Ada sesuatu yang terasa hilang akhir-akhir ini. Hilang dari sela aktivitas rutinnya. Hilang dari sudut hatinya. Membuat tubuhnya seperti ikut kehilangan gaya gravitasi. Serasa tak menyentuh tanah setiap kali menjejak bumi. Hilang gairah, apalagi semangat.
Yuuri, gadis yang memiliki manik mata berwarna cokelat itu merasa ada yang aneh. Sesuatu yang tak biasa.
Apa yang sedang terjadi?
Sudah lebih dari sepekan tak ada kabar yang bisa diterimanya. Jangankan kabar, membalas pesannya pun tidak. Beberapa media sosialnya deactivate. Emailnya tak mendapat respon. Ditelepon pun tak pernah bisa tersambung.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Yuuri semakin cemas dengan keadaan yang tak mengalami kemajuan akhir-akhir ini. Ia khawatir, juga takut. Takut akan benar-benar kehilangan. Kehilangan sesuatu yang sudah dipertahankannya sejauh ini. Kehilangan seseorang yang namanya sudah ia ukir dalam hati.
Atau, jangan-jangan ...?
Ia segera menepis segala pikiran negatifnya.
Kento Nakamura adalah pemilik nama itu. Nama yang telah melukiskan berjuta warna dan rasa dalam hidupnya. Nama yang telah membuka pikiran dan cara pandangnya selama ini. Nama yang menuntunnya untuk menemukan jati diri.
Hingga akhirnya pemilik nama itu seolah menjadi candu dalam hidupnya. Bukan saja semenjak disandangnya status sebagai kekasih, tapi jauh lebih lama dari itu; saat ia belajar membuka diri untuk kehadiran orang asing dalam hidupnya, saat tubuh kecilnya mulai beradaptasi dengan menggigilnya musim dingin, saat netranya mulai mengagumi kecantikan bunga sakura dan keanggunan musim gugur. Juga, saat mulut dan telinganya mulai terbiasa dengan pelafalan yang dahulu terdengar asing. Ya, saat sembilan belas tahun silam sejak ayahnya tugas belajar di Jepang, pemilik nama itu telah menjadi teman sekaligus guru dalam hidupnya di kota Seibu Kuil, Kyoto.
Yuuri menarik napas dalam-dalam hingga terasa penuh di rongga dada, membiarkan kadar oksigen masuk lebih banyak supaya bisa menghasilkan banyak hormon endorfin yang diperlukan tubuhnya kini. Perlahan ia lepaskan partikel-partikel itu kembali ke udara.
Tubuhnya menjadi lebih rileks.
Tangannya lantas kembali memeriksa gawai yang sadari tadi dipandangnya dalam diam. Mencari sebuah nama. Namun hasilnya tetaplah nihil. Tak ada pesan masuk yang dinanti.
Benar-benar menyiksa. Menyimpan rindu dan cemas dalam dada.
Pikirannya kembali melayang pada enam bulan silam, saat Kento berpamitan karena telah menyelesaikan studinya sebagai mahasiswa pertukaran pelajar S2 selama dua semester di UI.
"Kamu serius dengan anak Om?" tanya Papah dengan intonasi datar, seperti biasanya.
Kento yang hendak menyeruput teh manis buatan Yuuri seketika terdiam, lalu meletakkan kembali cangkirnya.
"Iya, Om," jawab Kento kemudian.
Bahasa Indonesia Kento sudah lebih fasih dibanding setahun sebelumnya. Jurusan Ilmu Susatra--Bahasa Indonesia--yang diambilnya di UI sudah menujukkan perkembangan yang pesat.
"Usia kalian sudah cukup matang untuk memikirkan hubungan yang lebih serius, kalau kalian memang mau serius," lanjut Papah. Yuuri hanya menarik napas, pelan. "Lebih cepat lebih baik."
Yuuri meremas-remas tangannya, gusar. Bagaimanapun, perbedaan yang ada di antara mereka tak akan begitu saja diterima dengan tangan terbuka oleh Papahnya. Pasti akan ada syarat di baliknya.
"Hanya saja," lanjutnya lagi setelah ruangan kembali hening. "Om tidak akan mengizinkan Yuuri yang mengikutimu, tapi kamu lah yang harus mengikuti kami. Kamu paham maksud Om?"
Yuuri kembali menghela napas. Diskusi semacam ini pernah dibahas sebelumnya oleh Papah. Maksud dibalik ucapan Papah adalah Kento harus mau menjadi muslim jika ingin menikahi putrinya.
Kento yang seperti disidang menegakkan tubuh.
"Saya pernah membicarakan hal ini dengan Yuuri." Kento melirik kekasihnya yang tengah duduk mengkerut di kursi seberang tempat duduknya. "Tapi saya belum membicarakan hal ini dengan keluarga besar saya."
"Lalu?"
"Jika Om berkenan, berikan saya waktu."
"Satu bulan, tiga bulan?"
"Enam bulan," jawab Kento.
Papah terlihat menaikkan alisnya. "Enam bulan?"
Yuuri mulai menggigit-gigit bibir. Andai saja Mamah dan Kireina--adik Yuuri--sudah pulang dari rumah tante Widya dan bergabung di ruang tamu, pasti suasananya tidak akan semenegangkan ini. Entah mengapa, keberaniannya untuk membuka suara dan menengahi keduanya tiba-tiba lenyap. Ia tahu dari awal, hal semacam ini tidak akan bisa dihindarinya sekuat tenaga.
Papah mengetuk-ngetukkan jarinya ke pegangan kursi, sambil berpikir. "Baik," putusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merapal Cinta Tertulis [Completed]
General FictionYuuri harus rela melepaskan cinta pertamanya yang tak mendapat restu, lalu dipaksa menikahi seseorang yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Namun, kehidupan baru yang akan dijalani ternyata benar-benar menyentak kesadarannya. Kehidupan lain, kehidupa...