"Saya mau menjamu tamu," ujar Fauzan, saat masuk ke dalam kamar dan mendapati Yuuri yang masih lengkap memakai mukena sambil mendekap Al-Qur'an.
Malam ini Yuuri memutuskan untuk salat di dalam rumah. Ia tidak ingin melihat Kento di masjid, walau sempat mendengar suara yang dikenalinya itu terbata menyebutkan dua kalimat syahadat, lewat pengeras suara. Fauzan yang tadi menuntunnya, selesai salat magrib berjamaah.
"Masak?" Fauzan kembali bertanya, lalu mengelus kepala Yuuri yang masih tercenung tanpa memberikan jawaban. Elusan itu membuat Yuuri terkesiap.
"E--itu tadi masak. Ada di meja."
"Cukup untuk 6 orang?"
"Enam orang?" Mata Yuuri membeliak, seperti baru tersadar dari hempasan lorong lamunan panjang.
"Shiddiq juga belum makan tadi di jalan. Suami Aida dan Ustaz mau saya ajak makan bareng sekalian, termasuk tamu pesantren yang baru bersyahadat tadi." Senyum Fauzan melebar, membuat kepala Yuuri terasa berdenyut.
"Nanti saya minta tolong Shiddiq beli Nasi Padang di depan saja kalau lauknya nggak cukup. Minta tolong disiapkan saja tempatnya, ya, untuk ba'da isya nanti." Fauzan mendaratkan lagi tangannya di pucuk kepala Yuuri, lalu beranjak dari kamar dan kembali ke masjid.
Tubuh Yuuri yang sedari tadi mematung, seketika ambruk di tempat sujud, begitu Fauzan menutup pintu kamar. Keringat dingin menyerangnya seketika.
Makan malam di rumah?
Tidak lama kemudian Yuuri mulai merutuki diri, kenapa tadi ia memilih bungkam. Bukankah seharusnya Yuuri memberi tahu Fauzan tentang semuanya? Ia segera beristigfar.
Dalam hatinya, Yuuri masih merasa gamang dan terus menimbang. Segera mengaku pada Fauzan bahwa laki-laki itu yang pernah ia kejar sampai ke Jepang, atau cukup merahasiakannya hingga laki-laki itu pergi? Namun, bagaimana jika sampai Fauzan tahu dari orang lain? Bukankah ia akan lebih terluka? Dari gelagatnya, Fauzan memang seperti belum mengetahui apa pun tentang Kento. Atau, apa mungkin Fauzan sengaja menutupinya?
Yuuri mengurut kening. Segala kemungkinan itu membuat kepalanya semakin pening. Satu keputusan harus segera diambilnya, tidak boleh berlarut. Ia tidak bisa hidup dalam suasana tegang seperti ini terus-menerus. Memberi tahu Fauzan, apapun reaksinya nanti, adalah pilihan yang sepertinya lebih aman.
Bagaimana Kento bisa sampai ke pesantren dan mau berikrar syahadat di sini? Itu terasa janggal jika bukan sengaja direncanakan. Bukankah dulu aku dan Papah tidak berhasil meyakinkannya untuk memilih Islam yang menjadi syarat untuk menikahiku? Apakah laki-laki itu yang kini sedang berpura-pura? Yuuri mengerang kesal, kepalanya masih belum bisa berpikir jernih.
Hal yang paling membuat Yuuri geram adalah, kenapa laki-laki itu bisa memilih waktu yang tidak tepat seperti sekarang ini. Apakah memang Kento sengaja?
Selama empat bulan terakhir, ia telah berhenti memikirkan laki-laki itu. Ia tidak ingin mengetahui kabarnya sama sekali. Oleh sebab itu, Yuuri memblokir nomor dan semua akses yang dapat menghubungkannya dengan Kento, semenjak ia pulang dari Jepang. Baginya, Kento hanyalah masa lalu.
***
Suara Fauzan terdengar dari depan halaman, bersama beberapa suara lainnya. Yuuri yang waktu itu masih menyusun piring dan sendok bergegas angkat kaki dari dapur. Bertemu Kento dalam situasi seperti ini pasti hanya membuat suasana menjadi canggung.
Rombongan Fauzan berpapasan dengan Yuuri di pintu dapur, tapi wanita itu buru-buru menundukkan wajah dan segera masuk ke dalam ruang baca untuk menyelamatkan diri. Beruntung Fauzan tidak sempat mengamati wajah pasi istrinya saat beranjak.
Sekilas ekor mata Yuuri menangkap sosok Kento yang berjalan masuk, saat ia setengah berlari menuju sekat pembatas di ruang tengah. Dadanya tiba-tiba bergemuruh, seluruh kaki dan tangannya gemetaran, seperti seorang maling yang tengah tertangkap basah. Kehadiran Kento hari ini bagai serangan dadakan yang membuatnya benar-benar ketakutan.
Detik demi detik yang Yuuri lalui di dalam kamar terasa begitu melambat. Ia berdiam diri dan tidak melakukan hal apa pun di sana. Sesekali suara percakapan dan tawa dari arah dapur membuat telinganya awas.
Enam puluh menit berlalu, suara dari arah dapur itu menghilang dan beranjak ke arah ruang tamu. Beberapa ustaz terdengar pamit undur diri. Shiddiq terlihat sedang merapikan meja, saat Yuuri keluar mengintip.
Rupanya Fauzan tengah mengajak Kento mengobrol di ruang tamu, membuat Yuuri tidak bisa beranjak jauh dari kamar. Ada suara suami Aida terdengar di antara suara keduanya. Mereka sedang mendiskusikan program apa saja yang akan Kento dapatkan selama dua pekan ke depan.
***
"Kamu sakit?" Punggung tangan Fauzan menyentuh dahi Yuuri. Wanita itu ketiduran dengan pakaian yang masih lengkap dengan kerudung dan kaos kaki, saat menunggu tamu suaminya pamit.
"Eh, sudah selesai?"
"Ya, tadi kami mengobrol dulu sebentar. Maaf. Istirahat saja kalau tidak enak badan." Fauzan tersenyum ke arahnya dan menahan Yuuri untuk tidak bangkit.
"Kakang pasti lelah setelah perjalanan jauh tadi siang." Yuuri memaksa bangun dan memeluk tubuh Fauzan yang duduk membelakanginya di atas tempat tidur.
"Tidak," jawab Fauzan singkat. Tangannya mengelus kepala Yuuri yang kini bersandar pada bahunya. "Hari ini justru membahagiakan, bisa mendapatkan saudara seiman yang baru. Kamu tahu, dari dulu saya selalu merasa iri dengan orang yang baru berikrar syahadat." Fauzan menoleh sambil tersenyum. "Karena, Allah telah mengampuni dosanya di masa lalu. Guru saya pernah bilang, kalau mau melihat wajah yang tidak memiliki dosa seperti bayi, maka lihat saja orang yang baru bersyahadat."
Yuuri melepaskan pelukannya dengan napas yang tertahan. Apa yang telah disusunnya tadi dalam kepala, seketika menguap. Keberaniannya menyusut.
Fauzan kemudian membaca sebuah ayat dalam surat Al-Anfal, disusul dengan artinya.
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: ‘Jika mereka berhenti (dari kekafrannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang telah lalu; dan jika mereka kembali, sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu.”
Fauzan mengambil napas sejenak. "Bukan berarti kita tidak bersyukur karena terlahir dari orangtua dan keluarga muslim," lanjutnya lagi. "Karena belum tentu kita bisa melewati semua ujian yang mereka alami. Justru, kita harus lebih bersyukur dan merasa malu jika pernah merasa kufur. Allah lebih memudahkan jalan kita. Perjuangan mereka untuk sampai di titik itu tentunya tidaklah mudah."
Yuuri sudah kehilangan kata-katanya. Kepalanya pun tidak bisa lagi mencerna apa yang dikatakan oleh Fauzan selanjutnya. Di pikirannya kemudian muncul kelebatan dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.
Apa yang harus dilakukannya sekarang? Berpura-pura tidak mengenal Kento dan cukup menghindari pertemuan dengannya saja? Jika Kento benar-benar datang ke sini dengan tujuan baik dan tidak memiliki niat untuk mengusiknya, seharusnya laki-laki itu tidak perlu memberitahu Fauzan apa-apa mengenai hubungan mereka di masa lalu. Kento juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kesempatannya mempelajari Islam. Seperti kata Fauzan, waktunya di sini hanya dua pekan.
Kalau begitu. Yuuri akan memberinya kesempatan. Setelah memungkinkan, ia baru akan memberitahu Fauzan. Atau bahkan, ia tidak perlu memberitahu suaminya sedikitpun.
Begitukah seharusnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Merapal Cinta Tertulis [Completed]
General FictionYuuri harus rela melepaskan cinta pertamanya yang tak mendapat restu, lalu dipaksa menikahi seseorang yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Namun, kehidupan baru yang akan dijalani ternyata benar-benar menyentak kesadarannya. Kehidupan lain, kehidupa...