Senja telah melukiskan semburat warna jingga di langit biru, menjadi background bangunan-bangunan tinggi yang menjulang. Yuuri menyusuri jalan menuju arah stasiun Shibakoen di ruas kanan jalan, seperti hendak mencari portrait ikon kota Tokyo yang bersembunyi di balik gedung pencakar langit. Jalan sudah kembali ramai, dipenuhi kendaraan-kendaraan yang mencari arah pulang. Pejalan kaki juga sudah mulai berduyun di trotoar.
Tiba di depan pintu stasiun, pandangannya terkunci ke arah barat laut. Netranya menatap rindu menara tinggi yang sudah gemerlap cahaya itu, seperti tengah menatap seseorang nun jauh di sana. Landmark light yang berasal dari 180 lampu itu membuat Menara Tokyo terlihat gagah, tapi juga terkesan hangat. Seperti sosok yang sering melintasi pikirannya.
Orang-orang berlalu-lalang di hadapannya. Sesekali ada yang menatapnya heran. Yuuri menepi, memegangi pagar pembatas jalan untuk menopang tubuh. Netranya sudah basah.
Kenapa perasaan ini begitu kuat? Kenapa rindu ini begitu berat?
Seolah sudah dekat dengan seorang yang tengah dicari, tapi sosoknya belum bisa tertangkap oleh kedua netra. Seperti itulah perasaannya kini.
Yuuri cepat menghapus air mata, lalu melanjutkan langkah. Berbelok ke arah timur dan berjalan cepat menuju sebuah restoran halal untuk mengisi perutnya.
Makanan halal merupakan barang langka di sini. Hal yang sangat jarang disyukurinya ketika di Indonesia, karena bisa menemukan makanan halal dengan mudah di mana saja.
***
Yuuri kembali terbangun di kamar yang sama, di hari ketiga setibanya di Jepang. Hari ini dia berencana ke Shibuya, menaiki kereta dari stasiun Tamachi, menemui kerabat dekat Kento di sana.
Bukan pilihan yang tepat jika bepergian dengan kereta di jam berangkat kantor. Walaupun sekarang ia sedang di Jepang, tapi pemandangan khas antara pukul enam sampai pukul delapan pagi di KRL Jabodetabek bisa dijumpai juga di sini. Berjejalan. Maka saat matahari beranjak naik, dia mulai bergegas.
Untuk tiba di stasiun Tamachi, ia harus berjalan melewati stasiun Mita, ke arah selatan Minato-ku. Jalan yang sering dilaluinya dua hari ini, hingga hafal susunan gedung yang berderet dari utara ke selatan lengkap dengan pohon yang menjejerinya itu. Namun sebelum sampai di stasiun, gadis yang mengenakan pashmina warna sepia itu berjalan ke sebuah toko roti halal yang tak jauh dari gerbang utama universitas Keio, gerbang selatan.
Yuuri berhenti dan mengamati sekilas toko yang didominasi oleh kaca besar itu dari arah muka. Beberapa pelanggan terlihat sedang duduk menikmati roti dan isi dalam cangkir minuman yang dipesannya. Beberapa ada yang sambil mengobrol dengan rekan semejanya, mengisi bangku-bangku yang telah disediakan.
Tangannya lalu mendorong pintu kaca yang otomatis disambut dengan ucapan “irasshaimase” oleh pelayan yang berdiri di belakang meja kasir. Beberapa pelayan yang berdiri di belakang rak roti dan sibuk mengisi tray kosong dengan roti yang baru dipanggang dari balik dapur–termasuk yang berdiri di belakang meja kasir–itu menggunakan jilbab dengan wajah yang serumpun dengannya. Membuatnya merasa berada tak jauh dari rumah.
Tak lama kemudian tangannya sudah sibuk memilih roti di rak yang memanjang. Ia juga menyomot roti yang menjadi favoritnya, chickeun curry bun. Kento bilang roti di sini lembut dan fresh, apalagi aroma karinya susah untuk dilupakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merapal Cinta Tertulis [Completed]
Fiction généraleYuuri harus rela melepaskan cinta pertamanya yang tak mendapat restu, lalu dipaksa menikahi seseorang yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Namun, kehidupan baru yang akan dijalani ternyata benar-benar menyentak kesadarannya. Kehidupan lain, kehidupa...