Cinta bukan hanya sebuah perasaan. Cinta adalah seni. Dan seperti seni apapun, cinta tidak hanya membutuhkan inspirasi, melainkan juga banyak kerja keras
-Adultery, Paulo Coelho-
.
.
.
Senyum seindah Jaejoong itu terulas, memperhatikan pria dengan wajah serupa Yunho yang sama sekali tidak menyentuh hidangan yang tersaji. Padahal restoran ini termasuk terkenal dikalangan kritikus makanan meski bukan seleranya namun menu Italia selalu memiliki tempat tersendiri di hati para penikmatnya.
"Tidak lapar?" ujarnya usai menghabiskan olahan pasta bahari, mungkin setelah ini dirinya akan membawa Jaejoong ke tempat ini, mengingat sang putra adalah penggila pasta.
"Mungkin tadi sebelum kau datang dan melenyapkannya."
Jonggum hanya tertawa kecil, permasalahan mereka dulu masih dijadikan patokan bagi Alain untuk memusuhinya. Padahal mereka sudah terlalu tua, bahkan putra mereka memasuki gerbang kepala tiga.
"Padahal aku ingin memperbaiki hubungan kita berdua, tapi kau sama sekali tidak mempersilahkanku melakukannya."
Alain mendecih, pria tua itu masih bisa bercanda usai melakukan hal buruk di masa lalu? Sama sekali tidak memiliki malu!
"Kau pikir aku akan melupakannya begitu saja dan menyambutmu dengan hangat seolah tidak terjadi apapun?" kalimat Alain terdengar sangat sarkas "Maaf sekali, hal menyedihkan itu tidak akan pernah terjadi!"
Seharusnya Jonggum telah menduganya, Alain adalah sosok yang sangat keras kepala. Mirip sekali dengan Yunho, batinnya tertawa, "Kita seharusnya sudah tidak lagi memikirkan masa lalu alih-alih menyiapkan tempat peristirahat abadi tanpa menyusahkan anak-anak."
"Pergilah sendiri ke surga, aku masih memiliki tanggung jawab di tempat ini."
"Kau masih belum bisa memaafkanku?" kali ini Jonggum berujar dengan tulus, dirinya ingin memiliki hubungan yang lebih baik di masa tua tanpa memiliki musuh atau bersitenggang dengan sahabat lamanya. Mereka sudah terlalu renta untuk memiliki konflik yang berkepanjangaan.
"Kau bergurau? Aku bahkan tidak percaya kau memiliki muka untuk menghadapiku." Alain menenggak anggurnya sekejap mata "Seharusnya dulu aku tidak membiarkan Hyoji Han bersamamu."
"Alain!"
"Kau beruntung karena memiliki pengaruh di Korea Selatan, bahkan setelah menjadi seorang pembunuh. Kupikir setelah mengakhiri karirmu sebagai seorang pembalap, kau akan mendekam dan mati di penjara. Dan pada akhirnya hukum akan tunduk pada uang."
Jonggum tidak bisa diam saja ketika Alain melemparkan bom kepadanya, "Kalau begitu kenapa kau tidak merebutnya? Kau yang menghilang dan kembali bersama seorang wanita yang kau nikahi."
Amarah itu terkumpul pada dada Alain, namun akalnya berhasil mengendalikannya dengan baik. Kekecewaan besar yang menggunung seolah menolak lebur dan malah membeku hingga menyesakkan dada.
"Aku tidak bisa melakukannya."
"Itu yang dulu pernah kau katakan, kau pikir dia -Hyoji- akan mempercayaimu?" Jonggum sebenarnya tidak ingin mengatakan hal ini, namun kebahagiaan sang putra tengah dipertaruhkan "Bahkan setelah kami menikah dan Hyoji memberikanku seorang putra, dia tetap mencintaimu. Dan kau memilihi menyerah atas dirinya yang telah berjuang untuk hubungan kalian? Kau seharusnya tahu apa yang ayahmu lakukan dulu, dia yang-"
"Jangan mengikutsertakan ayahku!"
Jonggum tertawa sinis "Bahkan ketika raganya telah dilahap api, kau masih begitu takut dengan pria tua itu?" sejenak mengambil napas untuk meredakan ketegangan mereka "Aku tidak akan pernah berlutut atas kesalahanku di masa lalu, pada kenyataannya kecelakaan yang kami alami murni kelalaianku. Kau benar, aku memang membunuh Hyoji namun aku juga harus berjuang demi putraku. Seperti kau yang berjuang untuk Yunho kini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Glory
ФанфикApa itu kesuksesan? Kepopuleran? Kekuasaan? Kekayaan? Wajah rupawan? Disukai banyak orang? Nyatanya semua hal itu hanyalah kesemuan belaka. Sayangnya setiap orang pasti menginginkan kesuksesan terbalut kesempunaan, bahkan melupakan sebuah hal pentin...