Lembar Keempatpuluhtujuh

4.2K 423 20
                                    

"Kenapa?" Keano bertanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kenapa?" Keano bertanya. "Kenapa lo bisa begini lagi, anjir?! Bukannya lo pernah janji buat selalu baik-baik aja? Kenapa malah ingkar? Hobi banget ngebuat gue khawatir gini."

Di balik masker oksigennya, Argi tersenyum lemah. Tangannya bergerak, meraih tangan Keano, lalu digenggamnya erat. "Ma-af," ucapnya lirih.

Keano mendesah pelan, kesal sendiri karena suara lirih Argi justru membuatnya tidak tega. Kekhawatirannya tidak juga berkurang saat melihat Argi. Justru, rasa takut makin menghantuinya. Membuat pikiran buruk terus bersemayam di kepalanya.

"Jangan begini, gue nggak suka," pinta Keano. Ibu jarinya perlahan mengusap punggung tangan Argi. "Gue takut kalau ngeliat lo masuk sini. Gue nggak pengin ngeliat lo sakit terus gini. Gue nggak suka, Kak."

Argi ingin membalas. Berkata bahwa dirinya baik-baik saja dan Keano tidak perlu khawatir. Namun, lidahnya terasa kelu. Di balik semuanya, Argi juga takut.

Takut ia tidak bisa bangun lagi keesokan harinya.

Takut pada akhirnya penyakit sialan itu merenggut nyawanya.

Takut pada akhirnya ia harus pergi, meninggalkan Keano sendirian.

"Kak, lo harus tetap hidup. Oke?" Keano perlahan mengusap sudut mata Argi yang tergenangi air mata. Kedua sudut bibirnya terangkat. Begitu hangat, namun tidak mampu membuat Argi merasa tenang. "Sebentar lagi kita ulang tahun. Gue nggak mau ngerayain sendirian. Sebentar lagi juga, kita lulus SMA. Gue mau foto bareng sama lo. Pokoknya, lo harus hidup sampai saat itu."

Keano menggeleng perlahan. Manik matanya juga sudah tampak mulai tergenangi cairan. Sekali saja ia berkedip, dapat Keano pastikan cairan itu akan mengalir secara semena-mena. Membuatnya tampak menyedihkan, padahal tujuannya adalah untuk menenangkan sang kakak.

"Nggak. Bukan cuma sampai saat itu." Keano menggigit bibir bawahnya sejenak. Rasa takut akan masa depan semakin menjadi-jadi. Ia tidak pernah bisa memprediksi, bahkan untuk dirinya sendiri. "Gue mau kita hidup sampai dewasa nanti. Gue mau kita kuliah. Gue mau kita sama-sama punya gelar sepanjang rel kereta api di nama kita. Gue mau semua itu."

Argi menggeleng pelan. Ia punya keinginan yang sama. Dirinya juga ingin semua itu dapat terwujud. Namun, Argi sendiri juga tidak bisa terlalu muluk.

"Gue sayang sama lo, Kak. Gue mau yang terbaik buat lo. Selalu itu." Keano menundukkan kepalanya, kali ini terasa sulit untuk sekadar menatap wajah yang mirip dengannya itu. Rasanya, ketika melihat wajah Argi yang tampak pucat, Keano juga ikut merasa sakit, meski tidak sebanding dengan apa yang Argi rasakan selama ini.

"Gue juga," balas Argi. Tangannya terangkat, lalu mengusap kening Keano yang ditutupi surainya yang mulai memanjang. "Makasih ya, Kean. Gue senang karena punya saudara kembar kayak lo. Gue nggak apa-apa walaupun gue dilahirin dengan kondisi kayak gini. Karena gue punya lo."

Argi menarik napas panjang. Rasa takutnya perlahan memudar, membuatnya dalam bernapas lebih tenang. Meskipun rasanya masih sesak dan menyakitkan, tetapi Argi tidak mengacuhkan semua itu.

"Keano, jangan pergi lagi, ya."

Keano tidak bisa berjanji, namun iya tetap mengangguk. Helaan napasnya terasa begitu lembut, menunjukkan bahwa saat ini ia sedang tenang. Kedua netra cokelatnya tampak berbinar lembut.

"Iya, Kak."

🍁🍁🍁

Keano merasa canggung ketika harus duduk berhadapan dengan Ganiva.

Padahal, bundanya itu hanya mengajaknya makan malam di kantin. Berhubung Argi mengeluh mengantuk dan beberapa menit kemudian sudah tertidur-yang membuat Keano setidaknya merasa tenang. Ditambah lagi, ia memang belum makan sejak siang. Akhirnya, Keano nemilih untuk mengiyakan ajakan Ganiva.

Suasana kantin malam ini cukup ramai. Beberapa tenaga medis, mahasiswa yang sedang magang, maupun keluarga pasien, tampak memenuhi sudut kantin yang berada di bagian belakang dekat kamar mayat tersebut. Beberapa obrolan yang dekat dengan mejanya terdengar, membuat Keano yang sejak tadi diam tidak merasa sepi. Setidaknya, hal itu dapat mengurangi kecanggungan yang Keano rasakan.

"Um, Bunda." Keano buka suara. Ie mendekatkan botol air mineralnya, kemudian menumpukan dagunya di atas sana. Nasi goreng yang sisa setengah porsi dibiarkannya begitu saja.

"Kenapa, Dek?"

Keano diam sesaat. Ia mengedarkan pandangannya. Menatap apapun yang ada di sekitarnya. Entah itu lauk-lauk di kios nasi padang, es batu milik pengunjung di meja sebelah, atau kucing yang tiba-tiba hadir di dekatnya. Pokoknya, apapun itu selain kedua netra legam Ganiva.

"Kali ini Bunda tulus 'kan sama aku?" Keano bertanya takut-takut. "Aku janji aku nggak akan jadi anak yang susah diatur. Aku bakal bersikap baik. Aku nggak akan ngebuat Bunda malu lagi. Asal ... Bunda sayang sama aku. Tolong perlakukan aku sama kayak Bunda memperlakukan Kakak. Aku tahu aku nggak sakit. Aku tahu nggak sepantasnya aku minta lebih. Bahkan dirawat sampai sekarang aja seharusnya aku udah bersyukur 'kan?

"Tapi ... aku mohon, Bunda. Tolong sayangin aku sama kayak Bunda nyayangin Kakak. Aku cuma mau itu." Keano menunduk. Kedua tangannya saling menggenggam di atas meja. "Maaf. Aku terlalu kekanakan, padahal sebentar lagi umurku tujuh belas tahun. Seharusnya-"

"Nggak usah mohon-mohon begitu." Ganiva memotong perkataan Keano. Tangannya perlahan meraih tangan sang putra, lalu digenggamnya erat. "Maafin Bunda ya, Sayang. Bunda nggak pernah buka mata Bunda, padahal kamu juga butuh Bunda."

Keano mengangkat kepalanya, menatap Ganiva. Rautnya tidak dapat dideskripsikan. Masih ada sedikit ketidakpercayaan di sana, namun ekspresi penuh kebahagiaan lebih mendominasi. Untuk kesekian kalinya di malam ini, kedua bola mata Keano terasa panas, hingga setetes air mata mengalir dari sudut matanya. Perasaan Keano menangkap ucapan penuh ketulusan yang Ganiva lontarkan, membuatnya tanpa sadar tersenyum.

Lagi-lagi, Keano menunduk. Rasa hangat menjalari dadanya. "Makasih, Bunda," gumam Keano, namun Ganiva masih dapat mendengarnya.

"Terima kasih untuk semuanya, Bunda."

•to be continued•

A/n

Ini jadi ending enak juga ....

Oke, waktunya aku tiduuur sebelum kena omel Mama. Hehehehe

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang