"Boleh kakak masuk?" tanya Yuuri di depan pintu kamar yang terbuka. Kepalanya menengok ke dalam.
Kireina terkaget seperti baru saja mendengar suara hantu. Ternyata tadi ia kelupaan menutup pintu kamarnya. Disangkanya belum akan ada yang pulang. Gadis yang tengah sibuk dengan ponselnya itu mengangguk, lalu menggeser tempat duduknya di atas kasur.
"Sedang sibuk?" Yuuri duduk tepat di samping adiknya.
"Tidak," jawab Kireina pelan, kemudian menyimpan ponselnya di samping, di sisi yang lain. "Kakak kapan sampai?"
"Barusan. Ini masih belum ganti baju," jawabnya diakhiri dengan seulas senyuman. "Kirei," panggilnya, "kenapa?"
Kirei mengangkat satu alisnya, "Maksudnya?"
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kirei nampak lain akhir-akhir ini."
Gadis itu mendesah. "Aku? Aku baik-baik saja." Ia melemparkan pandangan pada meja belajar, pada buku-buku yang bertumpuk di sana.
"Ada cekungan di sekitar mata Kirei. Kakak sangat khawatir." Yuuri memiringkan kepalanya, memeriksa.
"Oh ini?" tangannya menunjuk kantung mata, "semalam Kirei nonton drama sampai kemalaman," jawabnya, "hanya itu."
Yuuri masih mencoba. Dia yakin ada yang tidak beres. "Ada hal lain yang bisa Kirei bagi dengan kakak?"
Dengan cepat Kirei menoleh, "Berbagi?" Nada suaranya tiba-tiba meninggi. "Kakak saja masih berhutang cerita tentang kak Kento," dengusnya. "Lagipula, apa lagi yang harus Kirei bagi dengan kakak? Kakak bahkan memiliki lebih banyak dari yang Kirei miliki."
"Kirei." Yuuri menarik kedua bahu adiknya supaya ia bisa menatap wajahnya lurus. Mencari sesuatu melalui netranya. "Apa yang telah kakak lakukan hingga melukai hatimu? Ayo kita selesaikan sekarang!"
Kirei memalingkan wajahnya, menghindari tatapan.
"Kakak tidak tahan jika harus seperti ini. Ayolah, hanya Kirei satu-satunya saudara yang kakak miliki."
Kirei mulai melunak. Sorot matanya tak lagi marah.
"Apa karena Fauzan?" selidiknya kemudian. Kirei bergeming. "Kamu menyukainya, benarkah?"
Kirei menggeleng lemah. "Bukan, bukan seperti itu."
"Lalu? Kirei membenci kakak?"
Kirei melepaskan cengkraman tangan kakaknya yang menguat.
"Maaf," ujar Yuuri saat menyadari kalau mungkin ia baru saja menyakiti bahu adiknya.
"Kakak tahu? Kakak adalah orang yang Kirei idolakan, dari dulu. Semenjak kecil, bagi Kirei, Kakak adalah sosok yang sangat mengagumkan. Tak pernah tergantikan." Satu tetes bening jatuh, meluncur di pipinya. "Bagaimana Kirei bisa membenci Kakak?" Ia mulai terisak.
Yuuri diam, terkesima. Dia tidak memotong, memberikan waktu kepadanya untuk bisa meluapkan apa yang tengah ditahan selama ini.
"Kakak memiliki semuanya. Ya, memiliki cinta semua orang," lanjutnya, kemudian tergugu.Yuuri meraih tangan adiknya, mengalirkan perasaan yang ingin dirasakan juga oleh gadis di sampingnya.
"Setelah Kakak melepaskan Kak Kento yang memiliki pesona dengan ketampanan dan kebaikannya, kini Kakak mendapatkan laki-laki yang lebih baik sebagai penggantinya. Laki-laki saleh yang memiliki kharisma yang tak kalah dari kak Kento. Lalu, Kakak akan segera pergi dari rumah, mengisi hari-hari Kakak dengan laki-laki itu. Tapi Kirei, apa yang akan Kirei dapatkan?" ia kembali tergugu. Setelah berjeda, ia melanjutkan, "Kirei akan kehilangan Kakak."
Yuuri tak tahan. Ia meraih tubuh adiknya ke dalam pelukan. Bulir hangat juga ikut mengalir dari matanya. Ah, sekarang ia tahu akhirnya. Kireina hanya merasa iri kepadanya.
"Kirei juga dicintai banyak orang, termasuk Kakak. Kirei juga akan bertemu orang yang luar biasa, karena Kirei bukan orang yang biasa-biasa saja. Kakak yakin. Ada laki-laki hebat di luar sana yang telah Allah takdirkan untuk Kirei." Tangannya menepuk-nepuk bahu sang adik. "Kakak tidak akan pergi, karena tempat kakak ada di sini." Ia menunjuk dada Kirei yang menandakan letaknya jantung. "Kirei mau menjaganya, kan?"
Gadis itu mengangguk.
***
Dua pekan berselang, keluarga calon besan kembali berkunjung untuk melangsungkan khitbah, pinangan. Keluarga-di luar anggota keluarga inti-yang diajak lebih banyak daripada kunjungan sebelumnya, termasuk istri dan dua anak Fatih juga turut hadir.
Keluarga besar Yuuri yang tinggal di Bekasi, Depok, dan Bandung berkumpul semenjak pagi hari. Rumah bertambah sibuk dengan kehadiran para keponakan yang menambah riuh suasana.
Saat acara berlangsung, Yuuri duduk terpisah di ruang keluarga yang dipersiapkan khusus sebagai tempat perempuan, sedangkan Fauzan duduk di ruang tamu bersama keluarga laki-laki lainnya. Dua ruangan itu bersekat namun tak berpintu, sehingga masih memungkinkan untuk bisa saling menyimak.
Yuuri mengenakan abaya brukat pastel yang sangat cocok dengan warna kulitnya yang seperti susu. Hanya mengenakan riasan seperlunya yang tidak tebal pada wajahnya, tapi membuatnya terlihat segar dan lebih cantik.
Acara inti hanya diisi dengan sambutan dari pihak laki-laki yang mengutarakan maksud kedatangan, juga sambutan dari pihak perempuan yang menerima sebagai tanda bahwa pihak keluarga menyambut baik lamaran dari pihak pria. Yuuri yang duduk di samping Mamah pada akhirnya harus kembali bersuara saat ditanya kesediaannya menerima lamaran dari Fauzan.
"Dengan mengucap Bismillahirrohmanirrohim," ucapnya, "saya, menerima pinangan dari Kak Fauzan."
Lafadz hamdallah kemudian menggema memenuhi ruangan. Semua merasa lega. Artinya, tinggal menentukan kapan tanggal baik bagi mereka.
"Bagaimana kalau awal bulan depan?" tawar Papah pada keluarga besan saat ditanya kapan pihaknya siap, selesai menghabiskan makanannya.
Awal bulan depan? Itu artinya tiga minggu lagi Yuuri akan menyandang gelar baru.
Seketika itu Yuuri kembali tersedak. Mamah yang duduk di samping anak gadisnya, langsung menyodorkan segelas air putih.
Diam-diam Yuuri mengintip ke balik sekat yang berupa lemari buku dan pajangan, mencari ekspresi di wajah laki-laki yang akan menikahinya. Nihil. Yuuri tidak bisa menemukannya, karena laki-laki itu lebih banyak menunduk.
Mereka sama sekali tidak pernah berbicara secara pribadi. Bagaimana Yuuri bisa tahu hati laki-laki itu? Walau sebenarnya ia tidak terlalu peduli. Yuuri pun tidak yakin jika laki-laki yang mengenakan batik biru itu sudah memiliki perasaan khusus kepadanya, seperti dirinya. Jika betul demikian, pernikahan mereka hanya sebuah ritual penunai bakti semata.
Yuuri hanya bisa membayangkan bagaimana kehidupan selanjutnya kelak. Mendampingi laki-laki yang tidak pernah hadir dalam mimpinya sekali pun, untuk membaktikan sisa umurnya sampai menutup mata. Walau entah, ia akan bertahan selama apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merapal Cinta Tertulis [Completed]
General FictionYuuri harus rela melepaskan cinta pertamanya yang tak mendapat restu, lalu dipaksa menikahi seseorang yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Namun, kehidupan baru yang akan dijalani ternyata benar-benar menyentak kesadarannya. Kehidupan lain, kehidupa...