Aku tak akan berhenti menyakiti hingga kau berhenti mencintai
Lagi-lagi tugas menganalisis novel, bukan Wendy tak suka pada maha karya para penulis akan fantasi mereka, tapi jika hampir enam ratus lembar belum lagi menggunakan bahasa Inggris maka butuh konsentrasi dan berliter-liter kopi untuk menemani. Dimana rasa peri kemanusiaan dosen yang tega memberikan judul novel ini? Ingin sekali Wendy mendebat hingga pagi bertemu pagi tapi Wendy sangat sadar semua hanya kesiaan belaka.
Dua sahabat yang dicintainya belum juga menampakan diri di lingkungan kampus, apakah ini waktu yang tepat untuk mengumpat?
Goblog!
Akhirnya, dalam hati kata itu lah yang menjadi pemenang atas rasa sabar sedari tiga jam lalu.
"Pada di mana sih mereka? Gak ada yang bales satu pun."
Masih menganilis novel dengan catatan word juga laptop, mulut kecilnya komat-kamit berkata sumpah serapah yang sekiranya bisa mewakili perasaan.
Di meja gelas kopi sudah kosong, tersadar saat hendak Wendy minum kembali. Wendy lantas mengambil dompet di tas, lalu berdiri menghampiri kasir siap memesan literan kopi lagi untuk menemani. Masa bodo dengan asam lambung yang akan merangkak ke kerongkongan, ia hanya butuh sesuatu sebagai pelengkap tugas.
"Saya mau pesen kopi mba,"
"Boleh Ka, mau yang mana?"Kembali duduk di meja dan berkutat dengan hal yang sedang diamitkannya, Wendy menikmati kopi lagi, seraya menganilis tugas.
"Wen?"
Pemilik nama refleks melihat pada seorang lelaki yang memanggilnya.
"Goblog lo ya! Gue WA dari tadi gak bales-bales, kemana aja sih?"
"Sorry sorry Gue di jalan tadi, ini aja baru nyampe."
"Patuh lalu lintas banget sih Lo, cek hape kek sesekali."
"Gak bisa, khidmat nyetir."
"Ada ya khidmat nyetir, sambil yoga lagi jangan-jangan."
"Ya kali."
"Bete ah gue, Hun."Sehun siap menjadi tembok tebal yang kebal dengan ocehan Wendy hari ini, setidaknya durasi mendengar serapah sahabatnya tak akan hingga larut malam karena sebentar lagi Sehun akan masuk kelas.
"Kenapa lagi?"
"Gue sebel sama dosen..."Mengangguk. Mengangguk. Mengangguk.
Jika Wendy meminta respon maka baiknya untuk bisa bekerjasama dan jangan menjadi bebal hingga membuat Wendy semakin kesal, maka Sehun bisa menjamin durasi mendengar ocehan Wendy akan mendapat potongan waktu menjadi beberapa menit lebih cepat.
"Menurut Lo, gimana?"
Ingat poin yang telah Sehun sampaikan? Ini adalah waktu untuk memberikan saran, juga sebagai catatan penting jangan sampai salah memberikan respon, bisa-bisa celaka nantinya.
Setelah menarik nafas dan berdoa, Sehun menyelesaikan misi dan tak lama wajah Wendy terlihat lebih lega, pertanda saran yang Sehun beri berhasil dan tak akan mengundang insiden di kemudian hari.
"Oh iya gue sampai lupa, Lo liat gak novel gue yang pas Minggu lalu dijadiin bahan tugas?"
"Covernya warna biru itu?"
"Iya iya Hun, Lo liat?"
"Enggak,"
"Di rumah Lo gak ada?"
"Kalau ada pasti udah gue kasih tau duluan,"
"Iyah sih,"
"Kenapa? Lo bisa beli lagi, kan?"
"Bisa, tapi ada catatan rangkuman penting yang keselip di buku itu. Males banget gue kalau harus nyatet ulang."
"Yaudah gak apa apa catet lagi, entar gue bantu."
"Ehhhh iya bener! Kan ada Lo, babu kesayangan gue."
"Banyak gak catetannya?"
"Yang jelas gak sampe seribu halaman kayak buku paket matkul jurusan Lo."
"Yaudah kalau gitu."Seperti mendapat titah dari raja, Sehun setuju dan tak mendebat calon beban yang akan dipikulnya mungkin mulai hari ini hingga hari yang tak bisa diprediksi.
"Permisi, maaf Ka."
Tuhan! Wendy nyaris memukul lelaki yang mendatangi mejanya.
"Iya?"
"Maaf Ka, tadi saya gak sengaja denger, Kaka kehilangan buku betul?"
"Iya."
"Kalau boleh tau apa judulnya..."Hebat.
Perasaan Wendy beralih sumringah begitu kabar baik datang seperti hembusan angin segar di pagi hari.
"Jadi dari Minggu lalu buku saya ketinggalan di sini?"
"Iyah, tapi gak ada kontak yang bisa pihak kafe hubungi juga sudah seminggu Kaka jarang berkunjung."
"Gitu ya,"
"Dijaga Ka bukunya, jangan sampai ketinggalan lagi.""Siap. Eh, ngomong-ngomong kamu pegawai di sini?"
"Iyah,"
"Makasih banyak ya,"
"Iya Ka."Sehun yang hanya jadi penonton tak bisa dan tak mau berkata apa pun untuk menanggapi keadaan. Hingga lelaki itu pergi, mereka masih diam.
"Ganteng Hun,"
"Siapa?"
"Bukan Lo."
"Cowok tadi?"
"Iyah,"
"Hati-hati ah, tampang badboy."
"Mulai lagi rasis sama orang ganteng, makanya coba Lo usaha buat meningkat kan nilai wajah Lo."
"Sorry ya, gue memang tampan. SEJAK LAHIR! gak usah nawar."
"Mana ada, ngayal."NOTED
Udah sampai 10 chapter nih, udah selesai uji cobanya semoga suka sama Flava ya! Mudah-mudahan gue bisa konsisten update, jangan lupa vote sama komenya ✨
to be continued ...
KAMU SEDANG MEMBACA
FLAVA
Non-Fiction𝙨𝙩𝙖𝙩𝙪𝙨 : 𝙛𝙞𝙣𝙞𝙨𝙝 Banyak orang bilang menjalin persahabatan dengan lawan jenis hanya mitos belaka, kalau tak si lelaki yang menaruh hati maka si wanita lah yang jatuh hati. Namun bukankah romansa di antara persahabatan membuat dilema keada...