Tiga pekan bergulir lebih cepat dari biasanya. Itulah yang dirasakan oleh Yuuri. Segala persiapan seperti memaksanya untuk ikut bersiap menyambut hari yang telah ditentukan.
Sebenarnya Yuuri tidak ikut sibuk, karena semua sudah di-handle oleh Mamah yang tiba-tiba terlihat terlalu bersemangat. Termasuk urusan memilihkan WO, memilih warna dan tema pelaminan, menu katering, sampai memesan kartu undangan, Mamah yang membereskan semua.
Semua persiapan terbilang lancar, walau tidak dikatakan tanpa menemui kendala. Seperti menyewa gedung pernikahan dalam tenggat waktu yang cukup pendek, ternyata bukan perkara mudah, apalagi di Jakarta. Akhirnya Mamah meminta tolong Fauzan untuk membantu mencarikan tempat. Beruntung calon menantunya memiliki akses langsung kepada pemilik yayasan yang menaungi beberapa masjid di Jakarta Selatan, sehingga ia mendapatkan lokasi yang cukup strategis dan berada dalam satu lingkungan dengan masjid besar.
Yuuri bahkan tidak tahu menahu masalah itu, yang ia tahu adalah saat Fauzan menghubunginya--melalui sambungan telepon dari ponsel Papah--bahwa ada hal yang ingin dibicarakan mengenai konsep resepsi nanti.
"Ustaz Fauzan mau bicara." Papah menyerahkan ponselnya pada Yuuri, yang dibalas dengan kernyitan di kening putrinya.
"Loud speaker aja." Yuuri tidak menerimanya, melainkan langsung menarik sebuah kursi di ruang makan.
Papah turut menarik kursi di sebelah Yuuri dan meletakkan ponselnya di atas meja.
"Langsung bicara saja, Ustaz. Yuuri sudah ada bersama Om."
"Oh baik, Om." Suara di seberang sambungan terdengar dengan jernih. "Kemarin saya sudah berbicara dengan Tante."
Yuuri menoleh pada Mamah yang melintas di ruang makan dengan tatapan bertanya. Mamah hanya mengendikkan bahu dan berlalu tanpa merasa ada yang harus dijelaskannya.
"Untuk resepsi nanti, ruangannya akan dibagi dua. Tamu laki-laki dan perempuan dipisah, begitu juga dengan pelaminan. Tapi kata Tante, kamu mungkin akan keberatan."
Gadis itu memiringkan kepalanya sambil mencerna. "Maksudnya, nanti tamu laki-laki nggak bisa melihatku dan tamu perempuan nggak bisa melihatmu?"
"Kurang lebih seperti itu."
Kepala gadis itu kembali menoleh pada sang mamah yang tiba-tiba melintas lagi. Kali ini wanita yang menggelung rambutnya ke atas itu berjalan menuju dapur. Yuuri yakin jika yang merasa keberatan adalah mamahnya.
"Bagaimana kalau nanti teman-teman bingung dan merasa telah datang ke tempat yang salah?" Yuuri kembali mengalihkan perhatiannya pada benda pipih di hadapan. "Aku sih nggak keberatan kalau tempat tamu laki-laki dan perempuan dipisah, tapi kalau bisa, pelaminan tetap disatukan. Mungkin ada teman atau kerabat Mamah yang juga ingin tahu menantu Mamah seperti apa."
Terdengar suara terbatuk dari arah dapur.
"Hm." Fauzan tidak langsung menanggapi. "Atau, kalau kamu yang pakai niqob, keberatan?"
Gadis itu kini melirik pada sang ayah. Papah hanya memberikan isyarat dengan kedua tangannya, memberi kebebasan untuk putrinya memutuskan.
"Niqob?"
"Hanya saat resepsi. Supaya tidak banyak tamu laki-laki yang memandang."
"Lalu, tamu perempuan bebas memandangmu?" Yuuri sedikit sarkastik.
Ada suara tawa di seberang sebelum menjawab. "Kalau tempatnya dipisah, akan lebih aman."
"Tapi kayaknya Mamah nggak setuju kalau pelaminan dipisah. Bukan begitu, Mah?" Yuuri menekankan kalimatnya sambil menoleh ke arah dapur.
Terdengar bunyi benda terjatuh menghantam lantai. Gadis itu malah tersenyum geli.
"Kenapa, Mah?" Papah bangkit memeriksa.
"Jadi?" Fauzan masih menunggu. Tidak mengetahui kehebohan yang terjadi di dapur.
"Kalau memang tidak ada pilihan lain selain menggunakan niqob, aku tidak masalah. Toh hanya sebentar."
Namun, Yuuri tidak tahu jika ukuran waktu sebentar yang ia perkirakan tidak sesederhana itu.
***
Kedua saksi dan petugas KUA sudah bersiap di dalam masjid untuk menyaksikan akad, tidak terkecuali calon mempelai pria dan sang wali, sementara calon mempelai wanita menunggu dalam ruangan.
Saat ijab kabul dibacakan dalam bahasa Arab dan dinyatakan sah oleh kedua saksi, gema hamdallah memenuhi masjid. Yuuri bahkan mendengar dengan jelas melalui pengeras suara. Saat itu Kirei menggenggam kedua tangan kakaknya, sambil membisikkan kata selamat. Yuuri hanya mematung, seperti pikirannya tidak bersama tubuhnya di tempat itu.
Pembawa acara segera memanggil mempelai wanita untuk keluar dan bergabung di dalam masjid. Setelah penandatanganan sejumlah dokumen dari petugas KUA dan penyerahan mahar, Fauzan juga akan menghadiahkan tasmi' Surat Ar-Rahman untuk istrinya.
Akad yang hanya disaksikan oleh keluarga besar dan kerabat dekat itu tetap saja memenuhi ruangan utama masjid. Kirei sedikit kesulitan saat mengekori kakaknya mendekati meja akad, walau sudah diberikan jalan.
Ada beberapa dokumen yang harus ditandatangani, membuat tangan Yuuri seperti kebas, apalagi harus sambil mendengar selorohan sang petugas. Bahkan Yuuri tidak berani mengangkat kepalanya, sekadar melihat ekspresi Fauzan yang seperti tidak terganggu di sebelah.
Sang fotografer lalu memberikan aba-aba, meminta mereka berbalik menghadap kamera, untuk diabadikan bersama buku nikah. Sesekali mereka digoda kembali untuk tidak terlihat kaku dan sedikit merapatkan badan.
Tak berapa lama, mahar berupa 50 gram perhiasan pun diberikan. Blitz kamera kembali membuat mata Yuuri silau. Mamah dari tempat duduknya memberi aba-aba dengan gerakan tangan dilengkungan di atas bibirnya, menyuruh putrinya untuk tidak lupa tersenyum.
Suasana kembali tenang saat pembawa acara mengumumkan bahwa mempelai pria akan membacakan hafalan surat Ar-Rahman di hadapan. Yuuri diminta duduk menghadap suaminya. Perasaan sudah bercampur aduk.
Ta'awudz yang dibacakan Fauzan membuat bulu-bulu di tengkuk Yuuri meremang. Tubuhnya seperti telah terbius saat ayat pertama dilapalkan. Tanpa sadar, kepalanya ikut mendongak ke arah sumber suara. Matanya bahkan tidak berkedip demi memperhatikan dengan seksama bagaimana ayat per ayat itu dibacakan dengan penuh penghayatan. Hingga satu tetes air matanya lolos tanpa bisa dicegah. Entah karena apa, tubuhnya tiba-tiba tergoncang.
Menyadari Yuuri terisak, Fauzan meraih sebelah tangan istrinya sambil terus melanjutkan bacaan. Hingga sampai pada ayat terakhir, ia mengulas sebuah senyum, sebelum akhirnya mengecup kepala Yuuri lembut.
***
Satu jam berselang, mereka sudah berada di atas pelaminan. Yuuri benar-benar malu dan ingin menyembunyikan mukanya di balik bantal jika saja ia tidak ingat kalau telah mengenakan kain penutup wajah. Yuuri masih tidak habis pikir dengan reaksinya saat mendengar lantunan ayat suci Al-Qur'an tadi. Ia bisa menjadi bulan-bulanan orang serumah nanti.
Para tamu sudah mulai berdatangan, walau acara resepsi baru dimulai setengah jam lagi. Yuuri melihat beberapa teman kuliahnya satu per satu naik ke atas panggung dan memberikan selamat, sambil beberapa di antaranya memuji mempelai pria.
"Nemu calon laki kayak begini di mana, Ri?" Salah satu teman Yuuri berbisik, yang hanya dibalas dengan senyuman.
Rekan-rekan wanita di tempat kantornya pun tidak jauh berbeda. Walau tidak bisa bersalaman dengan mempelai pria, mata mereka tetap saja jelalatan. Lama kelamaan, Yuuri menyetujui rencana Fauzan dalam hati.
***
Kalau beberapa cast-nya saya cantumin fotonya, setuju kah? 😅
KAMU SEDANG MEMBACA
Merapal Cinta Tertulis [Completed]
General FictionYuuri harus rela melepaskan cinta pertamanya yang tak mendapat restu, lalu dipaksa menikahi seseorang yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Namun, kehidupan baru yang akan dijalani ternyata benar-benar menyentak kesadarannya. Kehidupan lain, kehidupa...