Alasan

1.1K 128 14
                                    

"Geser dikit lagi. Dikit lagi, Kak," seru Kirei sambil mengintip dari balik lensa kamera, sementara tangan kanannya terus bergerak-gerak menggeser udara.

Yuuri tidak membantah. Ia terus menggeser langkahnya ke kanan tanpa menoleh, hingga tubuhnya nyaris menabrak seseorang yang tengah asik berbincang.

"Astagfirullah!" Wanita itu berseru kaget.

Namun dalam waktu bersamaan, bunyi kamera dan suara tawa kecil Kirei membuatnya sadar bahwa ia sedang dikerjai. Fauzan yang entah sejak kapan berdiri di sebelahnya, dengan sigap menahan tubuh oleng Yuuri supaya tidak terjatuh.

Di menit berikutnya, Kirei membuat kakak iparnya menurut untuk melakukan foto post-wedding dengan latar belakang bangunan masjid. Beruntung semua tamu undangan sudah tidak terlihat di area pesantren, walau menyisakan para santri dan asatiz yang masih berlalu lalang di depan masjid.

"Jadi pulang sekarang? Tidak nanti malam saja, Mah?"

Mamah yang baru saja menyimpan barang terakhirnya dalam bagasi mobil mengangguk, saat Fauzan menghampiri untuk membantunya. "Mumpung masih sore dan jalanan belum terlalu padat. Nanti kapan-kapan kami mampir lagi, ya." Senyumnya mengembang.

Yuuri dan Kireina merapat. Mereka saling berpelukan karena harus kembali berpisah. Papah yang sedang mengobrol dengan Abah juga sudah berpamitan, disusul Ambu yang mengajak kedua cucunya bergabung.

"Sabrina lagi mabuk, ditemani Fatih. Katanya salam saja, mohon maaf tidak bisa mengantar."

"Hamil anak ketiga? Alhamdulillah." Mamah memberikan selamat dengan mata berbinar.

"Iya, alhamdulillah. Baru telat dua minggu katanya. Semoga menular sama Yuuri dan Fauzan, ya." Ambu menjawab dengan binar yang menular. Hanya saja, Yuuri bingung harus merespon seperti apa.

"Aamiin," jawab yang lain hampir berbarengan.

Setelah kembali berpamitan, ketiganya lalu masuk ke dalam mobil. Kendaraan berplat B itu perlahan bergerak meninggalkan pesantren, yang diikuti dengan saling melambaikan tangan.

"Bagaimana keadaan teh Sabrina, Ambu? Pantas sebelum zuhur tadi Yuuri tidak lihat lagi di aula. Apa perlu Yuuri cek ke sana?" tanya Yuuri setelah mobil berbelok dan mereka mulai membubarkan diri.

"Sekarang sudah tidak apa-apa. Katanya masih lemas. Mau bareng sekalian?" tawar Ambu yang segera Yuuri iyakan.

***

Jamaah salat isya sudah membubarkan diri sekitar tiga puluh menit yang lalu, saat Fauzan masuk ke dalam rumah. Yuuri sedang termangu di depan televisi yang masih menyala malah tidak menyadari kehadiran suaminya.

"A Fatih katanya sudah sampai rumah barusan. Teh Sabrina titip salam."

Yuuri menoleh dan hanya bergumam dengan suara yang nyaris tidak terdengar oleh Fauzan, hingga laki-laki itu berhenti dan mengurungkan langkahnya menuju kamar.

"Kenapa?"

"Eh? Syukurlah?" Yuuri sedikit terperanjat, memastikan bagian mana yang Fauzan tanyakan.

"Maksud saya, kamu kenapa? Kalau lelah, istirahat saja." Fauzan nampak khawatir.

Sebenarnya bukan karena kelelahan atas acara yang berakhir setelah makan siang itu yang membuat Yuuri malam ini terlihat aneh, melainkan beban pikirannya yang masih belum juga berkurang.

"Boleh kita bicara?" Yuuri menekan tombol daya pada remot televisi di depannya, lalu mempersilahkan Fauzan duduk.

Aura kurang nyaman Yuuri membuat Fauzan menjadi canggung. Setelah mengatur napasnya supaya lebih tenang, Yuuri baru memulai.

"Aku memang nggak tahu sebelumnya, alasan apa yang mendasarimu untuk mau menikah denganku," ucap Yuuri dengan penuh perjuangan. "Padahal aku yakin, kalau wanita yang akan dengan suka rela mengantre untuk kamu lamar itu ada banyak jumlahnya di luar sana. Bukan, bukan karena aku merasa minder, apalagi mau membanding-bandingkan. Sebab, tentu saja kami berbeda. Tapi, mengingat kita menikah bukan atas dasar cinta ataupun latar belakang pendidikan, sekarang semua ini semakin terasa janggal dan berat bagiku.

"Seperti yang kubilang sebelumnya, tentu saja semua itu butuh proses. Mungkin seharusnya aku bisa lebih bersabar sesikit lagi, tapi rasanya terlalu mustahil bagiku untuk bisa mengimbangimu."

Fauzan yang tidak memotong dan membiarkan Yuuri mengeluarkan isi hatinya, hanya diam mendengarkan.

"Awalnya kupikir hanya butuh penyesuaian untuk bisa menjadi diri sendiri di lingkungan ini, tapi pada kenyataannya ... aku malah semakin kehilangan diriku sendiri. Ada banyak pasang mata yang mengamati gerak-gerikku, seolah menjadikanku sebagai role model baru. Lambat laun, aku mulai terjebak." Yuuri menjeda kalimatnya. Tubuhnya mulai berguncang, menahan tangis. "Aku terjebak dalam penilaian tinggi mereka."

Dalam tatapan simpatik, Fauzan coba memahami. Tangannya yang sudah terangkat hendak mengelus kepala Yuuri, ia tarik kembali. Ia masih belum yakin jika Yuuri sudah bisa menerima perlakuannya tersebut.

"Tidak ada yang mustahil bagi Allah." Fauzan mulai buka suara, saat Yuuri mulai terisak. "Dan Allah itu sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Jika kita berprasangka buruk, hal itu lah yang akan terjadi kemudian. Tapi, jika kita berprasangka baik pada Allah, kebaikan juga lah yang akan kita terima.

"Bukan berarti kamu tidak bisa, tapi belum. Hanya soal waktu. Abaikan saja semua penilaian tentangmu. Jangan dijadikan beban semua embel-embel yang kurang membuatmu nyaman. Kalau perkiraan saya, jika kamu sudah kembali disibukkan dengan kegiatan di klinik, insya Allah semua akan kembali membaik."

Suara isak Yuuri sudah tidak terdengar. Wanita itu kemudian menghapus air matanya yang sudah jatuh ke pipi. Perlahan ia memberanikan diri mengangkat kepala. Bukan hal biasa baginya menangis di depan orang lain, terlebih orang yang baru dikenalnya.

"Apakah ... kamu terpaksa menikah denganku?"

Fauzan mengernyit. Ia menggaruk tengkuknya, lalu sedikit merasa salah tingkah. Bagaimana ia harus menceritakannya dengan baik pada wanita yang sedang terlihat rapuh? Walaupun di matanya, Yuuri adalah wanita dengan pemikiran logis, tapi kondisinya yang sedang sensitif dan labil bisa berakibat fatal jika ia sampai salah bicara.

"Tidak ada yang kebetulan di dunia ini," jawab Fauzan. "Saya tidak merasa terpaksa, karena saya yakin kalau kamu jodoh saya."

Jika bukan dalam situasi seperti sekarang ini, seharusnya Yuuri sudah merasa tersanjung.

"Kenapa? Apa alasannya?" kejar Yuuri. Karena baginya, pernikahan ini tidak lebih dari sekadar paksaan. Anehnya, Fauzan seperti tidak merasa terganggu. Padahal ia merasa belum ada cinta di antara keduanya. "Banyak wanita yang lebih sholehah, lebih cantik, dan lebih pintar dariku. Kenapa kamu memilihku?"

Fauzan menghembuskan napas panjang, seperti berat jika harus menjawab dengan jawaban yang sejujur-jujurnya. Bagaimanapun ia beretorika, Yuuri pasti akan tetap mengejar. "Saya berhutang nyawa dan berhutang budi pada Papah," jawab Fauzan yang membuat bola mata Yuuri melebar.

"Hutang nyawa?"

Fauzan mengangguk.

Merapal Cinta Tertulis [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang