Negosiasi

1.2K 111 0
                                    

Yuuri tidak ingat sejak kapan ia mulai jatuh tertidur. Dirinya terbangun ketika suara sang adik terdengar di depan pintu, memanggilnya. Berisik, seperti biasa. Ia lalu mengerang sambil mengurut dahi. Kepalanya berdenyut saat diangkat. Mungkin karena terlalu lama menindih bantal.

Ditengoknya jam yang tergantung di atas dinding, di sebelah kiri pintu. Matanya mengerjap, tak langsung percaya pada penglihatannya yang masih membayang. Buram.

Astaga, sudah jam tiga! Berapa jam tadi aku tertidur?

Beruntung ia sedang tidak salat.

Yuuri mengingat apa yang sedang dilakukannya terakhir, sebelum tidak sadarkan diri. Dibukanya gawai yang tergeletak di sebelah kanan lengannya.

Ternyata pesan yang diketiknya panjang lebar untuk sebuah nama–yang sering disebutnya dalam doa–itu belum terkirim. Ia bernapas lega. Walaupun belum tentu setelah pesan itu dikirim akan dibaca oleh si penerima. Namun segera saja dihapusnya sebelum kembali khilaf.

Ia hanya butuh tempat meluapkan perasaannya. Jika sudah diutarakan walau tak tersampaikan, ia sudah sedikit merasa lega.

Suara Kirei kembali menyadarkannya. Dengan enggan, dilangkahkan kaki menuju pintu untuk sekadar membuka kunci. Setelahnya, dia kembali ke atas kasur. Kepalanya pening dan tubuhnya seperti melayang. Seolah ada kunang-kunang di netranya. Ia baru teringat kalau belum makan selain nasi goreng tadi pagi.

Adiknya menghambur ke dalam kamar, seperti kucing yang keluar dari dalam kandang setelah dikurung seharian. Padahal dia sendirilah yang terkurung itu. Terkurung dalam prasangka yang menyiksa.

Aroma bubur jagung keju menguar menusuk hidung. Tapi mulutnya masih malas untuk mengecap makanan, meski perutnya sudah mulai protes.

Tiba-tiba sebuah lintasan pikiran menyeruak muncul ke permukaan. Ia seperti diingatkan oleh alam bawah sadarnya tentang sepupu Kento, Mizuki-san. Dulu mereka sempat akrab walau hanya bertemu tiga kali selama tinggal di Kyoto, dan sekali ketika berkunjung ke Tokyo. Terakhir bertemu dua tahun lalu, dia dan suaminya tinggal di Tokyo. Tak jauh dari apartemen Kento, di Minato-ku.

Mungkin Mizuki tahu sesuatu. Dialah satu-satunya keluarga Kento yang cukup dikenalnya, selain tuan dan nyonya Nakamura tentu saja, orang tua Kento. Sayang, Yuuri tak lagi menyimpan nomor kontaknya semenjak gawainya bermasalah setahun yang lalu.

"Kirei punya nomor kak Mizuki?" Pertanyaan spontan itu meluncur, yang belakangan cukup disesalinya. Tentu saja Kirei tidak menyimpan nomor Mizuki karena mereka tak saling mengenal dengan cukup baik. Usia adiknya baru enam tahun kala itu, sedangkan Mizuki sudah memasuki tahun keenam di Shougakko–Sekolah Dasar–saat mereka bertemu di Kyoto.

Benar saja, Kirei tidak menyimpan nomornya.

Ia malah menyarankan untuk menghubungi teman-teman Kento yang Yuuri kenal. Tentu saja hal itu sudah pernah dilakukannya, bahkan pernah meminta tolong salah satu koleganya di kantor yang tengah melakukan tugas beberapa hari di Tokyo untuk mencari informasi tentang Kento.

Hasilnya masih nihil.

Bahkan tiga hari belakangan ini orangtua Kento yang biasa terdengar ramah di telepon, tak mau mengangkat teleponnya.

Sebuah tanda tanya besar semakin menguat dalam hatinya. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Dimakan dulu buburnya, Kak. Mumpung masih hangat." Kirei menyodorkan mangkuk yang dibawanya tadi. "Biar kuat menghadapi kenyataan." Gadis itu menyerigai lebar.

Merapal Cinta Tertulis [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang