"Maksudnya?" Yuuri membetulkan posisi duduknya.
"Papah menyelamatkan nyawa saya waktu itu. Jika saja dalam satu jam tidak ada orang yang menolong, nyawa saya bisa terancam. Pendarahan berat akibat senjata tajam membuat saya kehilangan banyak darah."
"Korban kejahatan?" Mata Yuuri membelalak lebar.
"Ya." Fauzan menghela napasnya berat. "Tiga hari sebelum mengikuti seleksi beasiswa Al-Azhar tahap kedua di kedutaan, motor saya dibegal sekelompok orang di jalan menuju rumah saudara Abah di Cilandak. Jalanannya memang cukup sepi, karena merupakan jalan pintas." Seakan rekaman peristiwa itu kembali berputar dalam kepalanya, Fauzan bergidik. "Saat itu saya pikir waktu saya sudah tiba, malaikat Izroil akan segera menjemput. Menanti datangnya pertolongan seperti mengharapkan hal yang mustahil. Jalanan benar-benar sepi. Saya hanya bisa berdoa sekuat tenaga supaya Allah menurunkan pertolongan, atau setidaknya ada orang yang akan menemukan mayat saya nantinya. Dalam keadaan setengah sadar, saya bernazar untuk membalas budi orang yang akan menyelamatkan jika masih diberi kesempatan untuk hidup."
"Lalu Papah lewat jalan itu?"
Fauzan mengangguk. "Saya langsung dibawa ke rumah sakit dengan mobil dan jatuh pingsan saat di perjalanan. Begitu sadar keesokan harinya, perawat bilang kalau orang yang membantu saya sudah pulang dan sudah menyelesaikan semua biaya administrasi."
"Lalu?"
"Saya berniat menghubungi Papah untuk berterima kasih, tapi hanya mendapatkan nama lengkapnya tanpa nomor telepon di bagian administrasi. Mereka tidak memberikannya. Mungkin Papah yang meminta. Tapi, berkat Papah, saya akhirnya bisa mengikuti seleksi dan mendapat beasiswa Al-Azhar."
"Jadi, hanya untuk membalas budi?" Yuuri bergumam. "Bagaimana kamu bisa bertemu Papah lagi?"
"Dua tahun lalu saya kembali teringat dengan kejadian itu dan berusaha keras mencari keberadaan Papah. Bersyukur mesin pencari bisa menemukan nama Papah di salah satu situs resmi kampus. Saya langsung datang menemuinya dan meyakinkan bahwa orang yang dulu menolong saya adalah beliau."
"Papah langsung mengaku?"
Fauzan menggeleng sambil menyungging senyum. "Awalnya tidak. Tapi setelah didesak dan saya bilang jika mengingat wajah Papah walau dengan samar, akhirnya Papah mau mengaku.
"Papah tidak mau mengungkit lagi kejadian itu. Katanya beliau sudah melupakannya. Waktu itu kalau tidak salah, Papah juga sedang mencari putrinya yang lari dari rumah. Kamu." Fauzan sengaja menekankan suaranya pada kata terakhir. "Beliau panik dan mencari ke beberapa rumah teman dekatmu. Saat menemukan saya terkapar di pinggir jalan yang sepi, Papah berharap amalnya menolong saya, mampu membuatmu pulang ke rumah dengan selamat. Dan ternyata, katanya malam itu kamu sudah tidur di rumah saat Papah pulang."
Yuuri menurunkan pandangannya dari wajah Fauzan ke kedua ibu jari yang bertaut di pangkuan. Ia ingat kejadian itu, saat ia dan Papah bertengkar hebat. Papah bilang Yuuri boleh pergi saja dari rumah jika tidak mau diatur. Itu karena Yuuri yang bersikeras tidak mau memutuskan Kento.
"Saya mendesak Papah untuk menerima sejumlah uang yang dikeluarkan untuk biaya rumah sakit waktu itu dan selalu Papah tolak. Tapi setelah beberapa kali saya coba menemuinya, akhirnya Papah meminta saya untuk mencarikan calon suami untuk putrinya, calon suamimu. Papah bilang jika kamu masih berhubungan dengan laki-laki yang waktu itu ditentangnya."
Ada suara helaan napas yang terdengar saat Fauzan menjeda kalimatnya. Laki-laki itu menatap mata Yuuri dengan lurus. "Saya lalu mencalonkan diri sendiri, untuk menjadi calon suamimu."
"Apa?" Yuuri tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Walau belum mengenal saya saat itu? Kenapa?"
Kepala Fauzan menggeleng. Ia memperbaiki posisi duduknya sebelum melanjutkan. "Itu karena saya percaya jika Papah orang yang baik. Putrinya juga pasti mewarisi kebaikan dari orangtuanya."
Ada desiran aneh yang tiba-tiba menyelinap masuk dalam dada Yuuri. Ia hanya tidak percaya jika Fauzan juga menerimanya sebelum tahu siapa dan bagaimana rupa Yuuri.
"Tapi Papah tidak langsung mengiyakannya." Fauzan melanjutkan. "Ia khawatir jika kita tidak akan cocok. Waktu itu saya sudah aktif mengisi beberapa kajian di Jakarta, setelah mendapat kesempatan masuk ke dalam salah satu acara ceramah di saluran televisi swasta. Seiring berjalannya waktu, Papah sering mengikuti kajian dan kami jadi lebih sering berdiskusi seputar ilmu agama. Lama kelamaan, akhirnya saya bisa meyakinkan Papah untuk menjadikan saya sebagai calon menantunya." Fauzan mengakhiri kalimatnya dengan sebuah senyum yang lebih merekah.
Obrolan pun berlanjut membahas hal-hal ringan seputar pertemuannya dengan ayah Yuuri.
***
Selepas obrolan itu, Yuuri jadi lebih sering merenung. Ternyata tidak ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini. Tentu saja, semua sudah Allah atur sedemikian rupa, sampai ke detailnya. Hal yang di awalnya seperti tidak mungkin dan tidak masuk akal, perlahan mulai Yuuri mengerti. Ia juga sadar jika Fauzan sudah ditakdirkan menjadi pelengkap dalam hidupnya.
Malam itu, jantung Yuuri seperti terus berdentum keras dengan irama yang tidak teratur, setelah Fauzan mengatakan sesuatu sebelum akhirnya bangkit dari sofa menuju kamar.
"Walaupun saya belum mengenalmu saat itu, tapi entah mengapa rasanya saya sudah jatuh cinta, hingga menutup hati pada setiap wanita yang Abah tawarkan untuk menjadi calon istri."
Pipi Yuuri seketika bersemu merah dan merasa ada jutaan kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutnya.
Jatuh cinta? Apa Fauzan sedang menembakku?
Saat mendapati punggung Fauzan di tempat tidur seperti biasa, entah mengapa ada perasaan lain yang muncul. Ia terus memandangi punggung laki-laki itu hingga akhirnya jatuh tertidur.
Dalam mimpinya, Yuuri melihat Papah yang masuk ke dalam kamar--percis seperti kejadian saat ia kabur dulu--dengan air mata yang berlinang dan isak tangis yang tertahan.
Dalam kesadaran yang belum sepenuhnya, Yuuri mendengar Papah meminta maaf dan berterima kasih karena sudah selamat sampai di rumah. Saat Papah bangkit untuk keluar, tangan Yuuri meraih tangannya hingga Papah terkejut dan membalikkan badan.
"Maafkan Yuuri, Pah," cicit wanita itu pelan dengan suara yang parau. "Yuuri tidak akan pergi lagi dari rumah, tapi jangan larang Yuuri untuk menghubungi Kento."
Papah kembali duduk dan mengangguk, sambil menciumi tangan Yuuri yang masih dalam posisi tidurnya. "Ya," jawabnya. "Papah janji. Tapi, jika ternyata Kento tidak pantas untukmu, biarkan Papah yang mencarikanmu suami."
Yuuri mengangguk pelan, tanda setuju.
Setelah mengusap halus kepala Yuuri, Papah tersenyum dan bangkit dengan wajah berseri. "Terima kasih." Sebuah kecupan mendarat di dahinya. Laki-laki itu kemudian keluar dan menutup pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merapal Cinta Tertulis [Completed]
General FictionYuuri harus rela melepaskan cinta pertamanya yang tak mendapat restu, lalu dipaksa menikahi seseorang yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Namun, kehidupan baru yang akan dijalani ternyata benar-benar menyentak kesadarannya. Kehidupan lain, kehidupa...