Genki?

1K 115 4
                                    

Sepanjang menyusuri perjalanan menuju stasiun, pikiran Yuuri kembali melayang.

Kenapa sampai terpikir untuk menantang Papah supaya diizinkan mencari Kento? Ia tahu, bukan perkara mudah bisa menemukan seseorang dengan sedikit koneksi yang dimiliki.

Jepang walaupun bukan negara besar, tapi juga bukan negara kecil yang hanya bisa dijelajahi dalam waktu singkat. Ia dan keluarganya memang pernah lima tahun tinggal di Jepang. Tapi itu dulu, empat belas tahun yang lalu. Beruntung ia hanya mencari ke Tokyo dan Kyoto, dua tempat yang tak begitu asing baginya. Namun ia yakin, ada jawaban yang harus dicari dan akan ditemukannya di sini.

Tanpa diduga, Papah yang memiliki sifat keras kepala rupanya bisa dengan mudah diajak bernegosiasi. Ini kesempatan terakhirnya untuk bisa menyelamatkan diri, menyelamatkan hati. Karena, tanpa pergi ke Jepang pun Papah akan tetap memaksanya menerima perjodohan. Lalu sekarang, ia hanya perlu memperggunakan kesempatan sebaik-baiknya, sebebas-bebasnya. Itu saja.

Yuuri marah? Tentu saja marah. Tapi entah marah yang harus ia layangkan kepada siapa. Papah? Laki-laki yang sangat dihormatinya itu telah berkorban banyak hal untuk kebahagiaannya, rasanya tak mungkin jika mengorbankan putrinya demi kepentingan pribadi, walau Papah terkesan tergesa, walau harus memaksa, walau ada sebagian hati yang terluka dan belum bisa menerima.

Kento? Entahlah, bagaimana wujud perasaannya kini pada laki-laki itu. Tak pernah ada kata perpisahan sebelumnya, tiba-tiba ia menghilang tanpa kabar. Membuatnya heran, kangen, marah, dan ... sekaligus khawatir.

Entah sudah berapa lama berjalan, akhirnya ia sampai di stasiun.

Stasiun Tamachi lebih ramai daripada stasiun Mita, sepagi ini. Bisa juga dikatakan sibuk malah. Beberapa penumpang terlihat memadat di peron jalur satu dan dua, menunggu kereta menuju Tokyo. Tak heran jika sempat viral foto bagaimana penuhnya stasiun ini pada pukul 8.30 waktu setempat. Tiba-tiba ia teringat dengan stasiun Manggarai di jam berangkat dan pulang kerja karyawan.

Yuuri sampai di sana tepat pukul sembilan lebih lima menit. Menunggu kereta di peron tiga–Yamanote Line–ke arah Shinagawa. Di stasiun Shinagawa, ia beralih menaiki kereta cepat Shinkansen, lalu dilanjutkan dengan Nara Line di peron sepuluh stasiun Kyoto untuk sampai ke stasiun Inari.

Akhirnya Yuuri sampai di Fushimi Inari Taisha. Kuil yang dibangun ulang pada tahun 1499 itu berlokasi di gunung Inari, Fushimi-ku, Kyoto.

Setelah berjalan melewati gerbang besar bercat merah sebelum memasuki bagian depan kuil, ia kemudian berjalan ke arah kuil yang dipadati pengunjung itu. Tidak hanya ada orang-orang yang sedang berdoa, tapi juga banyak wisatawan yang hanya ingin melihat-lihat, seperti dirinya. Namun Yuuri harus kecewa, setelah beberapa kali memeriksa, wajah itu tak ditemukannya di sana.

Netranya lalu menatap warna merah yang berjejer memanjang di belakang kuil. Senbon torii–seribu gerbang–berpadu dengan warna-warni daun musim gugur; hijau, kuning, jingga, dan merah. Senbon torii memiliki jalan menanjak yang akan berakhir di atas gunung, dua sampai tiga jam ditempuh dengan berjalan kaki jika ingin sampai ke puncaknya. Ia hanya pernah sekali mencapai ujungnya–saat bersama Kento–walau itu bukan kali pertamanya mengunjungi kuil terkenal itu.

Ada beberapa opsi yang ada di kepala Yuuri sekarang. Pertama, dia akan menunggu di kuil utama. Karena kemungkinannya, jika Kento mencapai ujung torii, tak lama lagi ia akan sampai kembali di sana. Tempatnya kini berada. Kedua, Yuuri akan masuk ke lorong yang diapit padat oleh gerbang-gerbang merah itu sampai kuil yang berada di pertengahan jalan. Mungkin Kento berada di sana, sedang berdoa.

Yuuri akhirnya memilih opsi kedua, karena tak tahan berlama-lama menunggu.

Tentunya, opsi tersebut belum bisa menjamin ia dapat bertemu dengan Kento. Tiga jam waktu yang diperlukannya untuk perjalanan dari Tokyo ke kuil itu. Sebuah keberuntungan besar jika ternyata Kento masih berada di sana. Tapi setidaknya, dia akan mencoba.

Disepanjang lorong torii, dia berpapasan dengan banyak pengunjung yang mengenakan yukata, baik turis lokal maupun turis asing, yang mengambil arah pulang dengan jalur sama yang sedang dilaluinya.

Suara aliran air sungai dan denging suara khas binatang hutan meningkahi keheningan dalam kepalanya sepanjang perjalanan. Suasana yang cukup membuatnya kembali rileks setelah perjalanan jauh.

Yuuri menghentikan langkah, mengurut kakinya. Napasnya terengah, menatap tangga menanjak di hadapannya. Sesiang ini perutnya hanya sempat diisi oleh beberapa gigit roti, pantas saja kalau tubuhnya merasa lelah. Ia lalu memutuskan untuk menepi, mencari tempat diantara kuil-kuil kecil di bagian kanan-kiri jalan, yang memiliki jarak cukup panjang diantara torii-torii lain yang tersusun berdempetan. Ia harus mengisi perutnya.

Lima menit berselang, ia lalu melanjutkan perjalanannya melewati beberapa anak tangga sehingga napasnya kembali tersenggal. Dalam keadaan tersenggal itulah bayangan laki-laki itu melintasi netranya. Yuuri terdiam sesaat, terkesima. Setelah mengatur kembali napasnya, ia lalu berbalik.

"Kento!" serunya yang membuat beberapa orang berbalik menatapnya. Termasuk sosok itu, menghentikan langkahnya di tempat.

Ragu, pemuda yang mengenakan kaos hitam itu membalikkan badan. Beberapa detik kemudian ia bergeming.

Dari jarak sekitar lima meter itu lamat-lamat dipandanginya tubuh pemuda yang sesekali terhalang oleh tubuh lainnya yang melintas. Yuuri berjalan mendekat, dengan degup yang semakin menguat.

Pemuda itu hanya berdiri di tempat. Sekilas wajahnya tampak pucat, tapi tak lama kemudian senyumnya merekah, memamerkan geligi khasnya. Gigi kelinci yang selama ini dirindukan Yuuri.

Yuuri ingin membawa kakinya untuk berlari, tapi ia tahan. Ia harus bisa menguasai dirinya, menguasai emosinya.

Kemana saja selama ini? Kenapa menghilang tanpa kabar?

Apa kamu pernah sekali saja merasakan rindu? Aku sering. Setiap hari.

Apa kamu tidak merasa takut kehilanganku?

Pertanyaan-pertanyaan itu hanya ia teriakan dalam hati, lalu menyangkut di tenggorokannya. Menguap bersama atom-atom karbondioksida ke udara. Tak lama, air matanya menggenang di sudut mata.

"Yuuri ...." Pemuda itu kini tersenyum dengan gamang saat jarak mereka hanya sejangkauan dua rentangan tangan.

Hening. Beberapa detik kemudian kepala mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Saling menerjemahkan gestur dan mencari sesuatu yang tersembunyi dari setiap mimik muka.

"Genki?" tanya Yuuri akhirnya. Senyum cantiknya mengembang, bersamaan dengan jatuhnya setetes bening dari sudut mata.

Yuuri menghela napas lega sambil mengusap air matanya. Benar-benar merasa lega. Bagaimanapun, pencariannya sudah berakhir, walau entah apa yang akan terjadi setelahnya. Paling tidak, ia bisa lebih tenang ketika harus menghadapi jalan yang sudah menantinya di depan mata.

Wanita itu tahu, ada konsekuensi atas pilihan yang telah diambilnya.

=======

Genki (Jepang) : sehat

Yukata : kimono, pakaian khas Jepang

Merapal Cinta Tertulis [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang