57. Hilang Hangat

600 111 42
                                    

bukan hidangan di meja makan, namun mereka yang duduk menemani

Pekat malam berselimut rintik hujan, sudah sejak lama Sehun menyadari keheningan bulan dan pancarannya tak ia nikmati bersama awan kelabu.

Senyap sepi mendominasi ruang rawat Sehun, ada Saena yang baru saja tertidur di sofa dan Sarah yang juga tak jauh berbeda.

Kepingan kisah di masa lalu kini menjadi pelengkap, bagaimana lamunan akan terasa sempurna dengan suasana sendu dalam kesendirian. Hanya Sehun yang tersadar, hanya ia yang sedang membuka mata dengan tubuh terduduk di atas kasur menatap jendela.

Tentang Seulgi dan cerita Ka Sunmi, otak Sehun tak ubahnya bagai radio rusak yang terus saja memutar hal sama sejak pertemuannya dengan Kai dan Wendy.

Seulgi... bagi Sehun ia adalah tetangga yang manis, seringkali tersenyum dalam diamnya Sehun. Alih-alih merasa kesal dengan Sehun yang tak begitu sering mengekpresikan emosi, Seulgi seperti tanpa luka akan tetap menghampiri. Terkadang Sehun kagum, walau terkadang juga ia bingung. Hanya pada Seulgi dirinya seringkali membeku, padahal ia mendapat sematan Sehun si ramah di kampus tapi sial... itu tak pernah berlaku untuk Seulgi. Meski akhirnya Sehun tahu, bagian dari diri Seulgi adalah kerinduan mendalam akan mendiang istrinya, tetapi sesuatu mulai memudar dan mempertanyakan sebuah arah yang jelas.

Diri Sehun seolah kembali pada malam Sunmi mengungkapkan rahasia itu. Hal yang tak seharusnya Sehun tahu, andai ia tak berulah membiarkan Seulgi pergi ke pemakaman.

Bandung, 4 years ago.

Jangan tanya dinginya Bandung saat pagi menyapa, walau udara di kota ini sejuk tapi ketika tiba waktu bagi sang fajar terbit maka bersiaplah menyambut suhu rendah yang meski tak membuat mu sampai menggigil namun tetap berhasil mengeratkan jaket untuk menghangatkan diri.

Sebuah rumah dengan gaya Amerika klasik, berpenghuni tak lebih dari 10 orang dengan tujuh di antaranya adalah asisten rumah tangga, supir juga tukang kebun.

Di lantai dua terdengar gemuruh, suara barang terpelanting juga langkah yang terburu. Semua orang di dalam rumah tahu persis siapa yang sedang membuat gaduh.

"Mami, Papi, aku berangkat ya."
"Sarapan dulu sayang,"
"Nanti di kampus."
"Tunggu sebentar,"

Langkah Seulgi terhenti, ia berbalik sejenak tak kala Sanda, Mami Seulgi, memasukan kotak makan siang ke dalam Tote bag anaknya.

"Mami tadi masak omllete kesukaan kamu, habis kelas langsung dimakan ya sayang. Oh, nanti Mami bakal pulang malem banget, Mami ada jadwal operasi."
"Berapa pasien Mi?"
"Dua sayang."
"Kalau Papi?"
"Papi kayaknya pulang lebih cepet. Kasus yang di sidang gak sebanyak Minggu lalu."
"Um, Ka Sunmi kapan mau ke sini?"
"Mami gak tau sayang, suami Kaka belum ada kabar bakal pulang ke Indonesia, mungkin mereka bakal stay di Jepang beberapa tahun lagi."
"Ka Sunmi katanya mau ngambil Magister di Jepang ya? Makin lama dong pulangnya."
"Akhir tahun ini kita semua bakal kumpul lagi kok, nanti Mami minta Kaka buat pulang ke Indonesia, sayang."

Seulgi mengangguk pelan.

"Nak, katanya kamu telat? Gimana Papi mau datang ke wisuda kamu, kalau kuliah telat aja." Ujar Wooyoung, Papi seulgi, di meja makan.

"Astaga Papi! Kenapa baru ngasih tau! Aku berangkat, bye Mami bye Papi, love you."
"love you too, Nak."
"love you too, Sayang."

Ada tawa kecil yang terlukis di wajah kedua orang tua Seulgi, menyadari anak terakhir mereka kini telah tumbuh semakin dewasa.

Perkuliahan menyapa, dosen memasuki kelas dengan seperangkat laptop juga buku bahan ajar.

FLAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang