Fauzan sedang duduk bersila sambil merapal zikir, saat sebuah tepukan di bahu membuat punggungnya menegak.
Laki-laki bermata sipit dengan garis wajah khas Oriental itu menatapnya intens. Kepalanya menoleh ke arah pintu, sebagai isyarat untuk mengajak Fauzan berbicara di luar.Keduanya kemudian bangkit meninggalkan masjid. Kajian Hadits dari Ustaz Wandi sudah selesai sekitar dua menit yang lalu, tapi jamaah masih menunggu waktu isya di masjid. Memilih tempat itu untuk membicarakan urusan pribadi sepertinya kurang tepat, karena bisa jadi ada telinga-telinga lain yang ikut mendengar.
Setelah mencapai selasar, Fauzan menghentikan langkah. "Di sini saja. Sebentar lagi isya." Wajah ramahnya sudah menguap semenjak sore tadi.
Kento kembali menatapnya, seolah sedang mengukur kekuatan. Setelah merasa yakin, ia baru memulai. "Jangan salahkan Yuuri. Ini bukan salahnya. Kami benar-benar tidak sengaja bertemu di sana."
Sontak, Fauzan terkesiap. Rupanya benar dugaannya, kedekatan mereka bukan sebatas orang yang baru mengenal, melainkan hubungan yang lebih dalam. Lebih dalam daripada kenalan ataupun teman.
"Tidak perlu mencampuri urusan rumah tangga orang." Fauzan berusaha tidak terpancing. "Bukankah urusanmu masih banyak yang harus diselesaikan?" Ia memaksakan sebuah senyum.
"Ustaz boleh usir saya, tapi jangan sakiti Yuuri!" Suara Kento tidak terdengar seperti sebuah permintaan.
Fauzan melebarkan mata, seiring darah yang seperti mendidih dalam pembuluhnya. "Tidak ada hubungannya denganmu!" Ia menggemeretakkan giginya, tapi lekas-lekas beristigfar dalam hati.
"Yuuri sudah banyak terluka dan kecewa dengan saya." Laki-laki itu melunakkan suaranya. "Saya tidak ingin dia terluka lagi."
Kepalan di tangan Fauzan mengeras, tapi segera ia kibas. "Yuuri yang sekarang tidak ada kaitannya denganmu. Setiap orang memiliki masa lalunya masing-masing, dan saya tidak akan mempermasalahkan dia memiliki masa lalu seperti apa denganmu."
Benarkah? Tapi kenapa rasanya lebih sakit saat mengetahuinya dengan mata kepala sendiri?
Kento mengusap hidungnya dengan jari. "Ustaz mau berjanji untuk tidak menyia-nyiakannya?"
"Kenapa saya harus berjanji padamu? Saya meminta Yuuri baik-baik pada orangtuanya. Kalaupun harus berjanji, kepada orangtuanya lah orang yang lebih tepat. Saya tidak ada hubungannya denganmu."
Kento membuang lengannya ke samping. "Karena kalau sampai Ustaz membuatnya menangis, saya tidak akan segan-segan merebutnya kembali."
Sudut bibir Fauzan mencuat. "Urus saja urusanmu sendiri." Tangannya menepuk dada pemuda di hadapannya. "Tapi jangan berharap saya akan melepasnya dengan sukarela untukmu."
Lengan Kento hendak menghentikan langkah Fauzan, tapi azan isya yang berkumandang mencegahnya.
***
"Sedang apa?" Fauzan melihat sebuah koper yang baru selesai dikemas. Pemiliknya sedang merapihkan ujung celana sambil berjongkok.
"Saya harus pergi dari sini, bukan?" Laki-laki itu mengangkat kepala dan menatapnya bingung. "Saya tidak ingin kehadiran saya di sini membuat canggung semuanya."
Fauzan mengulas senyum dan berjalan melewati laki-laki itu. Ia memilih duduk di salah satu kasur bertingkat yang sudah ditinggalkan penghuninya sebelum subuh untuk qiyamul lail. Salah satu agenda rutin yang harus diikuti para santri tahfiz adalah 'menghidupkan malam' di masjid sampai waktu syuruq, saat matahari beranjak naik. Fauzan beranjak dari masjid setelah berjamaah subuh dan meminta Ustaz Yusuf menggantikannya mengisi kajian ba'da subuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merapal Cinta Tertulis [Completed]
General FictionYuuri harus rela melepaskan cinta pertamanya yang tak mendapat restu, lalu dipaksa menikahi seseorang yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Namun, kehidupan baru yang akan dijalani ternyata benar-benar menyentak kesadarannya. Kehidupan lain, kehidupa...