56. Sepi Tak Sendiri

649 123 24
                                    

tentang rindu memang tak selalu indah

Seminggu berlalu, keadaan kritis berubah menjadi sukacita penuh rasa syukur. Bagaimana tidak? Sehun saat ini telah dalam kondisi terbaik dibanding beberapa hari sebelumnya. Selepas siuman, dokter dan keluarga merawat Sehun dengan telaten, hasilnya memang luar biasa, Sehun pulih lebih cepat... selain tentu karena sebuah tekad dalam diri.

"Kaka mau makan buah?" Ujar Saena, memasuki kamar rawat dengan sebuah mangga ditangan, "Kalau mau aku kupasin."

"Enggak usah, kamu aja yang makan."
"Serius? Aku makan nih ya, jangan minta pas udah habis, mangganya cuman satu nih."
"Enggak akan, takut banget dimintain."
"Bukan takut, tapi kalau mau bilang dari sekarang biar aku enak waktu ngehabisinnya."
"Yaudah tinggal abisin."
"Yaudah."

Sehun masih terduduk di atas kasur, menunggu Sarah membeli beberapa obat sedangkan Ayah sedang pulang ke Bogor... um, Sehun rasa ibu tirinya tak akan memberi simpati walau Sehun berada di rumah sakit.

"Dek, Kaka pengen jalan-jalan."
"Tunggu aku selesai makan."
"Ke taman, ya."
"Taman rumah sakit, kan?"
"Taman lalu-lintas."
"Males ah, jauh."
"Terserah dek."
"Oh! Ka katanya Ka Wendy mau dateng ke rumah sakit ya hari ini?"
"Iyah, mungkin bentar lagi dateng."
"Kata Ka Kai, luka bakar di tangan ka Wendy parah banget ya? Aku gak sempet lihat, tangannya keburu diperban."
"Um parah, mungkin bakal berbekas. Kaka juga belum lihat tapi kalau inget gimana Gian merlakuin Wendy... Kaka rasa itu bukan luka yang ringan."
"Oh iyah, bulan depan si gila itu bakal di sidang ya? Sumpah, aku harap dia ngebusuk di penjara. Sampah masyarakat kayak dia, gak punya tempat di lingkungan manusia normal kayak kita. Dasar gila."
"Kaka gak sengaja denger, orangtua Gian mau ngasih uang sama ibu?"
"Eh? Ah itu, pasti waktu aku sama Ka Kai lagi ngobrol kemarin ya? Aku kira Kaka tidur."
"Kaka cuman mejem."
"Iyah Ka, orang tuanya Gian mau ngasih uang ke Ibu, mungkin buat kompensasi atau tutup mulut? Aku gak tau sih Ka, aku juga gak ngerti, tapi kalau mau kayak ala-ala detektif drama sih menurut aku orang tua Gian mau nyogok biar hukuman Gian jadi lebih ringan karena mau gimana pun dia tetep bakal dipenjara. Aku bener kan, Ka?"

Sehun terlihat berpikir dalam diamnya, tebakan asal seorang Saena adalah sebuah fakta yang sedang Sehun cerna karena kenyataannya argumen Saena sangat logis.

"Ibu terima uangnya?"
"Menurut Kaka gimana?"
"Enggak akan."
"Bener, ibu malah nampar Ayahnya Gian. Kalau uang kompensasi aku rasa harusnya pengadilan yang ngasih intruksi termasuk jumlahnya, iyah gak sih? Sedangkan yang aku denger mereka ngasih uang dengan syarat Kaka harus mau ngasih kesaksian yang ngeringanin buat Gian di persidangan. Udah salah tapi tetep gak tau diri. Ayah akhirnya ngusir orangtua Gian dan bilang jangan pernah temuin keluarga kita terutama Kaka. Habis itu Ayah nenangin ibu terus malemnya Ayah pulang ke Bogor."
"Mereka semua ngerasa uang bisa jadi solusi buat setiap masalah, gak heran Gian jadi salah jalan, orang tuanya pun kayak gitu."
"Aku denger mereka emang kaya banget, cuman ya... Gak berarti bisa ngelakuin semua hal yang dipengen begitu aja."
"Tumben kita nyambung begini, biasanya juga kamu tulalit kalau Kaka ajak ngobrol."
"Bukan tulalit tapi males, Kaka tuh nyebelin."
"Tau kok, orang kamu sering bilang."
"Syukur deh kalau ngerasa."

Seutas senyum mengembang, Sehun sadar Saena mulai khawatir. Lelaki itu tak ingin membebani adik kesayangannya dengan pikiran-pikiran buruk, mengalihkan topik adalah pilihan terbaik.

"Ayo Ka, kita jalan-jalan."
"Bantu naik kursi roda."
"Hm, coba kalau Ibu gak beli obat. Gak akan deh acara nyusahin begini."
"Kata ibu kamu kangen sama Kaka, nangis waktu Kaka di ICU? Suka bohong aja, padahal sayang banget sama Kaka."
"Ya Tuhan, Kaka kena trauma pasca kecelakaan apa gimana? Bisa-bisanya ngomong sebener itu."
"Berisik."

FLAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang