya. Untuk saat ini, tujuannya hanya satu, yaitu sang kakak.
🍁🍁🍁
Argi meletakkan ponselnya di sebelah tubuh. Kedua kelopak matanya terpejam erat, bersamaan dengan peluh yang mengalir membasahi tubuhnya. Dengan satu gerakan cepat, ia meraih remote control pendingin ruangan, dan menyalakannya.
Tubuhnya kelelahan, dadanya terasa lebih nyeri daripada biasanya. Dan kini, Argi hanya bisa berbaring di kasur setelah barusan sempat meneguk obatnya. Sinar matanya tampak lebih redup. Sesekali, keningnya berkerut disertai dengan ringisannya.
Kenapa barusan nelepon Keano, deh? Batin Argi bertanya. Ia merutuki tindakannya barusan, yang mungkin saja malah membuat sang adik panik.
Tangan Argi perlahan meraih dada dan mengurutnya perlahan. Sementara itu, sebelahnya lagi mengusap wajah yang tampak lebih pucat daripada biasanya itu. Sinar matahari yang menerobos memasuki kamar menerpa langsung ke kedua netranya yang kuyu, membuat kedua iris madunya terlihat lebih jernih.
Dalam hati, Argi berharap Keano cepat sampai. Bukannya apa. Ia hanya butuh sang adik berada di sisinya. Rasanya, lebih menyakitkan ketika harus merasakan rasa sakitnya seorang diri. Makanya itu, Argi sedikit bersyukur ketika Keano menjawab panggilannya. Juga bersyukur karena jarak pusat perbelanjaan tidak jauh dari rumah.
Menarik napas panjang, Argi mengubah posisinya hingga kini ia dapat melihat pantulan dirinya sendiri dari cermin di pintu lemari. Senyum tampak di wajahnya. Walau setelahnya, setetes air mata mengalir dari sudut mata kanannya.
Kenapa rasanya begitu menyakitkan ketika melihat pantulan dirinya sendiri?
Tangan Argi meremas selimut. Bukan ringisan yang keluar dari bibirnya yang kering, tapi isakan. Frekuensi napasnya meningkat.
"Adek ... tolong lebih cepat."
🍁🍁🍁
Setelah meletakkan belanjaannya di dapur, Keano langsung berlari menuju kamar Argi. Tidak ada pikiran sedikit pun untuk beristirahat terlebih dahulu. Satu hal yang ada di pikirannya hanya sang kakak.
Pintu mengayun terbuka dengan cepat, menampilkan suasana kamar yang gelap. Kedua netra Keano berusaha untuk menyesuaikan dengan kegelapan di dalam sana. Kedua tungkainya melangkah, memasuki kamar setelah sebelumnya menekan saklar lampu. Menghampiri sesosok laki-laki yang berbaring meringkuk di kasur.
"Kakak," panggilnya. Helaan napas leganya terdengar begitu ia melihat dada Argi yang naik turun teratur.
"Kean ...." Kedua kelopak mata Argi mengerjap beberapa kali. "Maaf, ya."
Keano duduk di sebelah Argi. "Lo kenapa?" tanyanya khawatir. Ditatapnya wajah yang serupa dengannya itu. Rasanya, Keano seolah melihat dirinya sendiri dengan wajah memucat dan bibir yang sianosis.
"Cuma sedikit sakit," jawab Argi.
"Lo bikin gue takut, Kak," keluh Keano. Ia ikut berbaring di sebelah Argi. "Jangan begitu. Lo tahu gue jadi susah napas kalau panik."
"Saluran pernapasan lo nyebelin, ya?"
"Ya. Begitupun jantung lo."
Keano tertawa geli. "Udah merasa lebih baik?"
Argi mengangguk pelan. "Karena ada lo," balasnya. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya. "Gue nggak kebayang kalau lo marah lagi sama gue. Gue nggak tahu apa bisa nahan sakit sendirian atau enggak."
"Kalau gitu ...." Keano mendudukkan tubuhnya. "Karena nahan sakit sendirian itu nggak enak, berarti lo nggak boleh nyerah, ya? Soalnya gue nggak mau ngerasain nggak enaknya itu."
Sudut bibir Argi terangkat tipis. "Iya."
•to be continued•
A/n
Nggak terasa, jumlah views chapternya di atas 500. Apaqa cerita ini mulai terkenal? Atau kamu buka tutup cerita ini berkali-kali? HAHAHAHA
MAKASIH LOH! 😆😆😆
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet
Novela JuvenilSelamat datang di dunia sang kakak. Dunia yang hangat, namun penuh perjuangan setiap harinya. Kuucapkan selamat datang pula di dunia sang adik. Senyumnya cerah, tetapi jangan pernah terkecoh. Ia punya banyak cerita di balik segalanya. Keduanya mem...