Menjelang subuh, pesantren sudah benar-benar hidup dan lebih sibuk dari hari-hari biasanya. Beberapa persiapan akhir mulai dilakukan. Tenda besar yang dipasang semenjak sabtu sore--terbentang menutupi lapang--mulai digelari karpet, serta beberapa tanda penunjuk arah juga sudah dipasang di masing-masing posnya.
Tasyakuran ini bukan hanya milik keluarga besar Fauzan, tetapi juga keluarga besar pesantren. Para santri telah dilibatkan dari awal penyusunan acara sebagai panitia, walau lebih banyak difokuskan pada pembuatan konsep acara. Tujuannya untuk memberikan pengalaman sebagai bekal saat kelak bermasyarakat.
Keluarga besar Fauzan sudah tiba di pesantren semenjak sabtu pagi, sementara keluarga Yuuri tiba sabtu malamnya. Mereka tinggal di rumah-rumah yang disediakan untuk asatiz dan asatizah yang telah berkeluarga. Ada total empat rumah--selain rumah yang ditempati Yuuri, sementara yang baru dihuni hanya rumah yang ditempati Aida beserta suaminya, juga rumah yang ditempati Ustaz Wandi beserta istrinya, selebihnya kosong. Dengan demikian, dua rumah yang lain bisa ditempati keluarga Fauzan dan keluarga Yuuri.
Fauzan kembali berkeliling untuk mengecek setiap detail persiapan akhirnya, mulai dari fasilitas yang ada di dalam masjid hingga persiapan di dalam tenda. Beberapa menit kemudian, seluruh santri telah berkumpul di dalam lapang untuk melakukan briefing terakhir yang dipimpin oleh Fauzan sendiri. Masing-masing penanggungjawab diminta memberikan laporannya.
Briefing ditutup dengan doa dan makan bersama. Yuuri dibantu para asatizah menyiapkan nasi kuning dalam bentuk prasmanan dalam meja memanjang.
Alunan Asmaul Husna dan sholawat mulai dilantunkan oleh beberapa santri putra lewat pengeras suara, menandakan bahwa acara akan segera dimulai. Tidak lama kemudian, seorang santri tahfiz melakukan tasmi' juz 30, membuat suasana semakin syahdu dan khusyu.
Beberapa tamu undangan mulai berdatangan. Para santri yang bertugas sebagai penerima tamu mengarahkan mobil-mobil yang baru masuk untuk segera menuju tempat parkir yang telah disediakan, supaya tidak menghalangi jalan dan membuat kemacetan. Panitia juga telah menyiapkan tempat parkir cadangan di lapangan desa yang berjarak sekitar tiga ratus lima puluh meter dari pesantren, seandainya tempat parkir tidak memadai.
Para tamu pria diarahkan mengisi masjid, sementara para tamu wanita dipersilahkan memasuki ruang aula. Semantara tenda di lapangan dikhususkan untuk jamuan makan siang nanti.
Yuuri berdiri bersama Mamah dan Ambu di depan pintu utara aula untuk menyambut para tamu undangan. Keduanya mengenakan abaya cokelat keemasan, sementara gaun--gamis dengan aksen brokat dan payet emas--Yuuri lebih muda dari warna keduanya. Sesekali ia memperhatikan Teh Sabrina dan Kireina yang memakai gamis senada di pintu selatan.
Benar kata Teh Sabrina, ia harus mempersiapkan diri untuk acara tasyakuran--yang lebih seperti reuni--ini. Semenjak ia berdiri tiga puluh menit yang lalu di sana, tamu yang hadir masih mengular untuk mengantre masuk. Dari penampilannya, semua tamu didominasi oleh keluarga dari kalangan pesantren.
Tepat jam sembilan acara dimulai. Hampir semua undangan sudah duduk rapi. Hanya satu dua yang terlihat menyusul di belakang, lalu mereka segera merapat dalam barisan. Selain bisa menyimak lewat pengeras suara dari masjid, dipasang pula beberapa layar besar untuk menayangkan siaran langsung, karena acara utamanya berlangsung di masjid.
Acara hanya berupa pembukaan, pembacaan ayat suci Al-Qur'an, beberapa sambutan, lalu tausyiah dari salah seorang ulama besar yang juga merupakan sahabat dekat Abah. Setelah doa penutup, para tamu undangan mempersiapkan diri untuk salat berjamaah sebelum akhirnya menikmati jamuan makan siang.
"Teh Yuuri, ini kenalkan teman Aida waktu di mesir, Mbak Fatimah. Kami kenal waktu ambil sanad tahsin dan tahfiz di sana. Mbak Fatimah ini teman satu fakultas A Fauzan juga." Aida dengan bersemangat memperkenalkan temannya kepada Yuuri yang berdiri memperhatikan antrean yang sedang mengantri makan.
"Assalamu'alaikum," sapa Fatimah ramah. Suaranya lembut dan terdengar nyaman di telinga Yuuri. "Kenalkan, saya Fatimah." Wanita itu mengulurkan tangan.
"Wa'alaikumussalam. Saya Yuuri." Yuuri menjabat tangannya, kemudian mereka saling merangkul untuk lebih mengakrabkan.
Dari cerita yang Yuuri simak, Fatimah ini masih single. Yuuri malah langsung menebak jika banyak laki-laki yang sudah mengantre untuk meminangnya. Selain cantik dan ramah, wanita di hadapannya pun memiliki pandangan yang luas dan luwes.
"Ya Allah, Kak, ini hajatan atau acara tablig akbar? Banyak banget yang datang!" Kirei mengalihkan perhatian Yuuri saat Fatimah dan Aida undur diri. Gadis yang menghampirinya dengan sedikit meloncat-loncat itu memamerkan geligi gingsulnya.
"Kata Teh Sabrina, istrinya A Fatih, ini semacam reuni," bisik Yuuri. Mereka kemudian saling melempar senyum, karena tidak mungkin cekikikan di tengah banyak tamu undangan.
"Kirei nggak bisa bayangin akhirnya kakak berakhir di tempat seperti ini," ujarnya. "Maksud Kirei, dalam artian positif." Ia meralat setelah mendapat kernyitan protes.
"Kakak juga nggak nyangka, sih." Yuuri mengajak adiknya menepi ke sebuah tempat sepi. Banyak yang ingin mereka bagi, karena semalam tidak bisa lama mengobrol.
"Bagaimana di sini, Kakak sudah bisa menyesuaikan diri?" Kirei menelisik wajah Kakaknya, seperti hendak menguliti isi kepalanya.
"Ya, begitulah." Yuuri tidak tahu kalimat seperti apa yang mampu mewakili jawabannya dengan baik. "Di sini memang beda, tapi ... Kakak jadi banyak belajar." Sebuah senyum manis terselip di bibir tipisnya.
"Kakak ikut belajar juga? Maksud Kirei, benar-benar ikut belajar agama?"
Yuuri mengangguk. "Sering ada kajian dalam waktu-waktu tertentu di masjid. Kakak selalu berusaha menyempatkan ikut menyimak, walau terkadang hanya dari dalam kamar. Rasanya, apa yang Kakak ketahui selama ini tidak ada apa-apanya. Pengetahuan agama Kakak masih terasa dangkal, apalagi soal baca Al-Qur'an dan hapalan." Yuuri menghela napas berat. "Berat rasanya ketika bertemu banyak santri dan mereka menaruh hormat, apalagi saat mereka mencium takzim tangan Kakak. Rasanya Kakak ingin berbalik mencium tangan mereka."
Kirei menggenggam tangan kakaknya penuh empati. "Pasti ada kelebihan dalam dari diri Kakak, hingga Allah memilihkan Kakak sebagai pendamping hidup Kak Fauzan. Pasti." Gadis itu tersenyum, memberikan semangat. "Kakak tidak boleh merasa rendah diri, apalagi putus asa," lanjutnya. "Eh, tapi Kak Fauzan selama ini baik sama Kakak, kan?"
Yuuri mengangguk. "Tentu. Dia--"
"Kirei, ternyata di sini! Jangan gangguin dulu kakakmu." Mamah berseru beberapa meter dari tempat mereka duduk, sebelum akhirnya menghampiri. "Yuuri, dicariin Ambu. Katanya ada yang mau dikenalin sama kamu." Mamah memberikan senyum sebelum Yuuri mengangguk dan berdiri.
"Kita lanjutin lagi nanti, ya?" Yuuri mengedipkan mata yang dijawab dengan isyarat oke oleh tangan adiknya.
Mamah menuntun Yuuri untuk menemui besannya yang tengah mengobrol dengan seorang wanita paruh baya. Dari cara Ambu memperlakukan tamunya, jelas sekali jika ia menghormati wanita yang ada di hadapannya itu.
"Nah Nyai, ini menantu saya. Istrinya Fauzan." Ambu memperkenalkan. "Yuuri, ini Nyai Ahmad. Istrinya Kiyai Ahmad Mustofa, pemilik pesantren tempat Abah mondok dulu." Panggilan Nyai merupakan panggilan kehormatan untuk istri pimpinan pesantren.
Yuuri segera meraih tangan wanita itu dengan hati-hati sambil menciumnya.
"Masya Allah, cantik sekali menantunya, Yun." Nyai Ahmad menyebut Ambu dengan panggilan akrab. "Kuliah di Mesir kayak Fauzan juga?" tanyanya tanpa berniat menyinggung.
"Bukan, istri Fauzan ini dokter gigi." Ambu menjelaskan.
"Alhamdulillah. Bisa saling melengkapi, ya. Semoga menjadi dokter gigi sholehah yang hafidzoh." Ia mengelus-ngelus punggung Yuuri sambil merapalkan doa kebaikan, yang kemudian mereka aminkan.
Setelah pamit undur diri dari keduanya, hati Yuuri mencelos. Kehadirannya di tempat itu seperti tidak pada tempatnya, walau tidak ada yang terang-terangan berpendapat demikian. Setidaknya, itulah kesimpulan yang ia tarik setelah menyapa--setidaknya--sepuluh kenalan Ambu.
Matanya menyapu seisi ruangan dengan nanar, memperhatikan para tamu yang saling bercengkrama satu sama lain sambil menikmati hidangan, seperti larut dalam dunia mereka. Bagi Yuuri sendiri, jelas jika ini bukanlah dunianya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merapal Cinta Tertulis [Completed]
General FictionYuuri harus rela melepaskan cinta pertamanya yang tak mendapat restu, lalu dipaksa menikahi seseorang yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Namun, kehidupan baru yang akan dijalani ternyata benar-benar menyentak kesadarannya. Kehidupan lain, kehidupa...