Lembar Kedelapanbelas

6.1K 572 72
                                    

Bisa dibilang, Keano sudah terbiasa sendiri sejak kecil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bisa dibilang, Keano sudah terbiasa sendiri sejak kecil. Kondisi sang kakak yang kadang mengharuskannya untuk dirawat di rumah sakit, menyebabkan Keano sering ditinggal di rumah oleh kedua orang tuanya. Bundanya harus menemani Argi di rumah sakit, sementara ayahnya sibuk bekerja. Walau begitu, sang ayah selalu menyempatkan diri untuk menemani Keano, hingga membuat ia tidak terlalu merasa kesepian.

Tetapi, ketika pada akhirnya ayah berpulang, Keano harus merasakan rasa sakit akibat kesepian yang lebih dalam lagi. Ganiva mungkin akan mengunjunginya, namun itu semua tidak cukup untuk Keano. Lama-kelamaan, ia mulai lelah untuk mengharap. Keano mulai memahami, inilah yang akan terjadi jika memiliki saudara yang membutuhkan perhatian khusus. Inginnya diperhatikan juga, tapi Keano bisa apa?

Ketika Keano membuka pintu utama rumah, lagi-lagi yang menyapa adalah sepi. Ia menghela napas lelah saat melangkah masuk. Ditutupnya pintu rapat-rapat. Tanpa menyalakan lampu, Keano berjalan ke dapur, hendak mencari minum untuk membasahi kerongkongannya yang mulai kering.

Namun, sebelum mengambil gelas di lemari piring, kedua netra Keano menangkap beberapa piring berisi makanan di atas meja makan. Senyum Keano lantas mengembang tipis. Benar-benar tipis, hingga dirinya sendiri tidak menyadari bahwa kedua sudut bibirnya telah terangkat.

Keano melepas tasnya dan meletakkannya di samping meja, lalu duduk di salah satu kursi makan. Diambilnya sebuah kertas yang terselip di bawah piring.

Dimakan, ya, Dek. Maaf, Bunda nggak bisa nemenin kamu makan.

"Makasih, Bun," gumam Keano. "Nggak apa-apa Bunda nggak bisa nemenin aku. Pasti, Bunda lagi nemenin Kakak 'kan? Nggak apa-apa, Bun. Sekarang, Kakak jauh lebih penting daripada aku."

🍁🍁🍁

Sesuai dengan perkiraan cuaca hari ini, hujan akan turun disertai oleh petir. Angin berembus dengan kencangnya. Suara gemuruh bersahutan, membuat Keano untuk sejenak mengusap dada, terkejut karena suaranya yang tiba-tiba.

Saat ini sudah pukul sepuluh malam, tapi Keano masih harus duduk di kursi belajarnya. Dengan laptop yang terbuka, beberapa buku, serta makanan ringan di atas meja. Padahal, sejujurnya Keano sudah sangat mengantuk. Tetapi, mengingat bahwa batas waktu pengumpulan tugasnya sebentar lagi, ia harus rela terjaga hingga lebih malam lagi.

Untuk kesekian kalinya, Keano menguap. Kelopak matanya benar-benar sudah memberat, hingga membuatnya tidak mampu lagi untuk terbuka. Pasrah dengan nasib tugasnya, Keano bangkit. Tubuhnyang yang sempoyongan naik ke atas kasur.

Tidak perlu menunggu lama, kedua kelopak mata Keano tidak terbuka lagi. Dadanya naik turun teratur. Helaan napasnya yang lembut menunjukkan bahwa ia sudah tertidur.

Benar-benar lelap, hingga tidak menyadari bahwa sedari tadi ponselnya bergetar, menandakan ada panggilan yang masuk.

🍁🍁🍁

"Bun, Keano udah makan belum, ya?" Argi lagi-lagi bertanya. Sesekali, ia melirik Ganiva yang sedang duduk di sofa dengan laptop di pangkuannya. "Aku khawatir, deh. Soalnya, dia 'kan nggak bisa masak."

Ganiva tertawa. "Makanya, adek kamu itu diajarin masak. Biar nggak bergantung terus sama kamu," balasnya. Tidak sedikit pun Ganiva mengalihkan pandangannya dari layar.

"Tapi, aku suka kalau Keano bergantung sama aku. Itu menunjukkan kalau aku juga bisa diandalkan, bukan?" Argi lagi-lagi mengangkat tangannya. Namun, hanya sesaat karena ia mendadak mengingat penuturan Keano mengenai darah yang naik ke selang infusnya. "Selama ini, aku sebagai kakak, tapi nggak berguna. Aku jadi bingung, deh. Aku tuh beneran kakak atau bukan, sih? Kenapa kayaknya Keano yang jadi kakak aku?"

Ganiva menutup layar laptopnya. Ia merenggangkan tubuh, lalu bangkit, menghampiri Argi yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. "Bunda aja kadang lupa kalau kamu kakaknya," ejek Ganiva. "Badan kamu lebih pendek dari Adek, sih."

Argi menggembungkan pipinya, agak kesal karena ucapan Ganiva. "Iyain, Bun," balasnya singkat. "Tapi, aku beneran khawatir Keano belum makan. Nanti, kalau dia sakit, gimana? Kasian 'kan."

"Iya, kasian," ucap Ganiva singkat.

"Bunda tadi pulang 'kan? Bunda masakin nggak tadi? Kalau nggak dimasakin, aku marah, loh."

Ganiva mengusap puncak kepala Argi, lalu menepuk pipinya yang masih saja digembungkan. "Udah Bunda masakin kok, tadi," ujar Ganiva.

Senyum Argi mengembang lebar. Namun, hanya sesaat. Karena kemudian, sakit kembali menghampiri dadanya dan menjalar dengan hebat. Membuat ia meringis. Ketika Argi berusaha menarik napas, sakit yang dirasakannya bertambah berkali lipat. Pandangannya perlahan memburam, hingga akhirnya menggelap sepenuhnya.

🍁🍁🍁

Keano terbangun dari tidurnya, dan langsung mendudukkan tubuhnya. Keringat mengalir membasahi tubuhnya. Napasnya memburu dengan suaranya yang terdengar begitu jelas.

Beberapa kali, Keano terbatuk. Begitu keras hingga membuat ia mengusap-usap dadanya sendiri. Tubuhnya agak dibungkukkan ke depan, semata agar batuknya sedikit tertahan. Namun, hal itu benar-benar percuma.

Tangan Keano terjulur, meraba nakas yang ada di sebelah tempat tidurnya. Ia mengambil ponselnya, berniat menelepon Argi. Mimpinya barusan terasa begitu nyata hingga membuat Keano benar-benar ketakutan.

Panggilan dijawab. Sebuah suara terdengar. Bukan suara Argi, tapi suara Ganiva.

•to be continued•

A/n

Gimana kabarnya? Bagus?

Flashback yuk.

Flashback yuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hehehehehe

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang