Suasana sore hari dengan embusan angin yang menyapu lembut permukaan kulitnya selalu menjadi kesukaan Argi, bahkan setelah 22 tahun berada di dunia ini. Senyumnya yang hangat terukir, meski kini dirinya sedang berjalan di antara makam, tempat yang akan menjadi peristirahatan terakhirnya suatu hari nanti.
Perlahan, Argi menyugar surai cokelat dengan jemari tangannya yang bebas. Sementara tangan sebelahnya membawa sebuket bunga yang sengaja dibawanya khusus hari ini. Langkahnya yang terkesan lambat, membuat Argi merasa bahwa jarak makan yang ditujunya terasa jauh dari gerbang.
Hingga pada akhirnya, Argi berhenti berjalan di hadapan sebuah makam yang sudah ditumbuhi rerumputan liar. Ia berjongkok, menumpukan tubuh pada kedua lututnya. Tangannya mulai mencabuti rumput tersebut.
Kedua netra Argi membaca nama yang ada di nisan. Entah sudah berapa tahun ia tidak bertemu dengan sang pemilik nama yang sudah berpulang. Argi bahkan sudah tidak menghitungnya lagi.
"Ayah." Argi berucap pelan. "Maaf karena udah lama aku nggak datang ke rumah Ayah. Padahal, aku kangen banget sama Ayah."
Argi meletakkan buket bunga yang dibawanya ke dekat nisan. Senyum sendunya tampak. Ia mengusap permukaan nisan perlahan.
"Yah, akhirnya aku bisa sembuh, kayak apa yang Ayah penginin dulu," lanjut Argi. Di benaknya, terbayang senyum sang ayah tampak begitu menenangkan. "Setelah sekian lama, walau aku masih harus rutin check up buat mastiin kalau nggak ada penolakan, tapi aku merasa cukup. Akhirnya, aku bisa hidup dengan jantung yang normal, sama kayak orang lain."
Kedua kelopak mata Argi terpejam, merapalkan doa-doa yang ditujukannya untuk sang ayah. Berharap yang terbaik, meski saat ini belum dapat kembali bertemu.
Hingga satu tepukan membuatnya menoleh. Argi mengusap kedua kelopak matanya yang mulai basah, sebelum untuk kesekian kalinya menyunggingkan senyumnya.
"Kenapa, Kean?"
"Nih, minum dulu. Katanya lo haus. Udah gue beliin, lo malah ke sini duluan," gerutu Keano.
Ganiva yang mendorong kursi roda Keano, langsung memosisikannya agar berada di sebelah Argi. Beruntung jarak antarmakam yang cukup luas, membuat Keano bisa hadir lebih dekat. Setelahnya, ia berlutut di sebelah nisan.
"Ayah, hari ini Bunda, Kakak, sama Adek datang. Maaf ya, karena selama ini jarang ngunjungin Ayah." Ganiva tersenyum tipis. Ia melirik Argi yang berada tepat di sebelahnya.
"Kita baru pulang dari rumah sakit, abis ngantar Kakak buat check up. Hasilnya baik, Yah. Nggak ada tanda-tanda penolakan." Diusapnya punggung Argi perlahan. Kekehan gelinya terbit. "Andai Ayah masih ada, mungkin kita bakal ngelakuin semua hal yang Kakak mau bareng-bareng."
"Ha, iya juga," sahut Argi. Namun kemudian, kepalanya menggeleng perlahan. "Tapi nggak apa-apa. Masih ada Bunda sama Keano. Walaupun nggak ada Ayah, nggak apa-apa. Karena aku masih ada temannya."
Ganiva tertawa. Ia terlebih dahulu bangkit dan menyingkirkan tanah dari lututnya. Tangannya mengusap puncak kepala Argi, lalu beralih pada Keano. "Pulang, yuk," ajaknya.
"Sebentar, Bun. Aku mau di sini sebentar," balas Keano. Kedua netranya tidak beralih dari makam yang sudah tampak mengering tersebut.
"Aku nemenin Keano dulu," timpal Argi. "Bunda ke mobil duluan, gih. Nanti, biar aku yang dorongin kursi roda Keano. Oke?"
Ganiva untuk sesaat menatap Argi dengan skeptis. Namun kemudian, helaan napasnya terbit. "Jangan kelamaan, atau kita nggak jadi beli es krim."
"Siap, Bunda," balas Argi dan Keano bersamaan. Diikuti oleh tawa keduanya yang sama-sama terbit, mengiringi langkah Ganiva yang berjalan menjauh. Kemudian, keheningan kembali mengambil alih. Keduanya sama-sama tenggelam pada pikiran masing-masing.
"Yah." Keano yang pertama kali buka suara. "Maaf karena aku ternyata belum bisa nemenin Ayah di sana. Aku masih dikasih kesempatan buat nemenin Kakak sama Bunda."
"Iya, biar aku nggak kesepian," celetuk Argi. Ia mengusap lengan Keano perlahan. "Nggak apa-apa 'kan, Yah, kalau Ayah sendirian dulu sampe bertahun-tahun ke depan?"
"Tenang aja, Yah. Suatu hari nanti, kita pasti bisa bareng-bareng lagi. Aku, Kakak, Bunda, sama Ayah. Kita bakal jadi keluarga yang utuh lagi nantinya." Keano melanjutkan. Bibirnya terkulum untuk sesaat. "Ngomong-ngomong, Yah, aku udah jadi anak yang baik sekarang. Aku udah nggak pernah nyakitin diri aku cuma buat ngalihin kesedihan yang aku rasain. Soalnya, aku punya Kakak. Kakak bisa jadi tempat aku buat cerita."
Argi mendengkus. "Setelah bertahun-tahun lamanya, dia baru sadar, Yah," cibirnya.
"Iya." Keano mengiyakan. "Maaf ya, Yah, karena udah pernah ngelakuin hal bodoh. Aku menyesal dan nggak akan pernah ngulangin lagi. Maaf juga karena nggak bisa jadi dokter kayak mau Ayah dulu."
"Tapi aku yang gantiin." Senyum lebar Argi terbit. "Tenang, Yah. Ayah masih punya penerus! Walaupun emang sulit apalagi aku masih harus ngelakuin pengobatan, tapi aku bisa terus lanjut." Ia berseru semangat.
Keano tersenyum bangga. Ia menepuk pundak Argi perlahan. Walau merasa sedih karena tidak berhasil meraih cita-citanya, namun Keano tetap senang. Anggap saja Argi adalah dirinya.
"Kak, pulang, yuk. Udah mau gelap. Seram juga kalau di kuburan mau magrib begini."
"Oke." Argi bangkit. Ia menepuk kedua lututnya. "Yah, aku sama Keano pulang dulu, ya. Kapan-kapan, kita bakal mampir lagi ke sini. Asalamualaikum, Yah."
Argi perlahan mulai mendorong kursi roda Keano, menyusuri jalan di antara makam-makam. "Kean, lo mau gue masakin apa malam ini?"
"Gue pengin sashimi, deh," jawab Keano. Ia menelan salivanya. "Kayaknya enak."
"Mahal banget, Kean!" protes Argi. "Yang lain, dong. Yang bahannya murah sama gampang dibuat."
"Apa aja, deh," ucap Keano akhirnya. "Asal lo yang masak."
Argi berdecak pelan. "Giliran ada maunya, gue dibaik-baikin," cibir Argi. "Tapi nggak apa-apa. Sebagai kakak yang baik, udah seharusnya membahagiakan adek sendiri."
Keano tertawa pelan. Ia tidak lagi menjawab. Kedua netranya menatap teduh ke arah depan, di mana Ganiva menunggu kedatangan mereka. Dibalasnya senyum Ganiva tampak hangat.
Pada akhirnya, semua seperti yang Keano inginkan. Meski dengan keterbatasannya kini, namun keberadaan kakak dan bundanya membuat hal itu tidak lagi berarti. Keano bisa hidup dengan baik, sampai suatu hari nanti, waktunya di dunia ini berakhir.
•Selesai•
A/n
Seneng banget ngetik kta selesai 😭😭 sampe mau nangis.
Jadi, aku baca komen. Ada kubu maunya keano yang mati, ada kubu maunya argi yang mati. Aku bingung
Daripada aku buat dua duanya mati
Mending aku buat dua duanya hidup
DAN INI CERITA YANG AKU TAMATKAN DENGAN AKHIR BAHAGIA WKWKWK
Yah, bahagia untuk sesaat, karena hidup mereka masih terus berlanjut.
Terima kasih, Guys :")
Kita ketemu lagi di cerita lainnya
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet
Novela JuvenilSelamat datang di dunia sang kakak. Dunia yang hangat, namun penuh perjuangan setiap harinya. Kuucapkan selamat datang pula di dunia sang adik. Senyumnya cerah, tetapi jangan pernah terkecoh. Ia punya banyak cerita di balik segalanya. Keduanya mem...