Yuuri menyesali keputusannya untuk duduk menyamping. Walaupun ia memakai rok, tapi ada celana panjang yang akan menutupi kakinya seandainya ia memilih duduk biasa. Tadinya ia hanya merasa canggung karena baru pertama kali dibonceng.
Motor yang dikendarai Fauzan memang tidak melaju kencang, tapi jalannya yang cukup mendaki membuat Yuuri harus melingkarkan sebelah tangan ke pinggang suaminya--jika tidak ingin terjatuh, sementara sebelah lainnya berpegangan pada besi pembatas jok untuk mengimbangi.
"Masya Allah," komentar Yuuri sambil mengatupkan kedua tangan di depan mulut, setelah Fauzan memarkirkan motornya. Perjalanan mereka kurang dari sepuluh menit untuk sampai di ujung jalan beraspal. Setelahnya, adalah jalan berbatu yang hanya bisa dilalui oleh motor trail karena jalannya yang cukup curam.
Yuuri bisa melihat bentang pesawahan dan perkebunan yang menghijaukan mata berpadu dengan semburat senja dari tempatnya berdiri. Ia bahkan bisa melihat pesantren yang mulai diselimuti kabut.
"Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya." Fauzan mengutip surat Fusilat ayat 10 dengan bola mata yang melebar. Baginya, tinggal dekat dengan alam seperti ini membuatnya merasa lebih dekat dengan Sang Pencipta.
"Bagaimana kamu bisa menemukan tempat seperti ini?" Yuuri menoleh. Fauzan masih mengembus napas kuat dengan tangan terbentang, seolah udara dingin tidak mengusiknya.
"Dari tempat inilah, delapan tahun lalu saya putuskan untuk membangun pesantren." Fauzan mengarahkan telunjuk pada bangunan yang sebenarnya sudah Yuuri kenal itu, seperti mengalihkan pertanyaan. "Tanah itu tadinya hanya kebun sayur seperti kebun-kebun di sebelahnya, warisan almarhum kakek buyut."
Yuuri mengangguk, kemudian merapatkan jaketnya sambil menahan dingin.
"Awalnya saya mendapat banyak tentangan. Konsep eco-pesantren yang saya usulkan tidak disetujui keluarga besar."
"Tapi kamu tetap mempertahankannya?"
Fauzan mengangguk. "Saya sudah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan tempat ini." Laki-laki itu mengembuskan napas yang mengembun. "Kalau kamu, bagaimana? Apa sudah mulai menyukainya?"
"Tempat ini memang menakjubkan." Yuuri menjawab dengan cepat. "Walau ada tempat yang pernah membuatku jatuh cinta setengah mati, di tempat lain." Ia mendongakkan kepalanya memandang langit. "Sayangnya, sekarang aku sudah di sini. Mau bagaimana lagi?" Ia menatap Fauzan sambil menyelipkan sebuah senyum. "Mungkin sebentar lagi aku akan mulai menyukainya."
Sejenak mereka terdiam, hanya ada suara hewan yang memecah sunyi.
"Biasanya saya ke tempat ini jika sedang perlu menyegarkan pikiran." Fauzan berjalan ke arah sisi tebing dan mengedarkan pandang. "Rasanya seperti menyatu dengan alam. Belajar lewat ayat-ayat Kauniyah-Nya membuat kita merasa lebih kerdil, tidak bisa menyombong. Melihat bagaimana pohon-pohon itu bisa tumbuh tinggi menjulang, tapi akarnya tetap menancap kokoh ke tanah. Seharusnya, seperti itu juga lah kita hidup. Semakin tinggi mencapai impian, semakin tertancap kuat pula keimanan dalam hati.
"Bahkan dari ilalang yang tumbuh di pinggiran saja kita bisa mengambil hikmahnya. Sebab, tidak ada ciptaan Allah yang sia-sia di dunia ini. Ilmu kita saja yang mungkin belum sampai untuk memaknai dan mengambil manfaat darinya." Fauzan kembali diam.
"Kalau sekarang, juga sedang perlu menyegarkan pikiran?" Yuuri menoleh. Senyumnya masih belum hilang.
Fauzan bergumam dengan tangan kanan memegang dagu. "Mungkin, saya sedang ingin menikmati kecantikannya." Fauzan menatap Yuuri sekilas, lalu memalingkan pandangannya pada hamparan hijau yang mulai tertelan kabut. "Mari pulang, sebentar lagi magrib." Fauzan beranjak.
"Matahari terbenamnya?" Yuuri bergeming, sedikit kecewa. Ia kira mereka akan menikmati sunset di sana.
"Kita lihat matahari terbenam di perjalanan pulang saja, ya?" Fauzan kini terkekeh. "Aida bisa melotot dan marah jika tahu kita menyelinap keluar. Ba'da magrib ini ada kajian."
Yuuri memiringkan kepalanya, alih-alih naik ke atas motor. "Kamu takut dengan Aida?"
Senyum Fauzan merekah. "Saya hanya takut pada Allah." Sejurus kemudian senyumnya hilang, karena wajah Yuuri sudah berubah serius.
"Maaf, hanya bercanda. Aida tidak sehoror itu. Dia justru yang membuat pesantren bisa berjalan seperti sekarang, terlebih saat saya harus bolak-balik ke luar kota mengisi kajian." Fauzan mengernyitkan dahinya. "Kenapa?"
Yuuri menggeleng, lalu naik ke atas motor tanpa protes lagi.
***
"Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh."
Jawaban salam menggema. Masjid yang didominasi oleh para santri tahfidz--juga murid setara Sekolah Menengah Pertama--itu sudah duduk rapi merapatkan diri, bersiap menyimak kajian. Jamaah perempuan menempati lantai dua dan tiga.
Fauzan membalik halaman kitab yang ada di hadapannya, sambil sesekali berbisik pada seorang ustaz yang duduk di belakang kursi, meyakinkan bahwa ayat yang terakhir dibahasnya pekan lalu tidak salah. Setelah yakin, Fauzan mulai memanjatkan hamdallah, sholawat, serta doa untuk kelancarkan lisan, kemudian melanjutkan dengan membaca sebuah ayat.
“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik”.
Fauzan menarik napas panjang setelah membacakan arti dari ayat yang dibacanya tadi, surat Al-Mu'minun ayat 14. Sesaat matanya menyapu masjid, mengamati jamaah yang mulai kasak-kusuk sambil menahan senyum.
"Kenapa pada senyam-senyum dari tadi?" Fauzan menunjuk barisan paling depan, dengan suara santai. "Mau segera dicarikan jodoh?"
Masjid menjadi riuh dengan tawa.
"Para santri jangan minta dicarikan jodoh dulu, ya. Selesaikan dulu hafalan dan sekolahnya." Suasana kembali menghangat dengan selorohan yang dilontarkan Fauzan. Ia kemudian mengambil air minum yang sudah disediakan di atas meja. "Saya minum dulu, gara-gara tadi disenyumin," ujarnya yang juga mengundang tawa.
Setelah masjid kembali senyap, Fauzan merapal istigfar, lalu melanjutkan dengan membaca tafsir sebelum memberikan penjelasan atas ayat tersebut.
Sepulang dari arah bukit tadi, Yuuri bergegas wudu dan mengekor Fauzan ke masjid untuk salat berjamaah. Selepas salat rawatib dan membaca zikir, ia memutuskan untuk duduk mengikuti kajian.
"A Fauzan hari ini kelihatan tegang, tapi wajahnya merona. Lucu," bisik Aida, menggoda Yuuri. "Apa karena tahu Teteh ikutan menyimak?"
Yuuri tersenyum sambil menaikkan bahu. Apa benar malam ini Fauzan terlihat tegang? Fauzan tadi memang sempat mencairkan suasana dengan sedikit melucu. Melucu? Ya, sejenis itu lah. Tadi Yuuri sempat ikut tersenyum juga bersama jamaah lainnya di lantai dua itu. Namun, apa benar Fauzan sedikit terganggu karena kehadirannya?
"A Fauzan itu dari kecil tahunya cuma belajar, nggak kenal sama yang namanya cinta," Aida menambahkan. "Jadi wajar kalau sekarang terlihat sedikit aneh. Kami saja baru bisa mulai akrab setelah sama-sama kuliah di Mesir, padahal dari kecil rumah kami berdekatan."
Yuuri menoleh. "Aida cukup mengenal baik Kakang?"
Aida mengerjap, seperti ada yang janggal. "Tidak begitu dekat juga, sih, tapi diantara sepupu perempuan lainnya, A Fauzan memang lebih dekat dengan saya. Kenapa, Teh?"
"Tidak." Yuuri tersenyum, lalu mengalihkan fokusnya lagi pada kajian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merapal Cinta Tertulis [Completed]
Fiksi UmumYuuri harus rela melepaskan cinta pertamanya yang tak mendapat restu, lalu dipaksa menikahi seseorang yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Namun, kehidupan baru yang akan dijalani ternyata benar-benar menyentak kesadarannya. Kehidupan lain, kehidupa...