"Tadinya hanya sebuah pesantren tahfidz khusus putra," jelas Aida sambil membawa Yuuri berkeliling. "Baru berdiri sejak tujuh tahun lalu. Kamar santri dan kelasnya ada di belakang masjid. Kami masih membiarkannya seperti semula."
"Jadi, boarding school-nya yang baru?" Yuuri mengekor di belakang Aida. Sekarang mereka berjalan menuju lapang olahraga yang memisahkan pondok putra dan pondok putri.
"Iya. Kalau tidak ada halangan, tahun ini lulusan pertamanya."
"Tapi siswanya sudah sebanyak itu?" Yuuri menghentikan langkah.
Aida tersenyum melihat Yuuri yang kebingungan. "Pesantren ini pernah diliput media sebagai salah satu pesantren tahfidz terbaik, selain profil A Fauzan sebagai seorang hafidz yang ikut terkenal semenjak mengisi kajian di salah satu saluran televisi. Itulah mengapa Daarul Qur'an lebih dikenal sebagai pesantren daripada boarding school.
"Sebagian besar orangtua yang menitipkan putra-putrinya di sini adalah jamaah pengajian Aa Fauzan. Nah ini klinik yang nanti bisa dipakai Teh Yuuri sebagai tempat praktek. Ada satu ruangan kosong yang akan difungsikan sebagai ruang periksa dokter gigi." Aida menghentikan langkah dan menunjuk sebuah bangunan di antara aula dan lapangan. "Dua orang dokter umum yang bertugas secara bergiliran di sini menempati ruangan paling depan. Prakteknya dari jam sembilan pagi sampai jam tiga sore, tapi kalau ada situasi darurat mereka biasanya dipanggil dan bisa datang jam berapa saja. Mau masuk dulu?"
Yuuri menggeleng. "Selepas subuh tadi Kakang sudah mengajak melihat-lihat."
"Kakang?" Aida mengernyit sebelum melanjutkan turnya.
***
"Sebaiknya hijab tetap dipakai walau sedang di dalam rumah." Fauzan membalikkan badan karena sesaat suasana berubah canggung. Yuuri gelagapan mendapati Fauzan masuk ke dalam dapur saat ia menanggalkan kain kerudungnya di atas sandaran kursi makan. "Jika tidak keberatan," lanjutnya. "Karena bisa saja ada santri yang lupa kalau saya sudah menikah, lalu nyelonong masuk ke dapur. Kecuali area ruang baca dan kamar, insya Allah aman. Dua tempat itu dari awal memang tidak boleh dimasuki oleh orang lain."
Fauzan menarik sebuah kursi dan duduk di atasnya. Selepas berjalan-jalan melihat suasana pesantren, Yuuri memasak untuk makan siang mereka.
"Ternyata Neneng bisa masak."
Kedua sudut bibir Yuuri mencuat. Entah karena pujian Fauzan atau karena mendengar panggilan itu. Ternyata lucu juga saat Fauzan memanggilnya dengan sebutan 'Neneng'.
"Tadi Aida cerita." Kalimat Fauzan menggantung, saat Yuuri datang membawakan piring dan sendok.
"Cerita?" Kamu kupanggil Kakang?
"Tadi sudah selesai lihat-lihat semua, kan? Eh, cukup. Nasinya tidak perlu terlalu banyak." Fauzan mengalihkan. Ia menerima piring yang sudah Yuuri isi dengan nasi.
"Pertumbuhan pesantrennya termasuk pesat, ya?" Yuuri sudah duduk dan menyendok sayur lodeh labu siam yang dipetiknya dari halaman belakang.
"Alhamdulilah, atas izin Allah." Fauzan mengangguk saat Yuuri menawarkan Ikan Mas goreng. Di halaman belakang rumah Aida terdapat kolam ikan. Tadi pagi suaminya mengambil beberapa ekor untuk digoreng.
"Sebelum magrib ada Halaqoh Qur'an sore di masjid. Para santri akan menyetorkan ayat yang mereka hapalkan saat Halaqoh Qur'an pagi selepas subuh, pada asatiz dan asatizah. Mau beragung?"
Yuuri menggeleng. "Nanti saja. Aku masih jadi pengamat di sini."
"Atau, setiap sabtu pagi ada Halaqoh Qur'an untuk pengajar. Sebaiknya bisa ikut."
"Kamu yang ngajar?" Yuuri masih canggung memanggil dengan sebutan 'Kakang' di hadapan orangnya langsung.
"Ya." Fauzan menjawab setelah menelan makanannya. "Ada kajian kitab Jazariyyah, salah satu kitab yang dipakai sebagai rujukan ilmu tajwid, dilanjut dengan talaqqi," jelasnya. "Talaqqi itu metode yang dipakai Rosulullah untuk mengajarkan Al-Qur'an kepada para Sahabat secara langsung," sambung Fauzan ketika Yuuri mengernyit. "Para murid harus memperhatikan gerakan mulut gurunya, bukan hanya dengan mendengar."
"Tidak ada setor hafalan?"
Fauzan menggeleng.
"Boleh, nanti aku coba," jawabnya. Yuuri tidak yakin bisa mengikuti alur yang ada di sini.
"Kalau mau ikut muroja'ah atau setoran hapalan pengajar, bisa sama Aida. Itu setiap hari--"
"Cukup!" potong Yuuri.
Fauzan menaikkan kedua alisnya. "Kenapa?"
Yuuri tidak menjawab. Air wajahnya berubah.
***
Yuuri sedang memeriksa dental unit yang baru datang, ketika suara para santri dan murid bergema seperti dengungan lebah. Ia melirik sekilas ke arah masjid. Sekarang jadwal Halaqoh Qur'an seperti yang Fauzan jelaskan tadi. Hatinya menghangat melihat pemandangan itu. Beberapa kelompok terlihat membuat lingkaran-lingkaran kecil di selasar masjid.
Sebenarnya ia tertarik untuk bergabung, tapi ada hal penting lainnya yang harus ia urus lebih dahulu. Oleh karena itu, sedari tadi matanya terus melirik ke arah sana.
Fauzan keluar dari dalam masjid dan mendekatinya, bertanya apakah kursi khusus untuk memeriksa gigi pasien itu sudah sesuai dengan pesanan. Yuuri yang sedang berjongkok sambil menelitinya itu berdiri, kemudian mengangguk. Tidak lama kemudian, alat itu dipindahkan ke dalam ruangan yang akan menjadi tempat prakteknya nanti. Sudah ada sebuah lemari, meja, dan beberapa kursi di sana.
"Besok sudah bisa mulai dirapihkan." Fauzan berjalan ke arah lemari yang akan dijadikan sebagai tempat penyimpanan peralatan dan obat-obatan. Beberapa pemuda yang membantu memindahkan dental unit itu sudah lebih dahulu keluar. "Masih ada yang kurang?"
"Beberapa peralatan dan obat sudah kubawa dari tempat kerja yang lama. Sisanya datang menyusul, beberapa masih kupesan. Sejauh ini stoknya masih aman. Eh, kalau nanti dindingnya kupasangi wallpaper, nggak apa-apa, kan?"
Fauzan mengangguk. "Disesuaikan saja, supaya nyaman."
Yuuri mundur dari tempatnya berdiri. Sayangnya, ia tidak melihat ke belakang, sehingga tubuhnya oleng menabrak Fauzan yang berdiri tidak jauh darinya. Tangan Fauzan refleks menangkap Tubuh Yuuri. Mata mereka beradu pandang sekian detik, menjalarkan rona merah di pipinya.
Suasana kembali canggung. Yuuri merapikan kembali jilbab setelah tubuhnya kembali seimbang, sementara Fauzan mengibas-ngibaskan tangannya tidak jelas ke udara.
"Maaf," ucap mereka berbarengan.
Senyum Fauzan mengembang, berusaha mencairkan suasana. Yuuri membalas senyumnya, lalu mendahului Fauzan keluar dari sana. Tempat itu mendadak terasa panas, hingga wanita itu harus mengipasi dirinya dengan tangan.
Fauzan mengekor. Wajahnya masih dihiasi dengan senyum yang sama.
"Neng," panggil Fauzan setelah keluar dari klinik.
Yuuri menoleh, menghentikan langkah.
"Kita jalan-jalan sebentar, yuk. Lihat kebun dan sawah sebelum magrib." Laki-laki itu menyusul. "Pakai jaket yang lebih tebal, ya." Ia menepuk bahu istrinya. Seharian ini Yuuri memang tidak melepaskan mantelnya, walaupun siang.
"Boleh." Yuuri akhirnya menjawab setelah menimbangnya cukup lama.
Ia bergegas mengambil jaket yang paling tebal dari dalam lemari, kemudian menyusul Fauzan yang sudah lebih dulu sampai di parkiran motor.
"Pakai sarung? Serius?" Yuuri tergelak menyadari Fauzan masih mengenakan sarungnya.
"Nggak apa-apa. Sebentar saja, kok. Sambil lihat matahari terbenam. Kenapa?"
Yuuri mengibas-ngibaskan tangannya ke atas, menahan tawa. "Sebentar, aku jadi keingetan sama Kirei." Ia menghapus air matanya di sela tawa. "Dia bakalan nggak bisa berhenti ketawa kalau lihat kamu begini. Katanya aku bakalan nikah sama ustaz bersarung. Tadinya aku nggak percaya, tapi lihat kamu pakai sarung naik sepeda motor kayak gini, aku baru percaya."
Yuuri menutup mulutnya, masih berusaha meredam tawa. Fauzan hanya mengamatinya sambil meringis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merapal Cinta Tertulis [Completed]
General FictionYuuri harus rela melepaskan cinta pertamanya yang tak mendapat restu, lalu dipaksa menikahi seseorang yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Namun, kehidupan baru yang akan dijalani ternyata benar-benar menyentak kesadarannya. Kehidupan lain, kehidupa...